Friday, July 23, 2010

Raden Saleh itu...

Judul: Raden Saleh - Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme

Penulis: Harsja W. Bachtiar, Peter B. R. Carey, Onghokham
Tebal: xl + 200 halaman
Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2009

Kampung Empang, pinggiran Bogor, Senin pagi, 26 April 1880. Dengan diantarkan oleh seluruh lapisan komunitas kolonial setempat, jenazahnya dimasukkan ke liang lahat. Lokasi yang sedianya ia siapkan buat sang istri yang tengah sakit keras itu justru menjadi tempat tetirah terakhirnya sendiri. Pada batu nisannya tertulis kalimat yang gagah, lagi getir: RADEN SALEH Djoeroegambar Dari Sri Padoeka Kandjeng Radja Wolanda.

Barangkali, Raden Saleh merupakan sosok dari masa lalu yang bisa kita kenang dengan bangga sekaligus miris. Ia merupakan generasi awal bumiputra yang mengenyam pendidikan modern di Eropa, meraih banyak prestasi hebat dalam keilmuan serta seni rupa, dan sekaligus mengabdikan hidupnya pada kuasa kolonial Belanda. Kisah Raden Saleh lalu menjadi contoh bagus untuk menunjukkan bahwa sejarah memang hadir bukan sebagai legenda yang suci. Sejarah sebagai garis kesadaran berbangsa sudah semestinya diakui dengan segenap persoalannya, dipahami dengan perasaan legawa, dan disikapi secara dewasa.

Raden Saleh Bustaman, demikian nama lengkapnya, lahir di Terboyo, Semarang, dalam keluarga prriyayi. Tahun kelahirannya tak begitu jelas, ada yang berpendapat 1814 atau 1815, ada pula yang menyebut 1809 atau 1810. Beberapa tulisan biografis tentang Raden Saleh menceriterakan ihwal bakat alamiah melukis yang dimilikinya sejak belia. A.A.J. Paijen, pelukis sohor berkebangsaan Belgia, secara kebetulan menemukan bakat ajaib Raden Saleh dan mengajarinya teknik-teknik lukis modern. Paijen dengan demikian, tulis Cees van Dijk dengan mengutip Kalff (Poeze, 2008), "telah mengajari dia bergaul dengan terpentin dan minyak rami, dengan palet dan pisau lukis; ia mengajarnya untuk menjadikan tangan sebagai abdi matanya, dan memberikan kepadanya pengertian tentang seni Barat."

Baron van der Capelen yang sedang menjabat Residen Cianjur tertarik juga dengan bakat Raden Saleh. Olehnya, Raden Saleh dimasukkan ke sekolah raja. Kemudian hari, Raden Saleh menyambung pendidikan ke Belanda atas bantuan van der Capelen jua. Hubungan mereka tampaknya sangat dekat, sampai-sampai Raden Saleh sendiri menulis bahwa perhatian van der Capelen setimbang dengan perhatian seorang bapak.

Semula, Raden Saleh direncanakan tinggal di Eropa barang dua tahun saja, namun kemudian terus diperpanjang hingga total 23 tahun lamanya. Yang menarik, saat beberapa kali jatah tinggal dan beasiswanya mulai habis, ada-ada saja alasan yang membuatnya tinggal lebih lama. Pada dasarnya, pemerintah Belanda cemas kalau-kalau begitu pulang ke Jawa Raden Saleh justru membandel dan memberontak.

Kecemasan itu masuk akal lantaran Perang Jawa yang dipimpin Diponegoro selama 1830-an sangat merepotkan Belanda. Hal ini pula yang membuat sebagian orang memandang Raden Saleh dengan nyiyir. Sementara sanak keluarganya bersama Diponegoro berjerih-perih dengan jihad Perang Jawa, Saleh yang sebenarnya masih kerabat dekat justru enak-enakan di Eropa menjadi abdi Raja Belanda Willem II.

