Thursday, August 5, 2010

Peluang Investasi dari Kurangnya Pasokan Minyak

Judul:  Future Energy: How the New Oil Industry Will Change People, Politics, and Portfolios
Penulis:  Bill Paul

Kenaikan harga minyak bumi belakangan ini mengundang pertanyaan sampai ke tingkat harga berapa bahan energi utama dunia tersebut bisa melonjak. Bagi investor tentunya ini mengundang pertanyaan, sektor atau saham apa yang akan diuntungkan oleh tren kenaikan harga minyak dunia ini. Buku ini berusaha menjawab kedua pertanyaan tadi dengan cara yang lugas. Ditulis oleh mantan wartawan kawakan Wall Street Journal dan CNBC, buku ini memberikan banyak pandangan mengenai pemikiran para ahli investasi dan ahli energi di Amerika Serikat (AS).

Ketergantungan dunia (khususnya AS) pada minyak bumi dan pertumbuhan permintaan dunia diduga akan terus menyebabkan kenaikan harga sumber energi utama dunia ini. Diperkirakan permintaan minyak dunia akan naikdari tingkat 84 juta barrel per hari saat ini menjadi 99 juta barrel per hari pada tahun 2015 dan 116 juta barrel per hari pada tahun 2030. Sementara itu, penemuan minyak baru jauh lebih lambat daripada kebutuhan minyak dunia.

Kurangnya pasokan minyak dunia dan semakin mahalnya biaya untuk menemukan, mengambil, dan melakukan penyulingan (refining) minyak akan membuat ketergantungan pada bahan bakar minyak mahal bagi ekonomi.

Pertumbuhan permintaan minyak tadi, menurut penulis, tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan minyak karena produksi minyak konvensional mungkin telah atau segera mencapai puncaknya. Akibatnya, teori pasokan/permintaan sederhana akan menyetarakan pasokan dan permintaan dengan harga yang lebih tinggi. Selain itu, ketegangan di Timur Tengah, daerah produsen minyak utama, menambah risiko pasokan minyak dan tentunya juga harga minyak.

Penulis berargumen, kenaikan harga minyak akan membawa konsekuensi ekonomi yang besar berupa perkembangan usaha- usaha untuk mengatasi kurangnya pasokan minyak dunia. Ini akan menghasilkan revolusi dengan penemuan solusi terhadap kekurangan pasokan minyak dunia. Berbagai peluang investasi yang menguntungkan bisa diperoleh dengan memanfaatkan tren energi yang sedang berlangsung.

Ada tiga sektor yang diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Dua sektor pertama adalah apa yang disebut oleh penulis dengan istilah substitute liquid fuels (bahan pengganti bahan bakar cair) dan efficiency (usaha peningkatan efisiensi penggunaan minyak bumi, terutama bensin). Sektor ketiga yang juga akan mengalami pertumbuhan signifikan adalah teknologi yang memungkinkan penambangan minyak dari sumber yang tadinya tidak ekonomis lagi sehingga meningkatkan recovery dari sumur minyak.

Perkembangan di ketiga sektor tadi kemungkinan akan melahirkan berbagai teknologi baru dan akan menyaingi perkembangan teknologi informasi saat ini. Venture capital (dana yang berinvestasi pada perusahaan pemula (start up) dengan prospek cemerlang) mulai menanamkan uangnya dalam perusahaan-perusahaan pemula yang berusaha dalam ketiga sektor di atas.


Nabati

Ada dua jenis substitute liquid fuels, yaitu bahan bakar nabati (biofuels) dan bahan bakar fosil non-konvensional (unconventional fossil fuels). Biofuel dihasilkan dari tanaman. Biofuel yang paling banyak dipakai adalah etanol (sejenis alkohol) yang dihasilkan dari jagung (corn ethanol). Etanol dari jagung banyak dicampur dengan bensin di Brasil, Eropa, dan AS.

