Baskara T. Wardaya
DALAM mengkaji suatu peristiwa historis tertentu dengan bertolak pada kesaksian seorang pelaku sejarah, secara prinsip kita perlu memilah antara “apa yang terjadi” dengan “apa yang diingat oleh pelaku sejarah tentang apa yang terjadi”. Perlu dibedakan antara “peristiwa” dan “ingatan akan peristiwa”. Dalam kaitan dengan ini tak kalah penting adalah memilah antara tinjauan dan pemaparan yang sifatnya deskriptif-analitis yang dilakukan oleh seorang sejarawan atas apa-yang-terjadi dan pemaparan atas ingatan seorang pelaku sejarah tentang apa-yang-terjadi itu. Kombinasi narasi yang bertolak dari pemilahan macam itu diharapkan akan dapat membantu memahami suatu peristiwa masa lalu secara lebih utuh, dan mungkin lebih relevan untuk masa-masa selanjutnya.
Legitimasi Kekuasaan
Bekal pemilahan demikian kiranya juga penting kalau kita ingin membaca dan mencermati buku Revolusi Agustus Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah (Hasta Mitra, 2008) yang merupakan penulisan kembali penuturan Soemarsono sebagai pelaku sejarah di seputar Peristiwa Madiun tahun 1948.
Sebelum membahas buku tersebut, perlulah kita melihat apa yang dikatakan oleh “narasi resmi” mengenai Peristiwa Madiun. Oleh narasi resmi, apa yang terjadi di Madiun pada tahun 1948 itu disebut sebagai sebuah “pemberontakan”. Menurut narasi ini, “pemberontakan” tersebut dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melawan pemerintah pusat RI. Selanjutnya dikatakan, “pemberontakan” itu dilancarkan karena para anggota partai tersebut ingin “merebut kekuasaan” dengan cara mendirikan “negara Soviet” di Madiun dan sekitarnya. Masih menurut narasi resmi, tentara pemerintah bereaksi dengan bergerak cepat guna memadamkan “pemberontakan” tersebut. Dalam waktu relatif singkat “pemberontakan” itupun dipadamkan, dan pemimpin-pemimpinnya dieksekusi.
Karena disampaikan oleh pihak “pemenang”, dengan mudah pemahaman menurut narasi resmi macam itu menyebar ke masyarakat sebagai narasi dominan dan cenderung dianggap sebagai kebenaran tunggal. Hal ini misalnya tercermin dalam penggambaran yang diberikan oleh salah satu situs populer, yakni situs Wikipedia edisi Indonesia (Wikipedia.com). Di situ apa yang terjadi di Madiun tahun 1948 dikatakan sebagai “sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948.” Selanjutnya dikatakan: “Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin …Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun …, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama….”
Masih menurut sumber yang sama, “pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskwa, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, a.l. Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll…. Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. … Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh…. Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ke 3 orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan.”
Apa yang dikatakan oleh situs ini menarik untuk disimak. Selain karena penggambarannya segaris dengan narasi resmi, juga karena situs populer macam itu sangat mudah diakses oleh publik sebagai sumber informasi maupun sebagai titik tolak wacana. Lagi, penjelasan demikian tentu masuk akal dan mudah dicerna, bahkan kalau beberapa bagiannya masih patut dipertanyakan.
Menarik untuk dicatat, sementara dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno apa yang terjadi pada tahun 1948 itu disebut sebagai “Peristiwa Madiun 1948”, oleh pemerintahan Orde Baru istilahnya telah diubah menjadi “Pemberontakan Madiun 1948”. Sebagai konsekuensinya, dalam pengertian yang coba disosialisasikan oleh Orde Baru itu tindakan eksekusi atas Amir Syarifuddin, mantan Perdana Menteri RI dan mantan Menteri Pertahanan RI—yang dituduh menjadi salah satu pemimpin “pemberontakan” tersebut—pada tanggal 19 Desember 1948 lantas menjadi suatu tindakan yang dipandang “logis”, “sah” dan mungkin bahkan “sudah seharusnya”. Sekaligus narasi resmi macam itu dipandang penting sebagai bagian dari perangkat legitimasi kekuasaan Orde Baru itu sendiri. Perlu disimak pula, dalam narasi resmi itu tekanan (atau pretensi?) diberikan pada “apa yang sesungguhnya terjadi” dan bukan mengenai ingatan akan apa-yang-terjadi.