Hanya saja, seperti ditunjukkan Carey dalam buku ini, Raden Saleh sesungguhnya memendam semacam keterpanggilan terhadap pergolakan yang terjadi di tanah airnya. Carey melakukan interpretasi mendalam terhadap lukisan penangkapan Diponegoro yang digores Raden Saleh sekembalinya di Jawa pada 1857 dan membandingkannya dengan lukisan Pieneman dan data-data sejarah. Carey sampai pada kesimpulan bahwa sang maestro memanipulasi fakta untuk membangkitkan aura kepahlawanan Diponegoro. Dalam lukisannya, Raden Saleh bahkan memasukkan dirinya dalam kerumunan pengikut sang pangeran.

Carey juga mengajukan satu analisis masuk akal perihal isu heboh yang dilaporkan pers Prancis pada 1845 yang melaporkan perlakuan tak manusiawi pada Diponegoro di pengasingan. Besar kemungkinan Raden Saleh-lah yang "menebar benih" lewat jaringan pertemanannya dengan para jurnalis Prancis. Carey yakin betul sekalipun secara fisik Raden saleh dekat dengan pemerintah dan bangsawan Belanda, secara emosional ia memiliki rasa hormat dan ikatan batin yang kuat dengan Diponegoro. Belakangan, ia bahkan mempersunting putri bekas panglima pasukan Diponegoro.

Sementara Harsja W. Bachtiar mengisahkan ihwal jaringan kebangsawanan Raden Saleh yang luas di Eropa, kepeloporannya dalam seni lukis modern bumiputra, dan sumbangsihnya yang besar dalam bidang zoologi, arkeologi, dan antropologi masyarakat Jawa. Sebagai pelukis raja, karya Raden Saleh sangat memukau dan sesuai dengan kecenderungan selera para bangsawan Eropa. Di luar kemampuan teknisnya yang memang luar biasa, Raden Saleh banyak melukis suasana alam di dunia Timur. Dan apa yang dilukisnya sesuai benar dengan hasrat kolonial yang senantiasa menghendaki Timur dalam eksotisme dan harmoni. Hal inilah yang membuat Raden Saleh banyak dipuji dan dengan sendirinya cepat memperluas jaringan pertemanan aristokratnya.

Kajian Bachtiar juga menginformasikan kiprah keilmuan Raden Saleh yang sering terlupakan. Selama studi di Belanda, Raden Saleh jelas mendalami banyak disiplin ilmu modern. Ia sangat tertarik dengan prinsip-prinsip kerja ilmiah yang melengkapi naluri seni lukisnya. Ketika Koninjklik Iinstituut vor Taal-, land-, en Volkenkunde (KITLV), semacam LIPI-nya kerajaan Belanda, dibentuk pada 1851, Raden Saleh tercatat menjadi salah satu anggota pertama. Ia bergabung dengan KITLV hingga 1875.

Ketika proposalnya untuk menyambangi sejumlah daerah di Jawa (1865) dikabulkan pemerintah Belanda, Raden Saleh memulai sebuah ekspedisi palaeontologis dan filologis sekaligus. Dari Banyunganti, Kalisono, Gunung Plawangan, hingga Pegunungan Pandan, tim yang dipimpin Raden Saleh berhasil menemukan banyak fosil purba dan naskah kuno yang sangat berharga. Semua temuan diserahkan kepada Bataviasche Gennotschaap. Sumbangsih Raden Saleh ini sangat diakui para ahli seperti Dubois, van Es, Lekkerkerker, von Koenigswald, dan Holle. Berbagai institusi ilmiah bahkan merasa perlu memberikan penghargaan- penghargaan kepada sang maestro jenius ini.

Persoalan Mooi Indie
Sebuah pemberontakan berskala kecil pecah di daerah Bekasi pada April 1986. Seorang administratur dan polisi terbunuh. Orang-orang Eropa setempat sangat cemas dan dengan cepat kecemasan itu meluas hingga ke Batavia dan Bogor. Dalam situasi yang tegang, tiba-tiba muncul isu bahwa Raden Saleh, yang waktu itu tengah tinggal di Bogor, disinyalir terlibat dalam pemberontakan ini.

