Judul Buku: Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998
Penulis: Audrey Kahin
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan: I, 2005
Tebal: xxxv + 473 halaman
Sumatera Barat adalah daerah luar Jawa yang paling banyak menyumbang tokoh di panggung politik nasional, sejak era kolonial sampai era Soeharto.Tokoh-tokoh Sumbar itu juga mewakili semua spektrum ideologi politik, mulai dari Tan Malaka hingga Hamka. Karena itu, Sumbar memiliki tempat tersendiri dalam sejarah politik Indonesia.
Sumbar pernah menggelorakan pemberontakan terhadap penguasa pusat yang dianggap otoriter dan sentralis, baik di era kolonial maupun di masa Indonesia merdeka. Namun, ketika penguasa paling sentralis dan otoriter berkuasa di Indonesia, yaitu rezim militer Orde Baru, Sumbar menjadi anak manis.
Dari Sumbar, kita dapat melacak sejarah visi Indonesia merdeka, terutama dalam hal hubungan pusat dengan daerah. Sejarah Sumbar memperlihatkan bahwa hubungan pusat dengan daerah adalah hubungan yang saling mencemburui karena
pusat selalu bernafsu menguasai dan menundukkan, sementara daerah cenderung menuntut lebih. Audrey Kahin mengkaji hubungan saling mencemburui itu dari perspektif lokal dengan kacamata sejarah politik. Elaborasinya tersaji dalam buku ini dengan sangat memikat.
Audrey mengemukakan asal- muasal ketegangan integrasi Sumbar dengan pusat, bukan sekadar masalah porsi pembagian kue ekonomi atau jabatan,melainkan perbedaan visi mengenai Indonesia merdeka. Budaya politik Minang yang egaliter meyakini keutuhan Indonesia ditentukan oleh kerelaan pemerintah pusat memberikan otonomi seluas-luasnya kepada setiap daerah. Sementara budaya politik Jawa yang sentralistis hierarkis meyakini keutuhan dan kemakmuran Indonesia tergantung pada kuatnya kontrol pusat.
*Menggagas dan Membela Indonesia*
Masyarakat Minang melihat pemimpin hanyalah orang yang "ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah", bukanlah penguasa tunggal yang mengambil kata putus. Masyarakat Minang memandang bahwa kekuasaan
menyebar dalam nagari-nagari karena nagari berfungsi sebagai kesatuan adat dan sekaligus politik. Cara untuk mengambil keputusan adalah musyawarah antara seluruh unsur nagari.
Watak politik Minang itu kemudian mewarnai watak nasionalisme Indonesia yang tumbuh di Sumbar. Ideologi yang diusung untuk Indonesia merdeka merupakan paduan dari pandangan Islam modern dan sekuler radikal, misalnya marxisme.
Aktornya datang dari kalangan ulama, guru-guru, dan murid-murid perguruan swasta (Perguruan Diniyah dan sumatera Thawalib), komunitas pedagang, pemimpin nagari yang berpadu dengan aktivis politik. Perpaduan ketiga unsur itu membuat nasionalisme Indonesia di Minang menjadi tidak elitis dan
menghargai keotonoman para pihak dalam menentang kolonial Belanda.
Dengan sikap yang otonom itulah Sumbar menjadi benteng bagi Republik ketika terancam agresi Belanda. Bersama Syafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran RI), segenap tokoh politik dan birokrasi sipil dan militer di Sumbar menjalankan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tahun 1948 sebagai pemerintahan yang sah (hal 213). Berkat sokongan masyarakat Minang, PDRI berhasil menjaga integrasi Republik. Sekaligus berhasil pula menjaga eksistensi Republik di mata dunia. Berkat kerja sama itu, rencana
Belanda untuk mendirikan negara Minangkabau sebagai daerah otonom dalam Negara Federasi Sumatera berhasil digagalkan (hal 234).
*Memberontak dan kalah*
Setelah tahun 1955, orang Minang melihat otonomi daerah hanya tinggal omongan. Orang Minang melihat Soekarno menjalankan kekuasaan secara draconian (keras dan kejam) baik terhadap institusi sipil maupun militer. Di era ini visi Sumbar yang demokratis dan egaliter berhadapan dengan konsep kekuasaan Jawa yang feodal dan sentralistis.
Para mantan pimpinan Divisi Banteng yang merasa berjasa untuk Republik di era revolusi dan PDRI kecewa ketika Soekarno tidak menggubris tuntutan otonomi yang luas bagi daerah. Pemimpin Divisi Banteng kemudian mengorganisir reuni. Kelanjutan dari reuni ini adalah pembentukan Dewan Banteng yang kemudian mengambil alih kekuasaan Gubernur Sumatera Tengah oleh Komandan Brigade Banteng Letkol Ahmad Husein Desember 1956 di Bukittinggi.