Memahami Narasi
Hal itu tentu sangat berbeda dengan apa yang dapat kita baca dari buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah. Dalam buku ini yang mau ditekankan adalah ingatan seorang pelaku sejarah atas apa yang terjadi waktu itu. Sebagai salah seorang pelaku langsung dari apa yang terjadi di Madiun pada akhir tahun 1948 itu Soermarsono berusaha menuturkan kembali apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia alami sendiri. Buku ini disusun berdasarkan transkrip uraian lisan mengenai apa yang ia ingat dari rangkaian peristiwa yang terjadi, serta tanggapan dia atas peristiwa-peristiwa tersebut.
Bisa kita lihat dalam buku ini, betapa luar biasa kuatnya ingatan Soemarsono sebagai seorang pelaku sejarah. Ia tidak hanya mampu mengingat kembali dan bertutur mengenai apa yang terjadi pada tahun 1948 di Madiun, melainkan juga mengenai jatuh-bangun perjuangan dia dan kawan-kawannya dalam merebut dan mempertahankan Republik Indonesia di awal kemerdekaan. Dengan jelas dan dengan nuansa keterlibatan pribadi yang tinggi ia tuturkan kembali bagaimana ia berjuang sejak jaman Jepang, dalam Pertempuran Surabaya bulan November 1945, kegiatannya setelah itu, keikutsertaannya dalam pergolakan di seputar Peristiwa Madiun, serta apa yang terjadi dalam hidupnya kemudian.
Tak lupa ia ceritakan pula bagaimana atas keterlibatannya dalam berbagai peristiwa itu ia “diganjar” dengan masa pengasingan selama 14 tahun dan hukuman penjara Orde Baru selama 9 tahun. Bahkan setelah itu ia harus tinggal di negeri asing, hingga kini. Dari narasi Soemarsono terlihat dengan jelas semangat yang juga luar biasa dalam memperjuangkan dan membela kedaulatan rakyat Indonesia. Lepas dari apakah orang setuju atau tidak dengan cara-cara dan ideologi yang dipilih oleh penulisnya saat berjuang, dengan membaca buku ini kita akan menjadi bersikap hormat pada komitmen dan dedikasinya yang begitu mendalam demi kemerdekaan negeri ini.
Sebagaimana dikatakan dalam pengantar buku, ada dua argumentasi pokok yang muncul dari narasi Soemarsono. Pertama, peristiwa Madiun sama sekali bukan merupakan pemberontakan apalagi perebutan kekuasaan. Dengan tegas Soemarsono mengatakan bahwa pada tahun 1948 di Madiun tidak ada coup d’tat (perebutan pemerintahan nasional) maupun coup de la ville (perebutan pemerintahan kota). Pun tak ada maksud memisahkan diri dari pemerintahan RI di bawah Bung Karno. Soemarsono tetaplah seorang pengagum Presiden Sukarno sampai sekarang.
Bagi Soermarsono, apa yang terjadi di Madiun lebih merupakan reaksi saja atas provokasi-provokasi yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang ia sebut sebagai bagian dari “teror putih” yang sedang merajalela saat itu. Teror putih itu menurutnya sengaja dilancarkan dengan maksud untuk menggilas gerakan-gerakan kiri pro-rakyat, khususnya para pendukung Front Demokrasi Rakyat (FDR). Berbagai tindakan politis yang diambil oleh dia dan kawan-kawannya lebih merupakan langkah-langkah darurat guna membela diri serta upaya untuk menyelamatkan situasi. Hal ini terbukti dengan surat yang dikirim oleh para pemimpin di Madiun kepada pemerintah pusat di Yogyakarta dengan bunyi “meminta instruksi lebih lanjut.” Jika maunya berontak, kata Soemarsono, tentu tidak akan ada permintaan akan instruksi lebih lanjut ke pemerintah pusat seperti itu.