Bentuk etanol lain yang semakin banyak digunakan dan lebih ekonomis (dan mungkin akan lebih sukses daripada corn ethanol) dalam penggunaannya adalah etanol dari etanol selulosa (cellulosic ethanol), yang dihasilkan dari serat yang bisa diperoleh dari rumput liar, sisa tanaman jagung, juga sampah. Biofuel lainnya yang banyak dipakai adalah biodiesel yang berasal dari minyak makan, seperti minyak kedelai atau minyak kelapa sawit. Biofuel secara ekonomis bisa menggantikan minyak bumi jika harga minyak bumi berada di rentang 30-40 dollar AS per barrel.

Bentuk unconventional fossil fuels yang banyak digunakan adalah tar sands, oil shale (keduanya adalah bebatuan yang mengandung banyak bahan organik yang bisa diekstrak menjadi bahan bakar minyak), batu bara, dan gas alam. Bahan-bahan itu bisa dikonversi menjadi bahan-bahan yang saat ini dibuat dari minyak bumi, misalnya bensin dan avtur.

Batu bara memiliki kemampuan bersaing dengan minyak bumi jika harga minyak bumi berkisar 45-50 dollar AS per barrel, sedangkan tar sands lebih mahal sehingga hanya bisa bersaing dengan minyak bumi bila harga minyak bumi 60-70 dollar AS. Oil shale baru layak dikembangkan jika harga minyak melebihi 70 dollar AS sehingga saat ini belum banyak dikembangkan.

Sektor efficiency adalah berbagai cara yang ditempuh untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar minyak. Salah satu contoh yang berhasil adalah mobil hibrida yang menggunakan listrik dan bensin. Mobil hibrida memungkinkan penghematan pemakaian bensin karena untuk 30 mil pertama tenaga yang digunakan adalah tenaga listrik yang diperoleh saat baterai mobil diisi dengan listrik pada malam hari.

Karena listrik bisa dihasilkan dari berbagai sumber energi, termasuk tenaga matahari, batu bara, angin, geotermal, maupun energi lainnya, maka teknologi ini mengurangi ketergantungan pada sumber energi utama, yaitu minyak bumi. Perusahaan-perusahaan yang melakukan riset teknologi baterai untuk mobil hibrida tersebut memiliki prospek yang menguntungkan.

Goei Siauw Hong, Kompas, 3 Juni 2010

Petualangan Para Desertir di Borneo

Judul   :  Desersi: Menembus Rimba Raya Kalimantan
Judul Asli  :  Borneo van Zuid naar Noord
Penulis  :  M.T.H. Perelaer
Penerjemah : Helius Sjamsuddin
Penerbit :  Kepustakaan Populer Gramedia, 2006
Tebal  : xiv + 286 halaman

Desersi. Istilah dalam dunia militer yang berarti lari meninggalkan dinas ketentaraan atau membelot kepada musuh dalam pertempuran. Sedangkan orang yang melakukannya disebut desertir. Memang itu tindakan pengecut tapi bukan tanpa alasan mereka desersi.

Banyak kisah mengenai para desertir ini. Meskipun mereka dibayangi hukuman berat, tapi toh mereka tetap melakukannya. Hal yang lumrah bila desersi terjadi dalam pasukan legiun asing karena mereka dibayar. Semakin besar bayarannya, semakin loyallah mereka. Jadi jangan tanya soal nasionalisme mereka di sini. Namun, bila terjadi dalam pasukan reguler, itu yang harus dipertanyakan.

Desersi terjadi sepanjang masa seperti kisah “fiksi” novel Desersi: Menembus Rimba Raya Kalimantan ini yang berlatarbelakang akhir tahun 1800-an dan Perang Banjarmasin. Novel yang disebut sebagai etnografis roman ini ditulis oleh M.T.H. Perelaer yang juga menulis Baboe Dalima, sebuah opiumroman. Latar belakang M.T.H. Perelaer di dinas ketentaraan memudahkannya menggambarkan serba-serbi kehidupan dunia tangsi ini.

