Friday, July 23, 2010

Soermarsono, Golongan Kiri, dan Pergolakan Seputar Proklamasi

I

MESKI berjuang habis-habisan di pertempuran Surabaya pada 1945, Soemarsono, tokoh utama peristiwa 10 November itu, sebenarnya putra Temanggung, Jawa Tengah. Ayahnya seorang pemeluk Islam yang taat. Bahkan, punya surau di pekarangan rumahnya. Dia anak dari istri kedua bapaknya, pegawai mantri cacar di zaman Belanda itu. Saat waktunya masuk HIS (setingkat SD), dia ditolak karena ayahnya sudah pensiun. Dianggap sudah bukan lagi pegawai Belanda.

Itu berarti, sejak kecil Soemarsono sudah mendapat pengalaman jiwa yang kurang enak kepada Belanda. Ketika akhirnya bisa ditampung di sekolah Kristen yang juga berbahasa Belanda, dia kembali punya pengalaman kejiwaan yang berat: memergoki kepala sekolahnya yang Belanda sedang memangku murid wanita dalam keadaan yang tidak pantas diceritakan. Dia langsung jadi pendiam beberapa hari. Meski terus menolak menceritakan penyebabnya, akhirnya tidak ada jalan menghindar. Anak kecil selalu saja tidak bisa menyimpan kepolosan jiwanya.

Cerita itu meluas ke keluarga si gadis. Jadinya heboh. Soemarsono ditekan di sekolah. Padahal, sudah waktunya penentuan nilai kelulusan. Dia diberi nilai jelek dan dipukul. Bahkan, karena begitu marahnya si Belanda, ijazah Soemarsono yang hari itu sudah siap diserahkan bernasib tragis. Ketika Soemarsono sudah berjalan ke depan kelas untuk mendapat giliran menerima ijasah, si Belanda tidak menyerahkannya, melainkan merobek-robeknya.

Dengan kejiwaan seperti itu, Soemarsono remaja kemudian ke Jakarta, ikut salah seorang kakaknya. Dia dikursuskan di berbagai bidang dan akhirnya dapat bekerja di bagian arsip kantor keuangan.

Selama tumbuh dewasa di di Jakarta itulah, Soemarsono bergaul dengan anak-anak muda dari golongan kiri. Pergaulannya lama-lama meluas dan akhirnya kenal dengan tokoh-tokoh kiri. Hanya disebut "kiri" karena saat itu PKI (Partai Komunis Indonesia) secara resmi dilarang. Yakni sejak pemberontakan PKI pada 1926. "Kalau dengan Mr Amir Syarifudin, saya bertemunya di gereja," ujar Soemarsono. Amir adalah tokoh sentral golongan kiri. Ketua PKI ilegal. Sebab, Musso (pimpinan PKI) menyingkirkan diri ke Rusia untuk menghindari kejaran Belanda. Tan Malaka, tokoh utama kiri lainnya, sudah dipecat karena dianggap tidak sejalan dengan garis partai.

Soemarsono memang aktif ke gereja. Di situlah dia didoktrin oleh Amir bahwa seorang Kristen harus aktif di pergerakan perjuangan menentang penjajahan Belanda.

Maka, ketika di kemudian hari dalam pertempuran Surabaya dia lebih tunduk kepada Amir daripada kepada Bung Karno, memang riwayatnya panjang seperti itu. Demikian juga mengapa Soemarsono menjadi tokoh utama peristiwa Madiun. Juga karena dia harus tunduk kepada Amir. Saat itu Amir bersama-sama dengan Muso memegang jabatan pimpinan puncak golongan kiri di Indonesia.

Memang harus diakui, di zaman menjelang kemerdekaan pada 1945 itu para pemuda dari golongan kiri sangat radikal melawan Belanda -dan kemudian Jepang. Mereka bergerak di bawah tanah. Mereka juga berseberangan dengan taktik yang dijalankan Bung Karno. Bahkan, mereka kesal kepada Bung Karno yang selalu bekerja sama dengan penjajah Jepang.