Kedua, Soemarsono memandang Peristiwa Madiun lebih merupakan akibat, daripada sebab. Ia menuturkan bahwa yang merupakan pangkal penyebab dari semua yang terjadi itu adalah apa yang disebut sebagai Red-Drive Proposal, sebuah dokumen rahasia yang disusun oleh para petinggi Pemerintahan Kabinet Hatta bersama wakil-wakil dari Amerika Serikat untuk menghabisi kekuatan kiri di Indonesia.
Di mata Soemarsono, pidato Bung Karno pada tanggal 19 September 1948 malam memang keras dan emosional, tetapi hal itu terjadi karena menurutnya Bung Karno sedang “digunakan” oleh pemerintahan waktu itu, yang nota bene sangat anti-kiri dan sedang berniat untuk menghantam unsur-unsur kiri di tanah air. Pidato tanggapan dari Musso pada malam yang sama oleh Soemarsono juga dipandang sebagai keras dan emosional, tetapi hal itu dilakukan karena Musso sedang marah karena dituduh memberontak padahal tidak. Di tengah situasi demikian, menurut Soemarsono, sebenarnya pertentangan yang ada masih bisa diselesaikan dengan baik, yakni dengan pencarian suatu solusi politik yang damai. Apa boleh buat, sebelum solusi politik yang damai itu ditemukan sudah terlanjur ada pihak-pihak tertentu yang buru-buru ingin menggunakan kekerasan militer untuk menyelesaikan masalah.
Dikisahkan kembali oleh Soemarsono, di tengah ketegangan yang terjadi di Madiun itu Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat mengirim seorang utusan khusus dari Yogyakarta untuk menilik situasi di sana, dan sesampai di Madiun memang didapatinya bahwa tidak ada pemberontakan. Antara sang utusan dan Soemarsono juga berlangsung percakapan dan relasi yang sangat baik, karena keduanya memang telah lama saling mengenal. Apa boleh buat, entah mengapa sekembalinya dari Madiun ternyata utusan tersebut tidak memberi laporan yang sebenarnya kepada pihak yang mengutusnya. Akibatnya pemerintah pusat di Yogyakarta memandang apa yang terjadi di Madiun sebagai sebuah perebutan kekuasaan dan memutuskan untuk menggunakan kekerasan guna menguasi kembali Madiun, serta menangkap mereka yang dituduh telah memimpin suatu upaya perebutan kekuasaan di Madiun.
Oleh Soemarsono dikisahkan pula bahwa meskipun telah dituduh merebut kekuasaan, para pemimpin itu tetap ingin menunjukkan diri bahwa bagi mereka musuh utama bukan pemerintah RI atau saudara sebangsa, melainkan Belanda. Itulah sebabnya ketika dikejar-kejar oleh tentara pemerintah para pemimpin dari Madiun itu kemudian lari ke arah garis demarkasi dengan Belanda di Jawa Tengah bagian utara, dengan maksud untuk berperang melawan Belanda di sana. Termasuk di antara para pemimpin itu adalah Amir Sjarifuddin, mantan Perdana Menteri RI. Ironisnya, justru ketika sedang berada di garis depan dan menyiapkan diri untuk bertempur melawan Belanda inilah mereka ditangkap untuk kemudian dieksekusi tanpa ada proses hukum sebelumnya.
Dari kacamata narasi Soemarsono ini tampaklah bahwa eksekusi terhadap Amir Syarifuddin dan kawan-kawan merupakan sebuah tindakan keji sesama anak bangsa yang sama-sama sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman kekuatan asing. Apalagi tanpa proses hukum sedikitpun.
Menjembatani Keduanya
Ketika memaparkan narasinya (lebih dari 50 tahun setelah terjadinya peristiwa), tekanan yang disampaikan oleh Soemarsono adalah apa yang dia ingat mengenai peristiwa tersebut. Tekanan bukan terutama pada uraian mengenai apa yang terjadi menurut dia dengan maksud untuk melegitimasi kekuasaan, mendapat kedudukan politis tertentu, atau hal-hal lain semacam itu (usianya telah lebih dari 80 tahun ketika ia bercerita). Ia hanya bermaksud supaya ada narasi lain atas Peristiwa Madiun di luar narasi resmi, dan kita diundang untuk mendengarkannya. Berbeda dengan narasi resmi, apa yang diceritakan oleh Soemarsono ini merupakan ungkapan pandangan dari perspektif di luar kekuasaan, yakni perspektif mereka yang selama ini telah terbungkam dan terdominasi narasinya.