Adalah empat serdadu bayaran Belanda yang desersi dari benteng Kuala Kapuas (sekarang Kalimantan Tengah) dan berpetualang menembus rimba raya pedalaman Kalimantan dari selatan (Kuala Kapuas) ke utara (Sarawak). Keempat serdadu bayaran itu adalah Schlickeisen dan Wienersdorf orang Swiss, La Cueille, orang Belgia dan Yohannes, keturunan Hindia kelahiran Padang (hal.2).

Alasan mereka desersi pun dituturkan jelas karena merasa ditipu mentah-mentah oleh petugas rekrutmen tentara Belanda. Ketika mereka merasa sebagai korban penipuan licik, maka kontrak yang ada dianggap tak lagi mengikat (hal.4). Petualangan selama 70  hari para desertir pun dimulai.

Pengejaran para desertir dipimpin oleh seorang kolonel, komandan benteng Kuala Kapuas yang meminta bantuan Temenggung Nikodemus Jaya Negara. Upaya pengejaran dan petualangan para desertir menembus rimba raya Kalimantan yang dibantu penduduk pribumi pimpinan Harimau Bukit ini digambarkan Paralaer dengan penuh daya pikat.

Misalnya cara menghindari serangan nyamuk-nyamuk hutan ganas di daerah berawa Kalimantan Selatan. Berbagai cara telah dipakai (salah satunya dengan membuat api besar) tapi hasilnya sia-sia. Hingga akhirnya dicoba “jaket nyamuk”. “jaket nyamuk” maksudnya mabuk berat. Pada saat mabuk berat itulah, orang menjadi kebal terhadap dengungan dan sengatan nyamuk. Inilah cikal-bakal kecanduan minum di kalangan serdadu kala itu (hal.36). Perihal nyamuk ini semakin menarik dengan diceritakannya legenda nyamuk yang menurut cerita, nyamuk-nyamuk itu merupakan hadiah perkawinan untuk putra Sultan Kuning, Jata atau Buaya – Raja Batang Murung dengan putri Anding Maling Guna, Raja Buaya Sungai Kapuas (hal.76).

Sementar itu orang Dayak percaya bahwa berburu buaya adalah hal tabu. Alasannya, Jata, saudara Mahatara, dewa orang Dayak adalah bapak semua buaya. Sehingga walaupun dibayar banyak, orang Dayak tak mau membunuh binatang ini kecuali karena balas dendam akibat teman atau keluarganya ditelan (hal.53).  Para desertir ini lah yang akhirnya memburu dan menghabisi buaya.

Untuk memudahkan pelarian, para desertir ini menyamar menjadi penduduk pribumi dengan jalan melumuri tubuh mereka dengan semacam tumbuh-tumbuhan dan mengenakan ewah, cawat dari kulit kayu yang dililitkan di pinggang dan ikat kepala. Sialnya, salah satu dari mereka yaitu La Cueille karena tak mampu menyembunyikan ciri fisiknya terpaksa menjadi orang Arab lengkap dengan tasbih serta ucapan beberapa kata Arab yang harus dihapalnya (hal.40). Penyamaran mereka cukup berhasil hingga mampu ‘memperdaya’ gadis asli Dayak yang akhirnya diperistri oleh salah seorang desertir yaitu Wienersdorf.

Antropometris ala Eropa juga muncul dalam novel ini. Di situ disebutkan ciri kaki orang Dayak yang bengkok. Penyebabnya adalah kebiasaan posisi mereka yang terpaksa dilakukan ketika mereka duduk bersampan. Karena berkaki bengkok itulah jika mereka berjalan seperti sempoyongan. Maka penduduk asli Kalimantan diberi nama Dayak. Dayak merupakan singkatan dari dadayak yang berarti berjalan sempoyongan (hal.41)

Desersi tentu bukan berpiknik sehingga bekal makanan yang dibawa sangat terbatas. Namun, itu bukan masalah para desertir diperkenalkan kuliner hutan yang ‘lezat’. Mulai dari rusa, celeng, tambilok (ulat putih), lindung, kujang (semacam umbi-umbian) hingga sop daging kera (hal.212).