Waktu itu yang disebut golongan kiri bukan hanya PKI ilegal. Ada semacam "kiri luar", "kiri tengah", sampai "kiri dalam". Sjahrir (yang kemudian jadi perdana menteri di awal kemerdekaan), Djohan Syahruzah, dan lain-lain termasuk golongan kiri luar yang di kemudian hari meninggalkan kelompok kiri mendirikan partai sendiri: Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ada kelompok Chairul Saleh, Adam Malik, dan lain-lain yang tergolong kiri tengah yang kemudian juga meninggalkan barisan kiri dengan mendirikan Partai Murba. Lalu, ada kelompok Wikana, Aidit, Musso, dan lain-lain (termasuk Soemarsono yang tergolong masih paling kecil) tetap di jalur kiri dalam dan kemudian tergabung dalam PKI resmi. Lalu, ada lagi kiri lepas yang mencakup nama seperti Tan Malaka dan teman-temannya.

Semua golongan kiri itu ada kalanya bersatu, tapi ada kalanya bermusuhan. Posisi Bung Karno sungguh sulit. Apalagi di luar golongan kiri masih banyak golongan lain yang juga mengaku peranannya besar. Tambah lagi golongan ini pun juga terdiri atas banyak posisi: ada "kanan dalam", "kanan luar", dan "kanan tengah". Suasana politik waktu itu memang sangat rumit. Tidak ada kelompok tengah yang dominan yang membuat pemerintahan bisa stabil. Bung Karno ada di antara kiri dan kanan yang terus bersaing. Berbeda dengan sekarang di saat kelompok tengah sudah sangat dominan, meski juga masih tercecer di beberapa partai tengah seperti Partai Demokrat, Golkar, dan PDI-P. Kalau saja tiga partai ini bisa melebur dalam satu wadah, sejarah Indonesia akan sangat berubah. Setidaknya, kalau bisa dimulai dari embrionya dulu: bersatu dalam sebuah koalisi.

Saya baru tahu dari penuturan Soemarsono itu bahwa perpecahan Soekarno-Hatta ternyata sebenarnya berawal dari kasus dihukum matinya Amir Syarifudin dan 40 orang PKI di Magelang. Bung Karno tidak rela ada tindakan sekeras itu kepada orang-orang yang jasanya juga besar dalam memperjuangkan kemerdekaan. "Kepada anak-anak PKI waktu itu, Bung Karno itu tega larane gak tega patine", ujar Soemarsono. Maksudnya, tidak apalah kalau sekadar disakiti, tapi jangan dibunuh.

Bung Karno tentu mengetahui peranan golongan kiri dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tapi, Hatta punya pendapat lain. Para pejuang kiri itu dianggapnya hanya jadi pengacau yang menyulitkan pemerintah. Kemerdekaan Indonesia tidak segera diakui oleh negara-negara lain, menurut orang seperti Hatta, karena golongan kiri masih sangat kuat di Indonesia. Sedangkan negara-negara Barat yang diharapkan memberikan pengakuan dan bantuan kepada Indonesia umumnya negara-negara antikomunis. Misalnya, Belanda, Inggris, Australia, dan Amerika.

Saya bisa membayangkan sulitnya posisi Bung Karno. Apalagi Bung Karno itu, seperti dikemukakan Soemarsono, bisa jadi presiden karena jasa para pemuda golongan kiri. Yakni ketika para pejuang bawah tanah itu mulai mendengar bahwa Jepang sudah kalah perang di Asia Timur. Mereka memang aktif memonitor siaran radio luar negeri meski resminya penjajah Jepang melarang orang Indonesia mendengarkan siaran radio.

Saat itulah para pemuda golongan kiri dari berbagai posisi itu sepakat agar Indonesia segera menyatakan kemerdekaannya. Mumpung Jepang sudah kalah dan Belanda belum punya kesempatan kembali ke Indonesia. Hari-hari sekitar tanggal 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 Agustus ketika itu adalah hari-hari tidak jelas mengenai siapa yang berkuasa di Indonesia.