Penyelidikan segera dilakukan dan kemudian terbukti bahwa Raden Saleh bersih dari tuduhan. Yang mencengangkan kita saat ini tidak terletak pada tuduhan itu, namun ucapan pembelaan Raden Saleh yang berbunyi, "Apakah sesudah 23 tahun lamanya berada di Eropa, di tengah kalangan yang beradab, saya akan merendahkan diri di sini bergaul dengan para bandit, perusuh, dan entah apalagi yang lain, untuk bersekongkol dengan sampah masyarakat dan memberontak pemerintah yang sampai sekarang pun masih melimpahkan kebajikan kepada saya? ...motto saya selalu, hormatilah Tuhan dan loyalitas, kepatuhan, serta terima kasih pada rajaku, pemerintah dan bangsa Belanda."

Lantas, mengapa Raden Saleh sedemikian tunduknya pada Belanda? Tentu saja persoalan ini mesti ditakar dalam konteks zaman Raden Saleh sendiri. Kata J.J. Rizal, dia adalah produk dan memang menunjukkan kecocokan dengan pola yang mengacu Eropa pertengahan abad XIX yang oleh Edward Said dicirikan sebagai "wabah orientalia". Sejenis hasrat berlebih untuk memandang, mencipta, dan membentuk Timur dalam bingkai kolonial Barat. Timur menjadi "diri lain" (alter-ego) dari Barat. Wabah ini sangat memengaruhi setiap penyair, pelukis, penulis, hingga bahkan filsuf saat itu.

Maka, seperti dipersoalkan Onghokham, kecenderungan melukis Raden Saleh yang bergaya mooi indie itu merupakan bagian dari "wabah oriental". Mooi indie, artinya Hindia molek, adalah penggambaran alam dan masyarakat Hindia secara damai, tenang, dan harmonis. Ong melihat bahwa secara visual aliran mooi indie pertama-tama maujud pada lukisan-lukisan Raden Saleh. Ia lalu menjadi preseden bagi kecenderungan para pelukis pribumi berikutnya. Mooi indie juga mampu menembus sekat-sekat ras, ideologi, dan kelas. Dari galeri mewah hingga di lapak kaki lima, lukisan-lukisan mooi indie sangat dominan.

Pada dasarnya, akar mooi indie adalah romantisme. Sampai di sini, dengan nalar agak melompat, Ong mengaitkan mooi indie dalam konteks nasionalisme, utamanya pada diri Soekarno. Agaknya penting dicamkan dulu bahwa romantisme merasuki kuat-kuat nasionalisme Prancis yang notabene adalah tempat lahir isme ini. Soekarno juga demikian. Dalam pidato terkenalnya, Indonesia Menggugat, tiap kali merujuk tuntutan untuk merdeka, Soekarno menggunakan istilah penuh gelora seperti bom, dinamit, dan revolusi. Namun, begitu menyebut Marhaen, Soekarno justru kembali pada mooi indie yang romantis: alam indah Parahiyangan. Gelora nasionalisme Soekarno, dengan demikian, berimpitan dengan seleranya yang mooi indie. Watak mooi indie yang populis senantiasa mengandaikan masa lampau dan kurang peduli pada masa depan. Ia lebih sebagai gambaran geografis dan bukan historis.

Andai Ong benar, mungkinkah ini yang membuat bangsa ini, sekalipun tahu mana titik landasan, tetap saja susah untuk melihat dan membangun masa depan? Saya kira Raden Saleh pun akan bingung menjawabnya.

AHMAD MUSTHOFA HAROEN, Divisi Riset BPPM Balairung UGM
Koran Tempo, 26 April 2009

No comments:

Post a Comment