Menarik untuk disimak bahwa narasi yang disampaikan oleh Soemarsono ini sangat dekat dengan narasi para pemimpin PKI ketika melakukan pembelaan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Dan tampaknya Presiden Soekarno memahami narasi mereka itu, sehingga waktu itu pemerintah RI tak pernah secara resmi melarang PKI.
Guna memahami kedua narasi tersebut secara lebih utuh, perlulah kiranya kita melihat apa yang terjadi di Madiun itu di dalam konteks yang lebih luas, khususnya konteks Perang Dingin yang waktu itu sedang berkecamuk di panggung internasional. Sebagaimana kita ingat, segera setelah Perang Dunia Kedua usai, Amerika Serikat dan Uni Soviet yang sebelumnya merupakan sekutu, kini telah saling berseberangan dan saling bertentangan dalam sebuah ketegangan internasional yang disebut sebagai “Perang Dingin”. Lahirlah apa yang disebut sebgai “Blok Barat” di bawah Amerika Serikat dan “Blok Timur” di bawah Uni Soviet. Amerika Serikat yang berhaluan kapitalis dan Uni Soviet yang berhaluan komunis/sosialis sama-sama ingin mengembangkan sayap pengaruh mereka di berbagai wilayah dunia, termasuk di Indonesia.
Kita juga ingat, dalam konteks ketegangan Perang Dingin itu tahun 1948 merupakan tahun yang penuh gejolak. Tahun 1948, misalnya, merupakan tahun kedua setelah Presiden AS Harry S Truman mengumumkan kebijakan “pembendungan” (containment) atas ekspansi Uni Soviet di berbagai belahan bumi. Mulai tahun 1948 AS makin agresif dalam rangka menghadang hasrat ekspansif Uni Soviet, demikian pula sebaliknya. Pada tahun yang sama ketengangan antara AS dan Uni Soviet memuncak dalam tindakan Moskwa untuk menutup akses menuju bagian barat kota Berlin, sehingga penduduknya menderita kekurangan logistik. Tindakan ini mendorong AS untuk melancarkan program “Berlin Airlift” guna mensuplai penduduk dengan makanan dan obat-obatan. Ini adalah juga tahun di mana Yugoslavia di bawah Joseph Broz Tito memisahkan diri dari Uni Soviet dan mendorong Soviet untuk mencegah kemungkinan munculnya komunisme nasional ala Tito di tempat-tempat lain. Pada tahun 1948 juga pemerintah Inggris melancarkan serangan besar-besaran terhadap kelompok komunis di Semenanjung Malaka, dengan maksud untuk menghadang pengaruh Soviet yang dikhawatirkan akan masuk ke wilayah jajahannya itu melalui unsur-unsur komunis di sana. Singkat kata, pada tahun 1948 itu baik Amerika Serikat dan sekutunya maupun Uni Soviet dan para pendukungnya sedang berusaha keras untuk memperluas wilayah pengaruh (sphere of influence) masing-masing, sambil berusaha mencegat pelebaran sayap yang coba dilakukan oleh pihak lain.
Di Indonesia sendiri tahun 1948 adalah juga tahun penuh gejolak. Pada bulan Januari tahun itu Indonesia di bawah Perdana Menteri Amir Syarifudin menandatangani Perjanjian Renville dengan Belanda. Tetapi karena perjanjian itu dinilai merugikan, dua partai besar pendukung PM Amir, yakni PNI dan Masyumi, menarik dukungannya sehingga Amir harus mengundurkan diri dengan kecewa, dan kabinetnya diganti dengan Kabinet Hatta. Sementara itu, Belanda menggunakan Renville untuk mempersempit wilayah dan pengaruh Republik Indonesia, sambil menciptakan kekacauan di dalamnya. Misalnya melalui blokade ekonomi terhadap RI. Pada tahun ini juga terjadi ketegangan luar biasa dalam tubuh RI ketika Kabinet Hatta berencana melakukan program “Re-Ra”, yakni program Reorganisasi dan Rasionalisasi (pengurangan jumlah) angkatan bersenjata yang dinilai akan merugikan kekuatan-kekuatan laskar rakyat.