Maka, perhatian para pemuda tersebut tertuju kepada siapa yang harus memproklamasikan kemerdekaan itu. Nama Soekarno, di mata mereka, sama sekali tidak masuk dalam daftar orang yang pantas menyatakan kemerdekaan Indonesia. Mereka sedang tidak menyukai Bung Karno yang mereka nilai sebagai antek Jepang.

Dengan cepat, mereka memilih Amir Syarifudin-lah yang akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

II
Ganti Proklamator Dua Kali, Merdeka Tertunda Dua Hari

Setelah para pemuda pejuang itu bulat memutuskan bahwa Amir Syarifuddin-lah tokoh yang akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, muncul pertanyaan: bagaimana caranya agar keinginan itu terwujud? Waktunya sudah mendesak. Saat itu sudah tanggal 14 Agustus. Amir tidak di Jakarta. Dia sedang mendekam di Penjara Lowok Waru, Malang. Amir harus menjalani hukuman yang dijatuhkan penjajah Jepang. Dia dijatuhi hukuman mati. Hanya berkat jasa Bung Karno yang memang dekat dengan Jepang, hukumannya diubah menjadi seumur hidup.

"Waktu itu tidak ada pilihan lain. Musso tidak masuk hitungan karena sudah lama tinggal di Rusia. Bung Karno tidak masuk hitungan karena sikapnya yang memihak Jepang," ujar Soemarsono yang hari-hari itu tergolong pejuang yang paling yunior di antara para pemuda tersebut. Soemarsono kini masih hidup segar dengan status warga negara Australia. Saya tidak menyangka bahwa dia (usianya hampir 88 tahun) masih sesegar itu. Masih bisa melayani wawancara saya hampir lima jam dengan semangat tinggi dan tidak kelihatan lelah.

Saat pergolakan menjelang kemerdekaan itu, Soemarsono, tokoh kelahiran Kutoarjo (bukan Temanggung seperti tertulis kemarin) tersebut, masih di Jakarta. Baru beberapa minggu kemudian, dia ditugasi untuk berjuang di Surabaya yang selanjutnya dalam pertempuran Surabaya menjadi salah satu tokoh utama.

Menurut Soemarsono, kala itu ada ide yang radikal agar Amir bisa memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus 1945.

Amir harus dikeluarkan dari Penjara Lowokwaru secara paksa. Caranya: menculik dia. Namun, risikonya memang besar. Jepang secara de facto masih berkuasa. Bisa menggagalkan rencana proklamasi itu sendiri.

Dengan pertimbangan itu, dicarilah tokoh proklamator lain sebagai pengganti. Mereka lantas memilih Sjahrir yang meski bukan dari golongan "kiri dalam", tapi masih berbau kiri. Tidak ada suara yang tidak setuju. Sjahrir, di mata mereka, juga tidak punya cacat. Satu-satunya kekurangan hanyalah: kurang kiri. Tapi, setidaknya, tidak seperti Bung Karno yang dianggap terlalu menghamba ke Jepang.

Delegasi pun dikirim ke rumah Sjahrir. Dalam pertemuan itu, Sjahrir menyatakan tidak bersedia. Perdebatan di antara mereka sangat keras. Terutama setelah Sjahrir bahkan mengajukan nama Bung Karno saja. Rekomendasi Sjahrir itu menimbulkan pro-kontra di kalangan pejuang bawah tanah tersebut. Tapi, Sjahrir terus meyakinkan mereka. Alasan utamanya, proklamasi tersebut juga harus mendapat dukungan penguasa waktu itu. Termasuk harus didukung birokrasi pemerintah yang masih dikuasai Jepang. Tidak mung kin membentuk pemerintah tanpa punya birokrasi. Tanpa birokrasi, bagaimana pemerintah yang sudah diproklamasikan itu akan dijalankan? Pikiran Sjahrir, sebagaimana yang ada dalam buku-buku sekitar peristiwa ini, Bung Karno memang dekat dengan Jepang.

