Thursday, July 22, 2010

LUSI LINDRI (Buku III Trilogi Rara Mendut)

Dalam buku ke tiga ini Romo Mangun mengangkat kisah abdi Lusi Lindri, anak semata wayang Genduk Duku. Dengan berlatar belakang sejarah pemerintahan Susuhunan Amangkurat yang kejam dan tiran, kembali keserakahan dan kekejaman demi penurutan ambisi dan nafsu sebagian kalangan ningrat digambarkan secara apik dan dramatis.


Sepeninggal Slamet, sang suami, Genduk Duku mengabdikan diri kepada Bendara Pahitmadu di pesanggrahannya. Bendara yang satu ini memang selama masa hidupnya tidak pernah memiliki pendamping hidup. Dengan demikian keberadaan Duku dan si kecil Lusi merupakan kebahagian sebagai penuntas rasa kesepian di hari tuanya. Duku sudah dianggap seperti anaknya sendiri, dan Lusi tentu saja menjadi cucu kinasihnya.

Kasih sayang Bendara putri yang satu ini memang tulus dan suci. Sikap agung demikian memang sangat berlawanan dengan adiknya, Wiraguna. Di senja hari hidupnya, di tengah deraan sakit tua yang kian parah, berkunjunglah beberapa kerabat dan pejabat kalangan istana. Pada saat Wiraguna dan Tumenggung Singaranu berkunjung, terucaplah wasiatnya melalui Putri Arumardi. Diamanatkannya bahwa Genduk Duku diberinya warisan sebidang tanah di daerah Tempuran wilayah dataran Kedu. Dan kepada Putri Arumardi dipintanya untuk mengasuh Lusi Lindri dengan baik, dan kelak jika sudah remaja agar Lusi dititipkan untuk mengabdi kepada Nyai Pinundhi, istri Tumenggung bijak Singaranu di Puri Jagaraga.

Roda hidup memang senantiasa berputar sebagaimana menjadi titah Gusti Allah. Merenung dalam atas kelakuan putra mahkota Raden Mas Jibus membuat kesehatan Sinuwun Susuhunan Adiprabu Hanyakrakusuma surut. Dan memang takdir tak dapat ditolak ketika sang malaikat maut menjemput raja Mataram teragung tersebut menuju alam kasedan jati. Sultan Agung yang mendapatkan gelar sultan dari Mekah mangkat di tengah kegalauan hatinya memikirkan masa depan negaranya ini, kemudian dimakamkan di pemakaman yang beliau bangun sendiri di bukit Imogiri.

Sepeninggal Sultan Agung maka secara otomatis Raden Mas Jibus sebagai putra mahkota bergelar Pangeran Aria Mataram ditasbihkan menduduki tahta Mataram. Berbeda dengan kakek dan ayahandanya yang menyandang gelar Hanyakrawati dan Hanyakrakusuma, maka raja yang baru ini, dengan segala ambisi dan kesombongannya memilih Hamangkurat. Bumi dan jagad semesta ingin dipangkunya sebagaimana kegemarannya memangku wanita-wanita yang dirampasnya dari suami-suami dan orang tua mereka.

Kelompok kecil yang sebenarnya lebih menyukai Pangeran Alit, terutama para adipati petinggi dari brang wetan seperti Surabaya dan Madura menjadi berkecil hati atas sikap raja mereka yang baru. Ada desas-desus di kalangan dalam bahwa mereka satu per satu akan disingkirkan. Suasana demikian menjadikan Pangeran Alit bergejolak panas jiwa remajanya, hingga di suatu senja ia ingin melabrak istana sang raja. Situasi ini sebenarnya merupakan taktik Jibus untuk memancing emosi Pangeran Alit, hingga ia mempunyai alasan kuat untuk menyingkirkan duri dalam dagingnya.

Dan memang senja itu menjadi demikian sangat mencekam. Pangeran Alit remaja belia itu segera berhadapan dengan pengawal dalem. Dengan kemarahan yang tiada terkendali berhasil ditikamnya beberapa pejabat. Melihat gelagat demikian Adipati Sampang segera menerjang, dan hanya dalam beberapa gebrakan berhasil ditikamkannya keris pusakanya tepat mengenai leher sang Pangeran Alit. Senja itu telah menjadi saksi sejarah untuk pertama kalinya terjadi darah tumpah diantara anak cucu Panembahan Senapati.

