• Judul Buku: Dan Toch Maar: Apa Boleh Buat, Maju Terus!
• Penulis: Sukono, dkk
• Penerbit: Penerbit Buku Kompas
• Cetakan: I, Agustus 2009
• Tebal: xix + 552 halaman
• ISBN: 978-979-709-431-7
SEBUAH peristiwa besar yang melibatkan banyak aktor, banyak kejadian, dan banyak tempat kadang kehilangan maknanya akibat direduksi untuk kepentingan politik pihak yang berkuasa. Atau jika tidak, dalam sebuah peristiwa, beberapa aktor diabaikan untuk tidak merusak sejarah yang telah ”diciptakan” itu sendiri.
Penulisan sejarah cenderung diskriminatif. Sifat inilah yang membuat George Wilhelm Friedrich Hegel menggugat peran ”great men” dalam sejarah melalui pernyataan terkenalnya tentang pahlawan Perancis, Napoleon Bonaparte, I saw the spirit on his horse.
Gugatan itu dikuatkan oleh Thomas Carlyle, yang melihat sejarah selama ini adalah biografi sebagian kecil individu tertentu, pahlawan-pahlawan seperti Oliver Cromwell atau Frederick yang Agung. Karena itu, tidak mengherankan apabila penulisan sejarah dunia lebih tepat sebagai biografi orang-orang besar, pahlawan yang diwakili oleh figur politisi dan militer, para pendiri negara dan juga sebaliknya, yang ”merobohkan” negara.
Di Indonesia, penulisan sejarah juga problematik. Di antara dokumen sejarah Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), ada penggalan kisah yang tercecer dan alpa hadir dalam ruang tersebut. Bahkan dalam situs yang memuat sejarah TNI AL, kelompok ini tidak hadir. Ia adalah para pemuda yang dikirim Pemerintah Indonesia ke Koninklijk Instituut voor de Marine (KIM)—lembaga pendidikan tertinggi dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda.
Sejak tahun 1950, prioritas pembangunan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (ALRIS)/ALRI ditujukan pada pendidikan personel mantan pejuang kemerdekaan dan program pendidikan anggota baru, termasuk para perwira, dengan cara mengirimkan mereka ke KIM. Berbeda dengan angkatan bersenjata untuk melindungi daratan jajahan Hindia Belanda, yang terdiri dari Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) atau Tentara Hindia Belanda Kerajaan sebagai angkatan darat, para perwira KIM dikirim untuk sebuah misi membangun kekuatan laut yang andal. Namun, yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Kelompok ini tidak diberi peluang untuk mengembangkan kemampuannya dalam pembangunan pertahanan maritim yang dicita-citakan di tengah situasi politik yang memanas akibat konflik Irian Barat antara Indonesia dan Belanda, yang ikut memperkeruh kedudukan para perwira KIM saat itu.
Alasan pengiriman
Buku dengan judul Dan Toch Maar ini ditulis alumnus KIM, yang jumlahnya saat ini tinggal 39 orang, dengan usia termuda mencapai 77 tahun. Ini semacam perjalanan hidup sekelompok perwira muda alumnus KIM, di tengah keputusan negara untuk mengirimkan mereka ke Belanda beserta misi yang disandangnya. Dan Toch Maar, menurut AB Lapian sebagai penulis prolog buku ini, menggambarkan suatu tindakan berani yang mengandung risiko namun perlu dilaksanakan. Mungkin kata yang hampir tepat padanannya dengan bahasa Indonesia adalah Maju Terus Pantang Mundur.
Kendati dalam buku dituliskan Pemerintah Indonesia yang mengirimkan mereka ke Belanda, latar belakang pengiriman ini tidak kalah penting untuk diketahui. Pertanyaan yang menurut saya penting dan gagal dijelaskan dalam buku ini adalah siapakah yang memiliki gagasan awal dalam program pengiriman para perwira ALRI ini ke KIM Belanda? Apakah Bung Karno ataukah petinggi Angkatan Laut saat itu?