Dalam novel ini juga diceritakan asal usul nama Kalimantan melalui tokoh Yohannes. Kalimantan adalah sebutan penduduk pribumi untuk “Borneo”, dan sebutan ini diucapkan oleh orang Eropa yang berasal dari kata “Brunai”, mengacu pada sebagian kecil wilayah pulau itu di pantai baratlaut. Ada lagi usulan asal-usul istilah “Kalimantan” yang berasal dari  “Kalimantawa”. Yaitu sebutan orang Dayak untuk buah durian dan pulau Kalimantan dianggap mirip durian. Usulan ini ditampik karena “Kalimantan” lebih dekat dengan kata “Kaliintan” (hal.76).

Para desertir mengenal istilah “jaga kepalamu!” yang berarti selalu waspada dari para pengayau yang mengincar kepala orang asing (hal.37) . Tengkorak ini sangat berharga karena dapat dijadikan bukti keberanian, barang dagangan serta hadiah perkawinan. Awalnya memang sebagai hadiah perkawinan, sebagai bukti keberanian dan kesanggupan pengantin laki-laki yang kelak harus melindungi istri dan anak-anaknya. Namun, lambat laun adat ini merosot. Tengkorak menjadi barang mewah dan barang dagangan gelap (hal 83)

Kritik Paralaer terhadap pemerintah kolonial pun muncul dalam novel ini. Diawali dengan menjelaskan alasan mengapa penduduk pribuminya tak giat bekerja. Ia menulis: “Negeri ini terlalu kaya, ia menghasilkan kekayaan tanpa perlu bekerja. Orang hanya cukup membungkuk untuk memungut hasilnya. Ini membuat mereka malas; dan kemalasan, kamu tahu, adalah akar semua kejahatan.”. Ia lalu melanjutkan: “Selama bertahun-tahun Kalimantan dijajah Belanda, dan dengan hati penuh dengki Belanda mencoba menjauhkan bangsa-bangsa lain yang mendekati pulau ini; mereka tidak berbuat apapun untuk mendorong penduduknya untuk giat bekerja.” (hal.104)

Para desertir itu juga sempat menemukan batu bara (hal.126), berburu emas dan bijih besi (hal.190), menyaksikan sistem pengadilan adat setempat yang menggunakan damar panas dalam menentukan siapa yang bersalah. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat Dayak sudah sadar hukum sejak lama (hal.176). Selain itu para desertir berkesempatan melakukan barter dengan orang-orang Ot yang tak menolak jika menikmati daging manusia tanpa lombok dan garam (hal.263). Orang-orang Ot ini rupanya dikenal memiliki ekor (262). Masalah “ekor” ini kelak terbantahkan. Hal itu dijelaskan oleh salah seorang nara sumber Dr. Yekti Maunati dalam disertasinya Contesting Dayak Identity (2001) yang telah diterjemahkan dalam Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan (2004). Sebenarnya ekor tersebut adalah bagian dari cawat kulit kayu yang digunakan oleh kaum laki-laki Dayak.

Uraian detil Perelaer tentang adat istiadat Dayak ditunjang karena semasa bertugas sebagai tentara ia pernah diangkat menjadi Civiel Gezaghebber (pejabat sipil) di Groote en Kleine Dajak (sekarang Kalimantan Tengah). Pengetahuan yang luas itu juga dituangkannya dalam Etnograpische Beschrijving der Dajaks (1870). Sebagai narasumber utama, ia mendapat limpahan data dari sahabatnya, Temenggung Nikodemus Jaya Negara yang ditampilkan dalam novel ini. Ia juga pernah menjadi komandan benteng Kuala Kapuas dengan pangkat letnan satu. Di tempat ini ia bertugas dari 1860-1864. Bisa jadi tokoh kolonel merupakan personifikasi dirinya. Setelah berdinas di berbagai tempat termasuk ikut perang Aceh, Perelaer pensiun pada 1879 dengan pangkat mayor. Ia meninggal pada 1901 di Den Haag.

