Nun di kesunyian pantai Telukcikal di wilayah Kadipaten Pati tersohorlah kelincahan seorang putri duyung Rara Mendut. Ia seorang yatim piatu yang dipelihara hidupnya oleh siwa nelayan kakung putri. Adalah kebiasaan Sang Rara mengikuti siwanya mengembara menundukkan gelombang dan karang, juga badai topan. Jiwa pelaut yang mengalir melalui urat darahnya merupakan keanggunan alam liar yang sangat menantang bagi setiap petualang.
Mendengar kabar angin mengenai Sang Rara, tak kalah Adipati Pragola II yang berkuasa atas Kadipaten Pati ikut kesengsem dan berminat menjadikannya sebagai selir di dalam purinya. Akhirnya dengan pemaksaan kekuatan prajurit dirampaslah Rara Mendut dari siwa kakung putrinya.
Di kala masa yang bersamaan sedang meruncinglah hubungan antara Sinuwun Ing Alaga Mataram dengan Sang Adipati yang tidak mau lagi atur bulu bekti ke pemerintah pusat di Kerta. Hal demikian membuat Mataram berencana nggecak perang ke Pati. Kesibukan untuk menyambut tantangan Panglima Besar Wiraguna Jaya Mataram, menyebabkan Sang Adipati tidak dapat langsung memetik keranuman buah Rara Mendut. Rara Mendut sengaja ditempatkan di keputren untuk menjalani didikan unggah-ungguh ndalem kedhaton di bawah asuhan abdi kinasih Ni Semangka dan emban kecil Genduk Duku.
Akhirnya benarlah terjadi hari naas kejatuhan Kadipaten Pati oleh serangan Mataram yang dipimpin Manggala Yuda Wiraguna. Sebagai bukti kemenangan Mataram adalah kepala Adipati Pragola yang terpenggal untuk dipersembahkan kepada Sinuwun Ing Alaga Mataram. Semua kerabat dan keluarga adipati dibantai habis sebagaimana hukum perang yang berlaku saat itu. Segala isi puri Patipun dijarah rayah, bahkan termasuk para putri dan garwa selir diambil paksa sebagai putri boyongan. Demikianlah nasib Rara Mendut bersama para emban dan abdi kinasih puri harus ikut boyong ke Mataram.
Perjalanan para tawanan perang menuju kotaraja itupun dimulai. Meski ditandu oleh prajurit dengan segala pelayanannya, namun tawanan tetaplah tawanan yang telah kehilangan kebebesan dan kemerdekaannya karena sudah menjadi titah dalem bahwa segala hal di dalam kukuban kekuasaan Sang Raja Binatara adalah menjadi milik raja, termasuk para wanita dan prawan-prawannya.
Perjalanan berat dengan ratusan ribu bregada prajurit menempuh jalur arah barat melewati Semarang untuk kemudian membelok ke selatan arah Rawa Pening. Selepas itu kelebatan hutan Boyolali diterabas hingga mencapai gerbang kotaraja di desa Taji. Sepanjang perjalanan umbul-umbul dan panji-panji dikibarkan dengan diiringi genderang kemenangan yang menggema yang selalu disambut meriah warga dusun. Panglima Besar Wiraguna memimpin barisan dengan gagah perkasa menunggah gajah yang tinggi besar sangat berwibawa.
Setelah menyambut kedatangan pasukan kebanggaannya Susuhunan Hanyakrakusuma menyampaikan titahnya. Dan adalah hak seorang raja besar terhadap semua harta pampasan perang dan termasuk semua putri boyongan, namun atas kemurahan dalem dihadiahkanlah Rara Mendut kepada sang Wiraguna. Hmmm…betapa mongkok dada
Manggala Yuda yang sudah berumur tujuh windu itu. Singkat cerita Rara Mendut akhirnya menjadi putri di puri Wiragunan.
Adalah lumrah hati wanita yang tak rela sepenuhnya apabila dirinya dimadu, meskipun adat di kala itu menempatkan wanita sebagai makhluk yang tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Wanita adalah milik raja, dan segala titah atas dirinya haruslah disendiko dawuhi. Namun Wiraguna memang panglima tua dengan istri segudang. Adalah Nyai Ajeng sang istri perdanapun adalah anugrah Susuhunan, ditambah lagi Putri Arumardi dari lereng Merapi, Putri Arimbi, Putri Sengsemwulan, Mawarwungu……kurang apa lagi? Pantaslah bila para pendamping pendahulu tersebut cemburu dan membenci Rara Mendut.