Para pemuda bawah tanah itu tetap keberatan. Bung Karno di mata mereka penuh cacat. Apalagi ketika mereka ingat bahwa demi pengabdiannya ke penjajah Jepang, Bung Karno sampai mau mengerahkan romusa. Yakni petani-petani dari Jawa yang dikirim ke Sumatera Utara untuk kerja paksa yang jumlahnya sampai, kata mereka, jutaan.

Melihat kerasnya penentangan para pemuda terhadap Bung Karno itu, Sjahrir memberikan jalan keluar. Bung Karno hanya akan dijadikan presiden sementara. Hanya untuk satu-dua tahun. Setelah itu diganti. Toh yang penting segera bisa merdeka dulu. Mumpung Jepang lagi kalah. Penundaan atas proklamasi bisa mengakibatkan kegagalan.

Akhirnya, pendapat Sjahrir diterima. Catatannya: Bung Karno adalah "proklamator cadangan" yang diturunkan ke lapangan karena terpaksa.

Lantas, diutuslah delegasi menemui Bung Karno. Ternyata, Bung Karno juga menolak. Alasannya, menurut Soemarsono, Bung Karno belum percaya bahwa Jepang sudah kalah. Bung Karno memilih menunggu saja Jepang memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia sebagaimana yang telah berkali-kali dijanjikannya.

Tapi, para pemuda yang sangat radikal itu tidak pernah percaya terhadap janji Jepang. "Mana ada penjajah rela menyerahkan daerah jajahannya," ujar Soemarsono. Paling-paling, kita dijanjikan "nanti", lalu "kelak", lalu "kemudian", dan akhirnya "nanti kelak di kemudian hari".

Menghadapi penolakan Bung Karno itu, para tokoh pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, dan Wikana tentu sangat kesal. Pikir mereka, tokoh-tokoh itu diajak merdeka kok tidak mau. Padahal, ini sudah tanggal 15 Agustus. Padahal, kalau saja Bung Karno mau, maka pada tanggal 15 Agustus 1945 itu, proklamasi sudah bisa dibacakan.

Melihat Bung Karno tetap menolak, para pemuda tersebut membuat skenario politik: menculik Bung Karno dan Bung Hatta untuk "dipaksa" mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Karena itulah, pada malam tanggal 15 Agustus itu, Bung Karno dan Bung Hatta diculik para pemuda dan dibawa ke Desa Rengasdengklok di timur Bekasi.

Tahu Bung Karno hilang, pemerintah Jepang bingung. Tapi, Jepang punya intelijen bernama Ahmad Subardjo yang juga dekat dengan pemuda pergerakan itu. Maka, dengan mudah, Jepang mengetahui di mana Bung Karno berada. Saya baru tahu dari Soemarsono ini bahwa Ahmad Soebardjo itu intel Jepang. Buku sejarah yang pernah saya pelajari di sekolah tidak pernah mengungkap peran Ahmad Soebardjo sebagai intel Jepang.

Kejadian selanjutnya sama dengan buku sejarah: ada yang bilang di Rengasdengklok-lah teks proklamasi itu disusun, ada juga yang bilang dibuat setelah tiba kembali di Jakarta. Ada yang bilang Bung Hatta-lah yang membuat konsepnya, lalu Bung Karno yang menuliskannya, ada pula yang bilang Mr Moh. Yamin-lah yang membuat konsepnya. Ada yang bilang Bung Karno dikembalikan ke Jakarta karena sudah setuju untuk membacakan proklamasi, ada juga yang bilang karena Jepang sudah memberikan lampu hijau untuk pernyataan proklamasi itu.

Yang jelas, dua hari setelah peristiwa Rengasdengklok itu, proklamasi dibacakan Bung Karno pada 17 Agustus 1945.