Pada tahun 1948 juga Musso, tokoh komunis yang sudah 20 tahun beradi di luar negeri, kembali ke tanah air dan segera menjadi figur acuan dan pemimpin gerakan komunis di Indonesia. Konsep “Jalan Baru Republik Indonesia” untuk merebut kemerdekaan 100% dari Belanda yang dicanangkannya telah memompa semangat perjuangan kaum kiri di Indonesia untuk bertempur tanpa kompromi melawan Belanda. Oleh sementara pihak, kedatangan Musso bersama Suripno, yang baru pulang dari Praha untuk berunding dengan pihak Uni Soviet, dipandang sebagai bagian dari upaya pelebaran pengaruh Uni Soviet di Indonesia melalui kelompok-kelompok komunis. Pandangan macam itu membuat semakin meningkatnya kecurigaan kelompok anti-komunis terhadap kelompok-kelompok komunis di Indonesia, dan meruncingnya ketegangan politikpun tak terhindarkan lagi.
Sementara itu pada pertengahan tahun itu juga beredar informasi mengenai adanya Red Drive Proposal. Sebagaimana telah disinggung di depan, informasi ini mengaitkan Kabinet Hatta dengan pihak Amerika Serikat yang juga sedang berusaha mengeliminasi pengaruh komunis dan pengaruh Uni Soviet di Indonesia. Menurut informasi ini, pada tanggal 21 Juli 1948 telah terjadi pertemuan rahasia di Sarangan antara Bung Karno, Bung Hatta dan para pemimpin RI yang lain dengan wakil-wakil dari Amerika Serikat, khususnya Merle Cochran dan Gerarld Hopkins. Pertemuan itu menghasilkan sebuah dokumen rahasia berisi konsep kerjasama untuk menghabisi gerakan kiri di Indonesia. Dokumen itu katanya disebut sebagai Red Drive Proposal, dan Red Drive Proposal inilah yang pelaksanaannya nanti melahirkan Peristiwa Madiun.
Tinjauan dengan melibatkan konteks Perang Dingin macam ini penting, karena olehnya kita jadi terbantu untuk bisa melihat permasalahan secara lebih utuh dan kontekstual. Apalagi mengingat bahwa narasi resmi disampaikan dengan dorongan kepentingan kekuasaan, sementara narasi pelaku sejarah lebih merupakan tuturan atas apa yang terjadi di Madiun sejauh yang dialami oleh orang yang terlibat langsung dan masih perlu dilengkapi dengan kesaksian pelaku-pelaku lain. Konteks Perang Dingin membantu menjembatani keduanya. Berkaitan dengan ini, pada satu sisi sumber informasi bagi tuturan Soemarsono mengenai Red Drive Proposal itu masih sulit dipertanggung jawabkan (Swift 1989: 81-83), namun pada sisi lain jelas sekali bahwa dalam konteks Perang Dingin waktu itu Blok Barat di bawah pimpinan AS memang sedang berupaya menghancurkan kekuatan-kekuatan kiri di manapun juga, termasuk di Indonesia.
Komitmen dan Dedikasi
Apapun perspektif yang digunakan dalam melihat Peristiwa Madiun, dengan membaca buku Revolusi Agustus ini kita akan disadarkan kembali bahwa baik kelompok-kelompok “kanan” maupun kelompok-kelompok “kiri” sebenarnya sedang sama-sama ingin mengusir Belanda dari Indonesia dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa mereka. Kita disadarkan pula bahwa dalam rangka mempertahankan kemerdekaan itu masing-masing pihak ingin mendapat dukungan internasional. Bedanya, yang satu berharap dukungan itu datang dari Blok Barat, sedang kelompok lain ingin supaya dukungan itu datang dari Blok Timur. Namun demikian, entah dukungan itu nantinya datang dari Barat atau Timur, jelas sekali bahwa baik mereka yang berada di “kanan” maupun yang berada di “kiri” sedang sama-sama ingin memperjuangkan kepentingan rakyat banyak dan bukan kepentingan-kepentingan pribadi.