Namun bukanlah Wiraguna sang singa di medan laga, jika tidak menginginkan tandingan yang seimbang. Wanita dengan segala kelemahlembutan adalah hal biasa, dan itu semua sudah didapatkannya dari selir-selirnya. Namun wanita dengan naluri keliaran alam dan riak gelombang badai lautan, hanyalah Rara Mendut yang memilikinya.
Kegundahan sang senopati merasakan kegemasan hatinya karena tepukan tangannya yang tidak berbalas oleh Rara Mendut. Maka dengan cara licik atas desakan Nyai Ajeng, diwajibkannya Rara Mendut untuk membayar pajak kepadanya sebesar tiga real sehari. Jumlah uang tiga real bagi orang kebanyakan adalah jumlah yang sangat banyak, dan tidak terbayang oleh Rara Mendut beserta dayangnya bagaimana mendapatkan uang pajak tersebut.
Akhirnya dengan seijin Panglima Wiraguna, Rara Mendut berjualan rokok di muka pasar kotaraja. Berbeda dengan julan rokok kebanyakan, rokok yang dijual Rara berupa tegesan atau puntung rokok. Rokok utuh disulut lalu diisap oleh Rara, nah bekas isapan rokok tersebutlah yang diperebutkan para pembeli. Kok bisa laku?
Bagaimana tidak laku, tegesan yang telah basah dengan ludah sang putri cantik boyongan dari Pati, yang tersohor kecantikannya bagai Dewi Ratih. Namun demikian untuk tetap menjaga wibawa Wiraguna atas putri boyongannya, Rara Mendut hanya diperkenankan jualan rokok di balik tirai jambon hingga para pelanggannya tidak dapat melihatnya secara langsung. Justru tandu berbentuk bilik dengan tirai jambon yang senantiasa dijaga oleh pengawalan prajurit Wiragunan itulah yang menambah penasaran banyak orang untuk merasakan rokok Rara Mendut.
Adalah seorang pemuda putra Nyi Singobarong pedagang kaya dari Pekalongan yang bernama Pranacitra kebetulan ada urusan dagang di kotaraja. Ia sengaja ke kotaraja
Kerta dengan dikawal Ntir-untir dan Bolu abdi setianya. Mendengar kabar kedai rokok bertirai itupun mereka penasaran, dan ingin mengunjungi sekedar mencicipi rokok Rara Mendut.
Dengan siasat dan tipu daya para abdinya, Pranacitra tidak hanya membeli rokok semata, ia bahkan berhasil bertatap muka dengan sang Rara. Dan akhirnya jatuh cintalah kedua insan tersebut dalam pandangan pertama. Pertemuan-pertemuan sesaat itupun berlanjut.
Akhirnya pada Seloso Kliwon, saat dilaksanakan pertandingan adu jago di Prawirataman, berbondonganlah warga ingin menyaksikan pertunjukan hiburan meriah tersebut. Suasana kemeriahan dengan keruman banyak orang itu dimanfaatkan oleh Pranacitra untuk sedikit memancing kegaduhan hingga terjadilah ontran-ontran di kotaraja. Kerumunan massa menjadi panik, berlarian ke sana ke mari saling bertabrakan.
Kesempatan segera dimanfaatkan Pranacitra untuk membawa Rara Mendut keluar menjauhi kotaraja. Jauh di batas kota, dua insan yang sedang mabuk kepayang dibuai dewa asmara itupun melampiaskan kerinduannya. Dunia serasa hanya milik mereka berdua.
Namun pada saat Pranacitra ingin mengajak Rara Mendut untuk sekalian lari dari Puri Wiragunan, ternyata Rara belum menyanggupinya. Rara masih berat hati karena belum sempat berpamitan dengan Putri Arumardi, sahabat sejatinya yang senantiasa mendengarkan curahan hatinya di saat-saat kesepian di dalam puri. Putri Arumardilah yang senantiasa menguatkan hati Rara, dan mereka telah bersumpah mengangkat saudara. Akhirnya dengan ditumpangkan pedati pak tani yang membawa hasil buminya ke kotaraja Rara Mendut kembali ke dalem Wiragunan.
Siasat untuk melarikan Rara Mendut kemudian diatur oleh Pranacitra dengan berpura-pura menjadi abdi di Wiragunan. Singkat kisah, karena ketekunan dan kerajinannya dalam menjalankan tugas sehari-hari, Pranacitra menjadi abdi kesayangan Sang Panglima Wiraguna. Hal ini jelas sangat menguntungkan untuk mencari celah saat yang tepat bagi pelariannya dengan Rara Mendut.