Novel ini dilengkapi juga dengan daftar istilah bahasa Dayak dan pengantar dari penerjemah yang memudahkan kita memahami isi novel ini. Secara keseluruhan, buku ini cukup menarik bagi pecinta kisah-kisah petualangan ala Karl May. Sesekali pandangan kulit putih dibenturkan dengan pandangan pribumi. Ada pula sedikit sentilan mengenai kemodernan dan keluguan, namun dibanding pribumi, tetap si kulit putih yang lebih diunggulkan. Lalu bagaimana akhir petualangan serta nasib keempat desertir itu, silakan Anda menyimak novel ini.

Sumber: Kompas, 3 Desember 2006

Diterjang Liberalisasi, Dibelit Ekonomi Rente

PENGOTAK-ngOTAKAN ilmu pengetahuan sudah berawal pada abad ke-18 dan menjadi mapan sebelum Perang Dunia II (Immanuel Wallerstein, Lintas Batas Ilmu Sosial, LKiS, 1997). Pengotakan tersebut dimulai ketika ilmu eksak, kebenaran bisa diuji, memisahkan diri dengan filsafat, yang dianggap spekulatif, tidak bisa diuji kebenarannya. Ilmu itu pada gilirannya mengalami keretakan internal ke dalam macam-macam divisi karena adanya ketegangan antara pendekatan nomothetis, yang mengandalkan hukum-hukum universal, dan pendekatan ideosinkratis, keunikan-keunikan berdasarkan ruang dan waktu.

Sekat-sekat akademis ilmu-ilmu sosial tersebut mulai runtuh sesudah Perang Dunia Kedua. Dampaknya terlihat, misalnya, menjadi populernya disiplin, seperti politik ekonomi, studi kawasan dengan studi kawasan terkenal, seperti studi Amerika Latin, Asia Timur, multicultural studies, women studies, atau world system perspective. Pendekatan-pendekatan lintas batas ilmu pengetahuan tersebut bukan saja tidak mengakui ketersekatan ilmu, tetapi keterpisahan itu menjadi tidak relevan.


Pendekatan multidimensional

Kenapa saya membuka resensi buku Andrew Rosser, The Politics of Economic Liberalization in Indonesia: State, Market, and Power, dan buku Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992, dengan ulasan singkat mengenai masalah rontoknya sekat-sekat disiplin ilmu sosial setelah Perang Dunia II? Ulasan tersebut menjadi penting di sini karena pendekatan yang ditawarkan Rosser, pendekatan multidimensional yang bersifat historis, merupakan bagian dari proses keterbukaan pendekatan ilmiah tersebut. Pendekatan multidimensional biasanya tidak hanya mendobrak ketersekatan ilmu, tetapi juga tidak lagi menganut pengotakan gagasan, struktur, dan individu ke dalam pendekatan teoretis yang bertentangan. Karena diakui adanya pluralitas determinasi, maka tidak lagi dipersoalkan variabel mana yang lebih unggul sebagai determinan, karena tujuannya adalah memahami hubungan antar variabel untuk mencapai pemahaman historis sebuah entitas dalam kekompleksannya.