Beberapa kalangan pejabat yang sangat setia kepada ayahandanya, namun berseberangan dengan kebiasaan jahatnya disingkirkan Amangkurat satu persatu. Diantara mereka adalah Tumenggung Dipayuda dan tentu saja sang Manggala Yudha Wiraguna. Wiraguna terutama, dianggap telah mempermalukan dirinya di muka Sultan Agung terkait peristiwa Tejarukmi. Dengan taktik menggempur Blambangan, keduanya dikirim memimpin pasukan perang Mataram. Bahkan dengan kelicikan Amangkurat, diperintahkanlah seorang pembunuh khusus untuk meracun Wiraguna dengan racun tikus.

Tidak hanya sang panglima yang ditumpas habis, segenap keluarga, para istri, selir, bahkan semua abdi harus dibantai sesuai titah raja. Demikian kejam hukum kerajaan dengan titah sang raja adalah takdir wali Tuhan di muka bumi. Tak lepas semua anggota Puri Wiragunapun akan dipenggal massal satu per satu.

Saat perintah demikian dititahkan, Tumenggung setia Singaranu mengutus Lusi yang sebagaimana ibunya sangat mahir menunggang kuda, untuk memberikan surat khusus kepada Putri Arumardi. Dengan bantuan Lusi akhirnya Putri Arumardi berhasil meloloskan diri sebelum pasukan khusus yang bertugas melaksanakan pembantaian tiba. Putri Arumardi kemudian melarikan diri ke arah barat hingga mencapai Kali Progo. Dari sana ia menyusur ke utara untuk tinggal bersama Genduk Duku di Tempuran, wilayah Kedu di selatan Gunung Tidar.

Tidak berhenti sampai di situ, antek-antek Jibus menghembuskan warta bahwa para ulama dan kaum santri melakukan perongrongan tahta yang menjurus kepada tindakan makar. Maka di suatu malam yang kelam tiada berbintang, terjadilah juga pembantaian masal terhadap kaum santri tersebut. Sebanyak 6000 nyawa melayang dalam waktu sekejab. Sejak awal para ulama memang selalu menyampaikan kritik soal perilaku tak bermoral Jibus, bahkan sewaktu Sultan Agung masih sugeng.

Kebijakan licik demikian sebenarnya sangat menjadikan Pangeran Purbaya, sang pamanda, yang diamanati secara khusus oleh Sultan Agung untuk memangkukan tahta Mataram kepada Jibus, menjadi sangat terpukul dan sedih tiada tara. Ketika hal tersebut sengaja dipertanyakannya kepada Amangkurat, jawaban yang diterimanya bahwa sebuah pohon hanya dapat tumbuh dengan baik apabila tidak banyak ranting dan dahan pengganggu. Dengan demikian ranting dan dahan pengganggu memas harus dipangkas. Dan mengenai Pangeran Alit, hal itu memang sudah menjadi pesten, takdir Yang Kuasa.

Kejadian-kejadian tragis di awal pemerintahan Amangkurat sudah pasti menjadikan Kanjeng Ratu Ibu, sang ibunda meratap sedih mengingat kebesaran Sultan Agung almarhum. Namun bagaimanapun diamnya seorang ibu, adalah menjadi kewajibannya untuk selalu memberikan perlindungan kepada putranya. Bagaimanapun juga bagi seorang ibu, kehormatan harus tetap dijunjung tinggi meski dengan cara berstrategi menutupi kerendahan akhlak putranya. Munafik memang kelihatannya, namun demikianlah peran ibu sang pelindung sejati sepanjang masa.

