Penulis: HCC Clockener Brousson
Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta 2004
Tebal: xiii + 150 halaman
Ini adalah buku karya terjemahan yang cukup bagus, dikerjakan oleh Achmad Sunjayadi dengan bahasa yang lincah dan populer atas tulisan pionir jurnalistik di Hindia Belanda HCC Clockener Brousson mengenai catatan perjalanan di Batavia pada awal abad lalu.
Tulisan asli pernah dimuat secara berkala di Bandera Wolanda, yang bertujuan mendekatkan kalangan militer dengan Belanda dan untuk memperkuat sentimen kesetiaan dan kecintaan kepada Ratu dan Bendera Belanda" (hal vi). Brousson sesungguhnya hanyalah peramu kisah itu dan bukan si pengelananya sendiri. Si pengelana, tak lain seorang bekas serdadu bayaran Belanda berinisial XYZ, yang mengirimkan catatannya (gedenkschriften) ke meja Brousson agar bisa dimuat untuk khalayak pembaca harian bersirkulasi cukup luas saat itu (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Semenanjung Malaya). Apalagi harian ini juga dilanggan luas baik oleh Departemen Perang, Departemen Pendidikan, dan Peribadatan Umum, maupun Industri.
< maupun Umum, Peribadatan Pendidikan, Departemen Perang, baik luas dilanggan juga ini harian Apalagi Malaya). Semenanjung bahkan Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, (Jawa, itu saat bersirkulasi pembaca khalayak untuk dimuat bisa agar meja ke (gedenkschriften) catatannya mengirimkan XYZ, berinisial bayaran serdadu bekas seorang lain tak pengelana, Si sendiri. pengelananya si bukan kisah peramu hanyalah sesungguhnya vi). (hal Belanda? Bendera Ratu kepada kecintaan kesetiaan sentimen memperkuat militer kalangan ?mendekatkan bertujuan Wolanda, Bandera berkala secara pernah>
Setelah ulasan singkat dari penerbit memperkenalkan si Brousson, buku ini diawali dengan pengakuan penulisnya mengenai bagaimana hingga kisah perjalanan yang menyoroti aspek-aspek yang kaya dari Batavia tersebut muncul. Dikupas dengan penuh selera imajinatif, jenaka, naif, namun kadang menyentuh, tema-tema itu disusun dengan cerdik, memperlihatkan dengan jelas bentuk-bentuk gegar budaya mahadahsyat seorang tentara muda Belanda sejak ia masih di Amsterdam, kemudian menjejakkan kaki di Tanjung Priok disusul dengan pengalaman-pengalaman mengesankan selanjutnya. Usaha pembaca mengoptimalkan seluruh pancaindera demi merasakan nuansa tempo doeloe mulai dari kehidupan di tangsi militer hingga pernik-pernik keunikan seputar Batavia yang "tak boleh terlewatkan" (keindahan Weltevreden, Kali Ciliwung yang "sulit dipercaya", Glodok yang begitu hidup dengan Pecinannya, tempat-tempat ibadah dan pelesiran khas Hindia, bahkan kondisi masyarakat Batavia yang kosmopolitan di abad baru), jelas dengan demikian dapat terpenuhi.
Selain 10 tema yang menyoroti aspek kehidupan sosial-kemasyarakatan yang lengkap (militer; jaringan pos, transportasi, dan perhotelan; serta dunia hiburan dan seni budaya di tempat-tempat paling menarik di Batavia), buku ini juga dilengkapi dengan halaman penutup mengenai catatan perjalanan sebagai bahan bacaan dan panduan wisata (hal 135) sehingga membuat buku ini berguna untuk panduan wisata Batavia masa silam. Apalagi di bagian akhir buku disediakan indeks (hal 146-150) yang memungkinkan pembaca memilih sendiri obyek yang menjadi perhatiannya.