Pada satu waktu dan tempat, variable A kelihatan menonjol, tetapi di lain tempat dan waktu peran variabel H lebih tampak. Menurut Rosser: "The view taken here is that the New Order is best understood as a 'multidimensional' entity in that it responded, not just to instrumental, structural, or state-centered dynamics but to all three depending on the particular historical circumstances that prevailed" (Rosser, 2002, hlm 30). (Pendekatan yang diambil di sini adalah bahwa Orde Baru paling tepat kalau dipahami sebagai sebuah entitas "multidimensional" yang bereaksi tidak hanya terhadap dinamika-dinamika instrumental, struktural, atau berporos pada negara, tetapi terhadap ketiga-tiganya tergantung pada konteks kesejarahannya)

Dengan pendekatan historis multidimensional tersebut, Rosser memperlakukan Pendekatan Tingkah Laku, Pendekatan Kepentingan Negara, Pendekatan Pascanegara, dan Pendekatan Kelas sebagai kacamata-kacamata yang membantu mengungkap kekompleksan entitas Orde Baru dalam penyusunan kebijakan publik.


Determinasi gagasan

Dalam melihat penyusunan kebijakan publik di Indonesia, Mallarangeng dengan jelas juga memetakan posisi pendekatannya dibanding dengan berbagai pendekatan lain, seperti "Teori Koalisi Politik dan Kepentingan Ekonomi", "Teori Otonomi Negara", dan "Teori Pilihan Rasional". Akan tetapi, pendekatan Mallarangeng ternyata berseberangan dengan pendekatan multidimensional yang ditawarkan Rosser.

Kalau Rosser menggunakan pendekatan kepluralan determinasi untuk melihat kekompleksan entitas Orde Baru dalam penyusunan kebijakan politik dan ekonomi yang berkenaan dengan proses liberalisasi, Mallarangeng justru ingin memapankan "gagasan" sebagai determinan yang paling menentukan dalam penentuan kebijakan publik. Jadi, seperti jingle Coca Cola: di mana saja dan kapan saja, gagasan menjadi determinasi utama.

Menurut Mallarangeng, "... saya tidak ingin menyandarkan studi ini pada apa yang disebut sebagai faktor-faktor struktural, misalnya "logika" kapitalisme, mobilitas modal, dan kapitalisme global dalam menjelaskan perubahan kebijakan... Saya menempatkan cendekiawan, penulis, pembentuk opini, aktivis, dan ekonom pada posisi yang lebih menentukan, sebagai pelaku yang menciptakan kondisi atau melahirkan tekanan bagi terjadinya perubahan kebijakan." (Mallarangeng, 2002, hlm 32) "... masih menjadi tanda tanya besar apakah dua negara (Brasil dan Argentina, tambahan penulis) dengan kondisi struktural yang sama akan mengambil kebijakan yang serupa... Dengan kata lain, jika berbagai prasyarat struktural sudah terpenuhi, kunci perbedaan arah kebijakan terletak pada gagasan dan cara gagasan itu disampaikan serta dirumuskan oleh para pengambil keputusan." (Mallarangeng, 2002, hlm 16-17)

Upaya Mallarangeng memapankan "gagasan" sebagai determinan utama yang paling berperan, mengingatkan penulis pada mendiang Terry Hopkins, yang merupakan teoretikus dan metodolog yang ada di belakang Immanuel Wallerstein dan perspektif sistem dunianya. Pada tahun 1989, dia mengatakan bahwa sampai saat itu masih banyak orang, bahkan termasuk yang menyatakan bahwa Marxisme sudah tidak relevan lagi, yang ternyata karyanya merupakan jawaban kepada Marx.

Ternyata diktum Terry masih juga berlaku, bahkan sampai di era milenium baru ini. Masih ingat perdebatan mengenai base and superstructure yang tak habis-habisnya, yaitu apakah hubungan produksi dan struktur kepemilikan modal itu mendeterminasi aktor dan gagasan, atau aktor dan gagasan itu bisa, pertama, bersifat independen dari struktur, dan kedua, apakah bisa mempengaruhi struktur ekonomi? Karya Rizal, diterbitkan tahun 2002, yang berargumen bahwa "gagasan" adalah determinan yang paling berperan dalam penyusunan dan perubahan kebijakan publik bisa dipandang sebagai jawaban terhadap kekakuan sebagian pendekatan Marxis yang dengan fanatik menganut determinasi struktur.