Dalam rangka menentang Soekarno ini, isu antikomunisme dijadikan wacana, meskipun sebagian pengurus cabang PKI daerah mendukung Dewan Banteng. Bak gayung bersambut, gerakan ini kemudian disokong pula oleh tokoh-tokoh Minang
di Jakarta, yaitu Natsir dan Assa'at yang kecewa terhadap Soekarno. Para pemimpin Masyumi lainnya—Syafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap—turut pula bergabung. Akhirnya Sumbar jatuh ke dalam skenario para pembangkang dari Jakarta, yaitu Zulkifli Lubis dan Sumitro
Djojohadikusumo yang gencar mengampanyekan gerakan antikomunis atau PKI untuk menentang Soekarno.
Ketika perlawanan ini telah melibatkan tokoh politik dan militer dari Jakarta, serta tercium melibatkan kekuatan asing yaitu Amerika, Soekarno bertindak cepat. Kota-kota utama PRRI, yaitu Pekanbaru dan Padang dibom dan langsung dikuasai militer pusat yang dipimpin Kolonel Ahmad Yani. Sejak kedua kota itu jatuh, umur PRRI secara militer tinggal menghitung hari.
Kalahnya PRRI berarti kalahnya orang Minang. Dengan sendirinya, konsep Minang tentang Indonesia merdeka yang egaliter dan menjunjung otonomi juga rontok. Harga diri orang Minang sebagai benteng Republik dan penyumbang elite terbanyak di pentas politik nasional juga hancur. Kekalahan itu meninggalkan kepedihan di hati rakyat Minang dan elitenya. Setelah PRRI kalah dan banyaknya pejabat sipil dan militer dari Jawa tumpah ke Sumbar, Audrey menggambarkan Sumatera Barat seperti daerah taklukan. Orang Sumbar diperlakukan sebagai warga negara kelas dua (hal 360).
Dikala G30S meletus, jagad politik masyarakat Minang kembali jungkir balik. Kekerasan, pembunuhan, dan penangkapan membuncah. Keadaan kian genting setelah Mayor Imam Suparto (Kepala Penerangan Kodam 17 Agustus) kembali dari Jakarta, memerintahkan media lokal menyebarkan pamflet anti-PKI tanggal 6 Oktober 1965 (hal 380). Sejak ini kekuatan radikal yang menentangpemberontakan PRRI, yang sebelumnya dianggap pendukung setia pusat, sontak menjadi musuh pemerintah, lantas diburu. Sementara "para pemberontak" menjadi bagian dari politik baru, kemudian terlibat dalam pengganyangan komunis.
Setelah melalui hari yang berdarah-darah dalam dua gelombang, untuk memulihkan harga diri dan menghidupkan perekonomian daerah, elite-elite Sumbar mulai meninggalkan medan tarung politik, dan berupaya memasuki medan pembangunan ekonomi. Dipimpin Harun Zain—seorang ekonom dari
Barkley—sebagai gubernur, Sumbar menyerah bungkuk kepada Jakarta. Di tangan Zain dan beberapa gubernur setelahnya, Sumbar memang mendapatkan hal yang secara lahiriah menakjubkan, dan beberapa kali mendapat anugerah Adipura.
Untuk keberhasilan itu, para mantan gubernur Sumbar pun naik kelas menjadi menteri Soeharto.
Hasil yang digapai Sumbar di masa Orde Baru ternyata harus dibayar mahal dan kontan. Pertama, masyarakat politik Minang kehilangan harta yang paling berharga, yaitu sikap kritisnya terhadap kekuasaan pusat. Kedua, Sumbar kehilangan sistem pemerintahan Kanagarian (hal 406-409) yang menjadi ruh politiknya. Akibatnya, karakter politik Minang yang menekankan desentralisasi dan egaliter dalam politik Indonesia merdeka lenyap dari pentas politik nasional. Sejak ini Sumbar tidak lagi menjadi "pusat alternatif", melainkan hanya sekadar menjadi satu daerah di antara daerah lainnya.
Seluruh dinamika politik Sumbar dan hubungannya dengan pemerintah pusat bisa kita katakan sejalan dengan pepatah Minang yang mengatakan, "sakali aie gadang, sakali tapian barubah". Integrasi Sumbar ke dalam Indonesia, seperti yang diuraikan oleh Audrey Kahin, dari tahun 1926 sampai tahun 1998 dapat kita tempatkan dalam makna pepatah ini. Kini Sumbar terlihat sedang meraba-raba tepian baru di era otonomi ini.
Kontribusi utamanya dari buku ini adalah mengingatkan setiap pemimpin Indonesia agar hati-hati mengelola hubungan pusat dengan daerah. Hubungan yang terlalu tegang akan memunculkan kekecewaan dan pemberontakan.
Sementara elite daerah yang terlalu menjadi penurut akan terus dipaksa oleh pusat untuk memberikan konsesi yang lebih besar.
Amiruddin, *Peneliti di ELSAM dan Inrise, Institute for research Social and Economic, Jakarta. Pustakaloka, KOMPAS Sabtu, 15 Oktober 2005.
No comments:
Post a Comment