Peristiwa Madiun yang diakhiri dengan eksekusi para pemimpin tanpa pengadilan, termasuk Amir Syarifuddin (yang setidaknya bisa dilihat dengan dua kacamata yang berbeda), serta pertumpahan darah rakyat banyak, mendorong kita untuk berharap bahwa yang namanya perbedaan pandangan politik tidak seharusnya selalu diakhiri dengan kekerasan. Dibutuhkan kepiawaian para pemimpin dan warga masyarakat untuk mencari solusi-solusi politik yang lebih manusiawi dan bersifat non-kekerasan.
Berkaitan dengan adanya narasi-narasi yang berbeda, kita merasa perlu adanya wacana yang berkesinambungan antara: (a) narasi resmi, (b) narasi para pelaku dan saksi sejarah, serta (c) narasi para sejarawan yang ditulis berdasarkan konteks historis waktu itu.
Narasi resmi perlu dipelajari, karena meskipun sarat dengan kepentingan politis dan legitimasi kekuasaan, itulah narasi yang “terlanjur” beredar di ruang publik dan dipahami oleh masyarakat selama ini, bahkan sampai sekarang. Upaya untuk mengubah pemahaman yang sudah terlanjur beredar di masyarakat membutuhkan pengertian yang memadai atas apa yang telah terlanjur beredar itu.
Narasi dari para pelaku dan saksi mata seperti Soemarsono ini perlu didengarkan, karena meskipun berbeda dari narasi resmi yang selama ini beredar di masyarakat, apa yang mereka kisahkan merupakan ungkapan ingatan dari para saksi dan pelaku yang secara langsung mengalami dan terlibat dalam peristiwa sejarah saat peristiwa itu berlangsung. Bahwa kita setuju atau tidak setuju dengan apa yang mereka ingat dan ungkapkan, tentunya hal itu merupakan masalah lain.
Pada saat yang sama kita juga perlu mendengarkan narasi para sejarawan. Diharapkan, dalam meninjau sebuah peristiwa sejarah, para sejarawan tidak sekedar menggambarkan ulang apa yang terjadi dengan cara seakan-akan ia pernah mengalaminya sendiri, melainkan mendeskripsikan hasil “rekonstruksi” mereka berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku atas peristiwa tersebut, untuk kemudian menganalisisnya, mengekstrapolasinya, dan mengaitkannya dengan konteks yang lebih luas, termasuk kaitannya dengan masa kini. Uraian para sejarawan yang bersifat deskriptif-analitis diharapkan akan mampu menghasilkan suatu paparan yang lebih utuh, untuk kemudian diberi keterangan dan makna historis secara lebih proporsional.
Dengan demikian jika kita ingin secara sungguh-sungguh belajar dari Peristiwa Madiun kita perlu mempertimbangkan ketiga jenis narasi tersebut. Begitu pula kalau kita ingin memperlajari apa yang dialami oleh Mantan Perdana Menteri RI Amir Syarifuddin dan kawan-kawan dari Madiun. Dalam kaitan dengan ini tak boleh bahwa satu perspektif mendominasi apalagi meniadakan perspektif-perspektif lain. Lahirnya buku Revolusi Agustus memperkaya perspektif kita dalam meninjau kembali dan merefleksikan apa yang terjadi di Madiun pada tahun 1948 itu, berikut faktor-faktor pendorong dan dampaknya kemudian.
Satu hal yang kuat terasa ketika kita membaca buku Revolusi Agustus ini adalah tak dapat diragukannya komitmen dan dedikasi Soemarsono sebagai pelaku sejarah dalam usahanya memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsanya sejak muda hingga masa tuanya. Kiranya komitmen dan dedikasi serupa juga dimiliki oleh banyak orang lain dari generasinya Soemarsono, entah mereka yang berada di “persimpangan kiri” atau “persimpangan kanan” jalannya sejarah Indonesia. Kita berharap bahwa komitmen dan dedikasi yang sama juga akan lahir dari para pejuang rakyat pada generasi-generasi selanjutnya, termasuk generasi sekarang ini.***
No comments:
Post a Comment