Atas gagasan Kanjeng Ratu Ibulah kemudian dibentuk satuan pengawal dalam Trisat Kenya. Pasukan tersebut bertugas mengamankan keselamatan raja dalam lingkaran terdalamnya, bahkan dalam sisi kehidupan paling privasinya. Pasukan pengawal ini, sesuai dengan namanya, terdiri atas tiga puluh perawan pilihan yang dididik secara khusus dengan ketrampilan olah kanuragan tinggi. Tugas seorang Trisat Kenya secara otomatis akan berakhir manakala sang raja menitahkannya untuk dihadiahkan kepada pejabat negara atau para adipati bawahan. Dan memang kebanyakan anggota Trisat Kenya dinikahi oleh para bawahan raja sebagai hadiah.

Pada suatu ketika, berkuranglah seorang Trisat Kenya setelah dinikahkan dengan seorang pejabat di Madiun. Sedikit berbincang, Kanjeng Ratu Ibu mneyampaikan hal tersebut kepada Nyai Pinundhi pada saat berkunjung ke Puri Jagaraga. Dan ketika Lusi Lindri keluar menghidangkan sajian, tuan rumah mengisahkan mengenai siapa Lusi, anak dari Genduk Duku sang abdi Rara Mendut yang legendaris itu. Bahkan Kanjeng Ratu Ibu juga mengetahui mengenai kisah affair Wiraguna di masa lalu itu. Saat mendengar mengenai keahlian Lusi dalam olah katuranggan sebagaimana ibunya yang berdarah Bima, secara terkesan Kanjeng Ratu Ibu menginginkan agar Lusi dapat mengabdi sebagai Trisat Kenya. Keinginan seorang ibunda raja adalah titah dan hukum yang harus ditaati.

Begitu tahu akan ditugaskan di dalam benteng istana, sesaat Lusi merasa terampas dari kemerdekaannya. Bagaimanapun Lusi remaja ini baru saja mengenal rasa cinta terhadap makhluk yang bernama lelaki. Beberapa kali mendapatkan tugas memandikan kuda di tepian bendungan dekat randu lanang di samping puri Pangeran Tuban, sering dijumpainya seorang peranakan Londo yang memikat hatinya. Pemuda tersebut bernama Hans. Hanes adalah anak dari seorang tawanan dari Betawi yang mempunyai keahlian bidang permeriaman. Tresno jalaran soko kulino, begitulah kata para leluhur. Meski sadar akan perasaannya, namun bagaimanapun juga Lusi hanyalah seorang abdi yang harus senantiasa taat terhadap titah bendaranya.

Selain mengawal baginda raja dalam acara-acara resmi kenegaraan, Lusi seringkali mendapatkan tugas khusus yang langsung dari Kanjeng Ratu Ibu. Suatu ketika di puncak kemarahannya, Pangeran Purbaya tidak mau sowan dalam paseban agung yang diselenggarakan setiap minggu. Pisowanan tersebut merupakan acara resmi kenegaraan sebagai bukti kesetiaan terhadap raja. Pejabat negara yang tidak mau hadir bisa dianggap sebagai pemberontak, dan konsekuensinya adalah hukuman pancung.

Di tengah keruncingan hubungan anak dan pamannya, maka Kanjeng Ratu Ibu mempunyai cara terhormat untuk mendamaikan keduanya. Suatu malam diutuslah Lusi untuk menyampaikan surat rahasia kepada Pengaran Purbaya. Isi surat tersebut meminta kepada sang pangeran untuk bertirakat di makam Sultan Agung malam itu juga. Menerima titah yang berhubungan dengan Sultan Agung membuat Purbaya rela berangkat ke Imogiri, meski untuk menjaga segala kemungkinan murka raja dibawanya lima ratusan prajurit plihan.

Di sisi lain, Kanjeng Ratu Ibu meminta putranya Susuhunan Amangkurat untuk juga bertirakat di makam ayahandanya sesuai wangsit yang diterimanya di tengah mimpi. Dengan berat hati Jibus menyanggupi pergi ke Imogiri di keesokan harinya. Akhirnya tanpa sepengetahuan anak-paman yang sedang berseteru itu, keduanya bertemu muka di depan makam Sultan Agung, tokoh yang sama-sama mereka takuti dan hormati. Dan dalam pertemuan tersebut berhasillah keduanya didamaikan. Pangeran Purbaya tidak harus dihukum mati, dan rajapun tidak kehilangan muka karena tidak bisa menghukum sang paman. Bahkan dalam pertemuan itu, raja menetapkan bahwa Pangeran Purbaya tidak lagi diwajibkan untuk selalu hadir dalam setiap pisowanan agung, hanya sekali-sekali saja jika dipandang perlu.