Lalu, bagaimana menempatkan buku ini? Melihat ideologi harian yang memuat tulisan tersebut serta mengingat sang penulisnya, kisah perjalanan yang dihasilkan ini haruslah disadari sebagai suatu produk Kolonial yang subyektif, merefleksikan suatu proses perkembangan dari pengakuan atas wilayah Hindia Belanda (dalam hal ini Batavia) secara politik ke arah ekonomi serta penguasaan militer ke arah budaya. Sampai akhir abad ke-19, Pemerintah Kolonial Belanda mencoba berbagai cara untuk menghentikan dorongan-dorongan orang mengunjungi "tropical Holland" sehingga representasinya di dunia internasional begitu buruk. Di media massa internasional saat itu berita mengenai Hindia hanya dipenuhi oleh cerita mengenai wabah epidemik, meletusnya gunung berapi, amuk, santet, dan perang antarpenduduk. Hampir tidak ditemukan berita mengenai segi keindahan dan tempat-tempat yang menarik di Hindia. Fenomena ini mulai berakhir sejalan dengan munculnya dorongan kuat perkembangan pariwisata modern sesudah Revolusi Industri di Inggris akhir abad 19, di mana arus kedatangan orang Eropa dan Amerika ke tanah-tanah jajahan tak lagi bisa dibendung.< lagi jajahan tanah-tanah Amerika Eropa orang kedatangan arus mana 19, akhir Inggris Industri Revolusi sesudah modern pariwisata perkembangan kuat dorongan munculnya sejalan berakhir mulai Fenomena Hindia. menarik tempat-tempat keindahan segi berita ditemukan tidak Hampir antarpenduduk. perang santet, amuk, berapi, gunung meletusnya epidemik, wabah cerita dipenuhi hanya internasional massa media Di buruk. begitu dunia representasinya sehingga Holland? ?tropical mengunjungi dorongan-dorongan menghentikan cara berbagai mencoba Kolonial Pemerintah ke-19, Sampai budaya. arah penguasaan serta ekonomi politik Batavia) hal (dalam wilayah pengakuan dari proses suatu merefleksikan subyektif, produk sebagai disadari haruslah dihasilkan penulisnya, sang mengingat tersebut memuat ideologi Melihat ini? menempatkan>
Sementara itu, konsep Hindia Belanda secara teritorial yang kemudian menjadi dasar konsep "Indonesia" itu telah makin kuat terbentuk, terutama sesudah penaklukan atas wilayah Aceh di bawah Gubernur Jenderal van Heutz yang merupakan propagandis pariwisata di koloni. Pendeknya, dibukanya izin mengunjungi daerah-daerah Hindia adalah bersamaan pula dengan dimulainya usaha untuk mengontrol representasinya atau cara melihatnya. Namun, Pemerintah Kolonial bukan satu-satunya yang meletakkan dasar atas representasi Hindia yang khusus dengan menciptakan imaji-imaji baru. Meskipun memang berperan menjadi pembuka jalan utama bagi representasi identitas Hindia, Pemerintah Kolonial dibantu kalangan penulis, pengelana, maupun wisatawan yang hidup pada masa yang dikenal sebagai tahap perkembangan yang paling jauh dari ideologi Kolonial terhadap daerah yang dikuasai.
Hindia sebagai bagian dari Asia semakin banyak ditulis tidak saja secara naratif, tetapi juga secara deskriptif bak laporan pemerintah, lengkap dengan agenda politis (termasuk sikap patriotisme dan kesetiaan pada negara ibu). Ini dapat dikenali lewat penggunaan diskursus yang merupakan gabungan halus atas eksotisme, pembenaran, kekecewaan, bahkan harapan-harapan terhadap tempat-tempat di Koloni. Gabungan dari imaji-imaji itulah yang kemudian meletakkan dasar bagi munculnya konsep dan pengetahuan "keindahan" yang lebih standar, yang di kemudian hari dijustifikasi lewat penerbitan dari buku-buku panduan wisata. Pendeknya, seorang semacam Brousson telah menambah deretan jumlah orientalis yang makin menancapkan cara pandang orientalis yang lebih mendalam lewat tulisan-tulisan mengenai keindahan yang "telah ditaklukkan" sebagai bagian dari proses.