Ada beberapa hal yang melatari pertanyaan tersebut. Pertama, pada tahun itu hubungan Indonesia dengan Belanda nyaris berada di titik nadir. Selain karena kita baru 5 tahun terbebas dari penjajahan, yang salah satu di antaranya Belanda, tahun-tahun itu adalah tahun terpanas menjelang konflik Belanda dan Indonesia dalam memperebutkan Irian Barat. Pengiriman para perwira tersebut ke Belanda, negara yang menjajah Indonesia, sangat menarik terutama untuk mengetahui apa yang melatari keputusan politik tersebut. Apakah ini memang untuk meredam konflik Indonesia-Belanda pascapenjajahan, kendati pun kemudian gagal karena peristiwa Irian Barat?
Kedua, jika pengiriman tersebut dianggap penting, mengapa dalam perjalanan sejarah kemudian, kelompok perwira alumnus KIM ini justru tidak memiliki peran penting dalam sejarah ALRI? Apakah peristiwa 1965, ketika ALRI diguncang oleh peristiwa Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR) yang terdiri dari perwira muda lulusan akademi, menjadi salah satu penyebab kelompok ini dimarjinalkan?
Pada halaman 537 memang dituliskan bahwa tahun 1965 gerakan ini bermaksud melaporkan kepada kepala negara bahwa ALRI sebenarnya tidak siap tempur untuk mendukung penyelesaian bersenjata politik ”konfrontasi” terhadap Malaysia yang diumumkan oleh Presiden Soekarno. Saat itu negara baru Malaysia buatan Inggris baru saja diproklamirkan. Politik konfrontasi dan seruan ganyang Malaysia sering dikumandangkan melalui berbagai media dan demonstrasi anti-Malaysia bermunculan setiap hari.
Ketidaksiapan armada
Kesiapan tempur armada perang ALRI telah sangat menurun setelah operasi perebutan Irian Barat selesai. Sedikit yang tahu bahwa aneka ragam alat utama sistem persenjataan (alutsista) buatan Uni Soviet itu memiliki banyak masalah perawatan, amunisi, spesialisasi personel, dan lain-lain. Hampir semua armada yang berada di pangkalan AL Surabaya tidak dimanfaatkan dan tidak berdaya karena kegiatan teratur latihan tempur di laut sudah diabaikan.
Ketidaksiapan ini kemudian dilaporkan oleh para perwira anggota GPPR kepada Presiden karena menurut mereka pimpinan ALRI saat itu telah memberikan laporan palsu kepada Presiden tentang kesiapan tempur armadanya. Namun, di akhir cerita terjadi pembersihan besar-besaran di kalangan perwira GPPR yang sebagian besar berujung dipecat dari kedinasan, termasuk di antaranya tiga perwira eks KIM.
Ada catatan menarik di sini. Laksamana Sudomo dianggap sebagai salah seorang yang justru menentang eks KIM menduduki posisi strategis dalam jabatan ALRI seperti kesempatan menjadi kepala staf Angkatan Laut meskipun saat itu Menhankam/Pangab mengusahakannya (hlm 479).
Pada bagian akhir ada ruang refleksi yang mengharukan. Dituliskan bahwa alumnus eks KIM ingin meninggalkan seluruh kisah, riang dan duka, kelompok yang merasa terabaikan di kalangan Angkatan Laut Republik Indonesia ini untuk anak serta kelompok penerus lain. Buku ini menegaskan, betapa dunia ini penuh kontradiksi dengan urusan masa lalu. Semua masa lalu yang penuh kejayaan pernah meninggalkan cacat dan sisi kelam dalam perjalanannya. Setiap kepingan peristiwa selalu memiliki makna dalam upaya menyingkapkan sejarah kita, yang perlu terbuka untuk diperbaiki dan dikoreksi.
* Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti LIPI dan Dewan Penasihat The Indonesian Institute
Kompas, Jumat, 5 Februari 2010
No comments:
Post a Comment