Akhirnya saat yang dinanti itupun tiba. Di tengah malam gelap kelam tanpa bulan dan bintang, suara burung uhuk seakan pertanda akan terjadinya peristiwa yang menggegerkan. Dan memang dengan menunggang kuda perkasa milik Sang Panglima, Pranacitra berhasil melarikan Rara Mendut. Adalah Nyai Ajeng yang di kemudian hari bersimpati atas nasib Rara Mendut yang tidak mau diperistri suaminya dibantu Putri Arumardi, turut merencakan pelarian tersebut.
Dan adalah Nyai Ajeng pula yang kemudian melaporkan bahwa telah terjadi penculikan terhadap Rara Mendut kepada suaminya. Geram Wiraguna merasa kebobolan. Diperintahkannya seluruh pasukan Wiragunan untuk mengejar kedua pelarian hidup atau mati. Kekalutan hati, rasa malu diperdaya dan kehilangan muka yang mendera Sang Panglima tua menjadikannya hilang kesadaran dan jatuh pingsan.
Di keesokan harinya, setelah sadar dari pingsan semalamannya, Wiraguna semakin muntab mendengar laporan pasukannya gagal menangkap Rara Mendut. Akhirnya diputuskannya untuk memimpin sendiri pengejaran.
Bukanlah pasukan Wiragunan jika hanya untuk mengejar dua orang pelarian tidak sanggup menangkap dengan cepat. Prajurit Wiragunan adalah inti pasukan Mataram nan perwira penakhluk Madiun, Surabaya, Pasuruan dan seluruh pesisir pantai utara.
Akhirnya berhasillah dikejar Rara Mendut dan Pranacitra di muara Kali Opak. Pranacitra sang pemuda yang tidak berbekal ilmu kanuragan apapun ditantang Panglima Wiraguna sang senopati perkasa. Seluruh pasukan dan warga yang mengerubungi mereka diperintahkan untuk menjauh dari tepian pasir pantai, hingga mereka hanya bisa melihat dari kejauhan tiga bayangan hitam di keremangan senja pantai selatan tersebut.
Tanpa basa-basi terjadilah perkelahian yang jelas tidak seimbang. Rara Mendut hanya bisa selalu berlindung di balik punggung sang kekasih pujaan hatinya. Akhirnya tak lebih dari sepuluh jurus, Wiraguna berhasil mendesak Pranacitra dan pada sabetan keris selanjutnya berhasillah ditikamnya dada sang Pranacitra. Bersamaan dengan itu Rara Mendut mendekap erat punggung Pranacitra, hingga keris yang menembus sang pangeran cinta ikut menembus dadanya juga.
Tewaslah seketika dua sejoli dengan senyum bahagia disambut dewa-dewi asmara yang sengaja menebarkan aroma wangi bunga surgawi. Sang Wiraguna bersila tertegun merasakan gemuruh dadanya yang sesak mengingat kejadian yang baru terjadi. Diberikanlah penghormatan terakhir sebagai sesama ksatria yang memegang teguh darma harga dirinya, sebelum akhirnya gelombang pantai Selatan menyambut kedatangan dua makhluk pecinta sejati tersebut.
Demikianlah sekilas kisah percintaan abadi Rara Mendut dan Pranacitra yang diabadikan oleh Rama Mangunwijaya dalam bentuk sebuah novel. Novel ini merupakan buku pertama dari Trilogi Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri yang dikarang di akhir tahun tujuh puluhan. Dengan penuturan yang runtut dan detail, serta gaya penulisan lugas yang sangat njawani menjadikan buku ini bisa dijadikan referensi novel sejarah juga.
Berlatar belakang masa keemasan Mataram di bawah Susuhunan Adiprabu Hanyakrakusuma Ing Alaga Sayidin Panatagama novel ini juga memberikan gambaran mengenai adat istiadat dan sistem hukum di kalangan para ningrat istana yang sangat sarat dengan konflik dan persekongkolan jahat. Hak rakyat di bawah sistem monarkhi absolut dimana raja adalah perwakilan Tuhan, adalah sebagai budak yang setiap saat harus menyerahkan segala miliknya, bahkan diri dan nyawanya apabila sang raja berkenan memintanya.
Romo Mangun berusaha mengangkat fakta intrik di balik tinggi tembok istana. Tak selamanya kaum ningrat memiliki derajat hati ningrat pula, namun satu hal yang pasti bahwa pergulatan antara kebenaran dan kebatilan tiada akan pernah berhenti selama jagad bumi masih berputar.
Sumber: (http://sangnanang.dagdigdug.com/2009/02/06/rara-mendut/)
No comments:
Post a Comment