Kejadian besar tersebut dapat terjadi berkat kecakapan Lusi Lindri, kenya penunggang kuda trengginas yang harus selalu mendar-mandir menunggang kuda di tengah malam buta dari istana, Purbaya, Imogiri pulang pergi dalam waktu yang cepat. Di tengah kelelahannya, tanpa sadar Lusi tersesat jalan hingga di tepian Segarayasa. Danau buatan dari dibendungnya sungai Opak ini dibuat oleh raja terdahulu sebagai tempat rekreasi keluarga raja. Di sanalah Lusi kemudian bertemu dengan Pinaring, seorang duda beranak satu yang kelak menjadi pendamping hidupnya.

Tugas rahasia berbahaya lain dilakukan Lusi saat Amangkurat nandang wuyung, kasmaran dengan istri seorang dalang dari Pajang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa semenjak peristiwa Tejarukmi, Jibus tidak lagi dapat menunaikan tugas kelelakiannya. Hal ini dipercaya sebagai kutukan para santri yang dibantainya mencapai 6000 orang. Hanya saja konon memang rupa sang istri dalang sangat mirip Tejarukmi, hingga sang raja menjadi kasmaran.

Adalah inisiatif Kanjeng Ratu Ibu untuk menurutkan kehendak putranya. Maka lewat tangan Tumenggung Wiraprata sang penjilat setia raja, diaturlah suatu pembunuhan rahasia atas sang dalang. Lusi diperintahkan untuk menghadap Pangeran Selarong, adik Sultan Agung yang terkenal memiliki racun yang berasal dari tetesan darah manusia jin Ki Juru Taman. Namun demikian tak sembrangan, pangeran yang berperangai sableng dan suka mabuk-mabukan ini, mau menyerahkan racun mautnya. Maka membaca firasat jahat para penjilat raja, diberikanlah racun palsu yang dibawa oleh Lusi. Akhirnya dengan cara lain, sang dalang berhasil disingkirkan untuk selamanya.

Tugas Lusi kemudian menjemput sang janda kembang. Dengan dua anggota Trisat Kenya yang lain, dibawalah janda tersebut dengan sebuah kereta. Untuk mengurangi kecurigaan, maka sang janda kemudian sengaja disembunyikan di pondok Peparing, di tepian Segarayasa. Akhirnya pada hari yang tepat diboyonglah sang janda ke istana. Dan memang kemudian kegilaan Amangkurat dapat terobati, janda itupun kemudian dinikahinya dan diberinya gelar Kanjeng Ratu Malang. Malang memang esuai dengan nasibnya yang kehilangan suami tanpa sepengetahuannya, dan suami barunyalah sebenarnya otak di balik pembunuhan keji.

Merasa jenuh dengan rutinitas kesehariannya, dan sebenarnya lebih dari itu, Lusi sudah sangat muak dengan kemunafikan dan kekejaman para kaum ningrat di selingkaran raja keji Amangkurat. Ia kemudian megajukan diri untuk berlibur cuti mengunjungi ibunya di Tempuran. Saat tengah masa bebas tugas tersebutlah, berdua dengan ibunya ditengoklah Ki Legen dan Nyi Gendis di Jali.

Pada saat tiba di Jali, dilihatnya serombongan prajurit begundal Amangkurat yang diam-diam kemudian sangat dibencinya, tengah menyiksa Ki Legen. Pada saat itu raja tengah selesai menjalani masa tirakat, hingga kemudian ia berpotong rambut. Maka sudah menjadi hukum negara bahwa seluruh rakyat Matarampun harus mengikuti potong rambut. Melawan titah raja berarti hukuman mati balasannya. Dan celakanya Ki Legen tua lupa akan perintah yang disampaikan oleh tetua dukuhnya.