III
Ekstrem Kanan Kiri Oke, tapi Tengah Memimpin

Cara memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 seperti itu memang sangat khas cara berpikir kita sampai sekarang: Yang penting merdeka dulu! Bagaimana rumitnya urusan setelah itu baru dipikirkan kemudian.

Cara berpikir begitu juga terlihat ketika terjadi reformasi pada 1997/1998. Pokoknya reformasi dulu. Urusan rumit setelah itu dipikir kemudian. Karena itu, pikiran lain yang dilontarkan tokoh seperti Dr Nurcholish Madjid tidak laku. Maklum, waktu itu gelora untuk melakukan reformasi luar biasa besarnya. Bukan hanya gerakan bawah tanah sebagaimana yang terjadi menjelang proklamasi kemerdekaan RI, tapi sampai ke gerakan demo besar-besaran secara terang-terangan: Reformasi sekarang!

Padahal, sekitar seminggu sebelum Presiden Soeharto memutuskan untuk meletakkan jabatan, Cak Nur (begitu panggilan akrabnya) mengemukakan gagasan penting: Bagaimana kalau Pak Harto sendiri yang memimpin jalannya reformasi. Kita, kata Cak Nur, bisa memberi waktu dua tahun kepada Pak Harto untuk menyelesaikan proses reformasi itu. Selama proses itu, kita percaya penuh kepada Pak Harto.

Dengan pikiran seperti itu, menurut Cak Nur, reformasi akan berjalan secara terencana. Tentu tidak perlu terjadi huru-hara. Tidak sampai meletus peristiwa Mei 1998.

Tapi, pikiran seperti itu, pada masa yang penuh gelora menentang Pak Harto, dianggap pikirannya orang yang lembek. Soeharto harus segera turun takhta. Sekarang! Terlalu enak orang seperti Soeharto diberi waktu dua tahun.

Dua tahun itu lama sekali. Bisa-bisa Soeharto lupa tugasnya untuk melakukan reformasi. Ini sangat khas pola pergerakan revolusioner. Seperti juga sikap para pemuda menjelang proklamasi kemerdekaan dulu. Tidak sabar menunggu Jepang sendiri saja yang memerdekakan kita.

Bahkan, saking tidak percayanya, kata-kata Jepang yang menjanjikan kemerdekaan ''kelak'' dibuat pelesetan di rapat-rapat umum waktu itu, juga di pertunjukan-pertunjukan ludruk: Kita tidak percaya ''kelak'', kita hanya percaya ''kolak''! Kolak adalah makanan khas Surabaya, yang terbuat dari pisang yang direbus bersama santan dan gula.

Yang selalu terpikir dalam suasana yang revolusioner adalah takut kehilangan momentum. Ini juga yang mewarnai revolusi Madiun 1948 dan G 30 S/PKI tahun 1965. Dalam pikiran revolusioner seperti itu, yang terbayang adalah keindahan melulu: Setelah proklamasi pastilah rakyat makmur. Setelah reformasi pastilah rakyat makmur.

Tidak terbayangkan bahwa setelah proklamasi luar biasa sulitnya. Perasaan telah merdeka ternyata membuat semua orang merasa punya hak yang sama. Lalu, merasa pula berhak melakukan apa saja sesuai dengan keinginan dan aliran politiknya. Ekstremitas terjadi di mana-mana dengan segala bentuk dan latar belakangnya. Yang aliran kanan mengkristal ke Negara Islam Indonesia. Yang kiri mengkristal menjadi peristiwa Madiun.

Suasana setelah reformasi kurang lebih sama. Bukan main juga hebohnya. Negara menjadi lemah, pemerintah kehilangan keyakinan, pertentangan muncul dan kerusuhan di mana-mana. Semua orang seperti boleh melakukan apa saja. Dalam proses ini, yang kiri juga mengkristal, meski belum sampai menampakkan wujud formalnya. Yang kanan mengkristal dalam bentuk terorisme sekarang ini.