Sebagai proses lanjutan yang muncul sesudah penaklukan secara politis, representasi-representasi atas daerah kolonial tak lain merupakan suatu proses dimulainya penguasaan secara budaya. Pemerintah Kolonial dan promotor dunia wisata tersebut tampak berperan penting dalam mengajarkan-bahkan bagi penduduk pribumi-apa yang harus dilihat dan bagaimana harus melihat koloni. Fenomena ini telah mengintegrasikan tidak saja aspek kewilayahan, tetapi juga menghubungkan tempat-tempat dalam ruang budaya (sejarah dan tradisi) dalam cara pandang Hindia yang diimajinasikan. Bersama-sama dengan Pemerintah Kolonial, pengelana, wisatawan, dan penulis kisah-kisah perjalanan besar andilnya dalam gerakan kuat dan padu bagi terbentuknya representasi dan identitas Hindia yang khusus. Dan pengaruh di atas gemanya masih kuat hingga sekarang (misalnya mengenai konsep keindahan lanskap "mooi Indies" atau Hindia molek, penjelasan sejarah budaya dan tradisi, maupun stereotip tempat dan penduduk di Hindia).
Penerbitan buku ini jelas mencerminkan suatu fenomena pascakolonial di mana lewat proses re-reproduksi dan re-representasi kolonial, representasi yang terbentuk pada abad tersebut telah makin kokoh kuat sebagai identitas yang dipercaya. Proses sejak tulisan seorang serdadu yang diramu dan diterbitkan oleh wartawan Belanda yang kemudian diterjemahkan ke dalam gaya populer untuk konsumsi masa kini, jelas memperlihatkan dominasi representasi Barat yang masih kuat untuk dikonsumsi kembali demi masa kini.
Bagaimanapun, suatu kisah perjalanan yang tercipta sebagai hasil hubungan antara "tuan rumah" dan "sang tamu" dalam konteks budaya populer jelas penuh sisi humanis dan kaya nuansa. Buku ini kiranya dapat digunakan oleh sejarawan budaya dalam upaya pemahaman atas proses-proses di mana bentuk-bentuk tradisional dan ingatan bersama masa kolonial, sebagaimana disitir sejarawan George Lipsitz mengkristal sebagai identitas-identitas bagi tempat dan budaya masa kini. Lebih jauh lagi, walaupun jelas merupakan cara pandang yang sangat kolonial yang kadang tak adil (bila dibandingkan dengan, misalnya, cara pandang kalangan pribumi atau non-Belanda), penjelasan-penjelasan mengenai sang "Ratu di dunia Timur" bernama Batavia di buku ini jelas dapat mengobati kerinduan atas pengalaman khas nostalgik masa kolonial yang pupus sejak kota ini berganti nama menjadi Jakarta.
Akhirnya, meskipun kita harus meminjam mata Brousson yang sesungguhnya sarat dengan ideologi Kolonial dalam kunjungan kita ke "negeri lain" bernama Batavia seperti tampak pada lembaran-lembaran buku itu, secara umum buku kecil ini penting karena menggambarkan situasi dan aspek-aspek kehidupan di pusat administrasi pemerintahan dan komersial Hindia Belanda awal abad lalu, yang di sana-sini masih memperlihatkan kesamaan dengan masa sekarang. Itulah sumbangan utama buku ini: memperkaya koleksi buku kita mengenai sejarah kota-kota di Indonesia masa Kolonial.
Iskandar P Nugraha Kandidat Doktor Sejarah University of New South Wales, Sydney, Australia
Kompas, 28 Maret 2004
No comments:
Post a Comment