Menjumpai tindakan kesewanangan di depan mata, nurani Lusi berontak. Dengan membabi buta, diserangnya prajurit penyiksa tersebut. Terjadilah pertempuran sembunyi lari di perkebunan kelapa, hingga akhirnya satu per satu regu prajurit tersebut binasa di tangan seorang Trisat Kenya pembelot.

Saat kembali ke pondok Ki Legen, dijumpainya kakek tua tersebut telah tewas karena kepalanya dimasukkan ke dalam ketel berisi air legen mendidih, dan tergeletak disampingnya Nyi Gendis kaku memeluk suaminya. Ia rupanya terkena serangan jantung ketika melihat suaminya meradang nyawa. Dua kakek nenek dewa penolong bagi Genduk Duku telah tiada, dan mulai detik itu menggeloralah kebencian kepada sang Jibus Amangkurat.

Akhirnya dengan bergegas karena menyadari diri mereka telah menjadi buronan musuh negara, Duku dan anaknya kembali ke Tempuran. Mereka sangat sadar bahwa Tempuranpun tidak lagi aman bagi keselamatannya, hingga diputuskannya untuk meminta suaka kepada Tumenggung Singaranu dan Pangeran Selarong yang tengah dibuang di hutan Waladana.

Untuk menghindari perjumpaan dengan prajurit Mataram, mereka sengaja mengambil jalur memutar melewati celah Merapi Merbabu. Saat pendakian di Merapi, berjumpalah mereka dengan serombongan putra Wanawangsa. Wanawangsa adalah anak cucu keturunan Ki Ageng Gribig. Mereka sejak awal berdirinya Mataram sebenarnya telah menyimpan ketidaksukaan kepada keturunan Ki Pemanahan yang telah merengguk degan wahyu gagak emprit yang telah didapatkan oleh Ki Ageng Gribig. Meski telah ada kesepakatan bahwa kelak setelah keturunan ke tujuh, wahyu kedaton akan pindah lagi kepada keturunan Gribig, namun putra Wanawangsa memilih menyingkir di tanah Gunung Kidul yang tandus. Maka sejak saat itu bergabunglah Lusi dengan para “pembrontak” kaum Tepasangin dari Gunung Kidul tersebut.

Kewenangan dan kekejaman Amangkurat dalam memerintah Mataram menjadikan banyak para adipati di daerah membelot dari kekuasaan pusat. Di antara kelompok yang terkenal adalah para adipati brang wetan di bawah Trunojoyo, Pangeran Kajoran di Wedi, bahkan sang putra mahkotanya sendiri.

Kelaliman sikap Jibus sebagaimana dikhawatirkan oleh para pendahulunya benar-benar melemahkan citra kekuatan Mataram. Intrik dan kelicikan untuk menurutkan nafsu kuasa benar-benar menghantarkan Mataram menuju ke senjakalaning negari. Dan puncaknya adalah pada saat gelombang pasukan Trunojoyo berhasil mendobrak benteng kotaraja Plered yang sebenarnya telah kosong ditinggal lari oleh Amangkurat. Amangkurat memang raja pengecut yang tidak memiliki jiwa satria sedikitpun. Demi keselamatan sendiri, ia memilih tinggal glanggang colong playu.

Dalam novel ini sangat tergambar jelas kekejaman seorang Amangkurat, yang kemudian di sepanjang masa dikenang sebagai raja jawa paling kejam. Romo Mangun kembali mengangkat kisah kaum yang tertindas atas nama penguasa tahta. Mereka sebenarnya adalah kaum abdi yang sangat setia, namun demi membela kesetiaannya terhadap raja, mereka dijadikan tumbal kelanggengan nafsu kuasa. Apakah memang selamanya nasib rakyat hanya akan menjadi komoditas bagi sebagian elit untuk berkuasa dan mementingkan diri sendiri? Kembali kita diajak untuk belajar dari sejarah.

Sumber: (http://sangnanang.dagdigdug.com/2009/02/16/lusi-lindri/)

No comments:

Post a Comment