Tidak terasa reformasi sudah berumur 11 tahun. Kalau tujuan reformasi kini sudah dianggap mulai berhasil, waktu yang diperlukan ternyata begitu lama. Orang-orang yang dulu merasa tidak sabar dengan konsep dua tahunnya Cak Nur pun ternyata harus dipaksa sabar untuk menjalani masa yang berat yang jauh lebih lama: selama delapan tahun lebih!

Tidak ada yang perlu disesali. Baik reformasi maupun proklamasi. Jalannya sejarah memang harus begitu. Mimpi-mimpi indah sebelum proklamasi ternyata harus menemukan kenyataan beratnya persoalan yang dihadapi setelah proklamasi: Tidak ada negara yang segera mengakui kemerdekaan itu.

Belanda masih menguasai beberapa wilayah penting dan tidak tahu bagaimana cara mengusirnya, pertentangan antarpartai dan aliran luar biasa kerasnya, para pejuang bersenjata yang sudah bertahun-tahun hidup dalam suasana perang ngamuk karena tiba-tiba dinyatakan tidak memenuhi syarat masuk TNI dengan syarat-syarat yang profesional, yang aliran kanan mau terus ke kanan sambil memusuhi yang kiri. Aliran kiri terus ke kiri sambil memusuhi yang kanan.

Tidak terdapat golongan tengah yang cukup besar. Suasananya memang tidak memungkinkan segera terwujudnya golongan tengah yang besar. Persis suasana setelah reformasi: Golongan tengah yang dominan yang dibuat Pak Harto secara paksa, Golkar, runtuh. Belum muncul penggantinya.

Pak Harto mencoba menghilangkan golongan yang paling kiri dengan cara membasmi PKI secara kejam. Yakni, setelah G 30 S/PKI. Demikian juga, Pak Harto menghilangkan golongan yang paling kanan, juga secara kejam. Yakni, dengan jalan memancing mereka masuk ke Komando Jihad, lalu dengan operasi khusus (opsus) membasmikannya.

Pak Harto sadar golongan yang sangat kiri dan sangat kanan harus tidak boleh hidup. Pertentangan keduanya terlalu tajam. Bisa menyeret pertentangan-pertentangan yang lebih luas. Langkah menghapus golongan paling kiri dan paling kanan itu berhasil dilakukan Pak Harto: negara stabil dan pembangunan bisa berjalan. Tapi, Pak Harto melakukannya dengan cara paksa, keras dan kejam. Kestabilan yang terlihat pun sebenarnya kestabilan semu.

Kini, setelah 64 tahun proklamasi dan 11 tahun reformasi, kita tetap harus membentuk golongan tengah yang besar. Agar negara stabil dan pembangunan bisa berjalan. Hanya caranya yang harus kita lakukan secara demokratis. Golongan tengah yang besar yang terbentuk secara demokratis akan membuat Indonesia jaya.

Tinggal kita belum tahu caranya: Apakah salah satu saja di antara tiga partai besar sekarang itu yang terus kita besarkan (boleh yang mana saja), atau mereka bertiga sendiri sepakat untuk bergabung saja. Di alam demokrasi sekarang, kita bisa mewujudkan mimpi itu lima tahun ke depan!

Kalau saja kita bisa mewujudkan semua itu untuk kurun pembangunan selama 20 tahun lagi, maka setelah itu terserah saja. Indonesia saat itu nanti sudah telanjur sangat makmur dan maju. Golongan yang paling kiri atau paling kanan pun sudah bisa diperbolehkan untuk hidup lagi secara legal. Toh, mereka sudah tidak akan diterima masyarakat kita yang wujudnya sudah sangat berbeda dengan masyarakat kita sekarang ini. Minimal saya sudah tidak bisa menulis lagi! (*)

Dahlan Iskan, JAWAPOS, 14, 15, 16 Agustus 2009

No comments:

Post a Comment