Kenapa Mallarangeng masih berupaya untuk mencari determinan utama yang paling berperan? Kalaupun mau memahami peran gagasan dalam penentuan kebijakan publik, upaya itu tidak perlu dilakukan dengan jalan memapankan gagasan sebagai determinan utama. Coba kita ikuti nalar Mallarangeng (hlm 24-25) dalam pembentukan "komunitas epistemis liberal" yang menduduki posisi yang sangat penting dalam argumennya. "Komunitas epistemis liberal" sendiri dipahami oleh Mallarangeng sebagai jaringan individu lintas negara, masyarakat, maupun kelas yang anggotanya bisa ditemukan di kantor pemerintah, universitas, media massa, dan lembaga penelitian kebijakan.

Kelompok ini mempunyai keyakinan atau kepercayaan bersama atas perlu dan cocoknya penerapan kebijakan-kebijakan liberal di Indonesia, dan dengan demikian menjadi "perantara" pengejawantahan "gagasan" liberal menjadi kebijakan. Kalaupun kita terima bahwa "komunitas epistemis liberal" ini mempunyai visi yang berbeda dengan kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik yang ada, sehingga mereka bukan sekadar wayang yang dikendalikan dan didikte oleh kepentingan kelas dan negara, itu tidak berarti bahwa "gagasan" kemudian menjadi determinan utama. Menjadi salah satu determinan sudah pasti. Tetapi, belum ada argumennya kenapa serta-merta gagasan menjadi determinan utama.


Gagasan, lembaga sosial, dan subyektivitas

Banyak studi yang sudah dilakukan mengenai peran gagasan, misalnya studi-studi yang berkenaan dengan masalah diskursus. Salah satunya dilakukan oleh Chris Weedon, Feminist Practice and Poststructuralist Theory, 1987, hlm 40-41, seorang feminis, yang bahkan sejak pertengahan dekade 1980-an sudah memperingatkan bahwa diskursus itu tidak hanya "beroperasi" di tingkat bahasa/gagasan, tapi juga pada tingkat proses dan lembaga sosial, serta pada tingkat subyektivitas. Weedon sama sekali tidak mempunyai tujuan untuk memapankan diskursus sebagai determinan utama. Untuk apa menyempitkan cakrawala pemikiran seperti itu? Yang ingin dia lihat adalah bagaimana diskursus beroperasi di tingkat bahasa/ gagasan, di tingkat proses dan lembaga sosial, dan di tingkat subyektivitas.

Jadi, kalau mau memakai pendekatan Weedon untuk membantu memahami subyektivitas Soeharto, misalnya, hal itu bisa dilakukan tanpa harus menempatkan gagasan Soeharto sebagai determinan utama dalam perumusan kebijakan publik di Indonesia. Tujuannya adalah memahami bagaimana gagasan Soeharto mengenai pengelolaan sumber daya ekonomi, politik, budaya, dan subyektivitas dirinya, berinteraksi dengan proses-proses dan lembaga-lembaga sosial yang ada untuk membentuk sebuah tatanan hubungan kekuasaan.

Ketika melakukan analisis berdasarkan pendekatan masing-masing, Mallarangeng yang berupaya memapankan gagasan sebagai determinan utama ternyata lebih konsisten dibanding dengan Rosser. Menurut Mallarangeng, proses deregulasi melemah setelah mencapai puncaknya pada tahun 1989, dan pada periode 1990-1992 terjadi ketidakpastian arah kebijakan ekonomi. Dia konsisten ketika menyebut bahwa melemahnya deregulasi tersebut disebabkan oleh "kegagalan intelektual", yaitu bahwa "koalisi liberal gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sah dari para pengkritik mereka" (hlm 232), yaitu berkenaan dengan munculnya konglomerat (etnis Tionghoa) yang memperbesar kesenjangan ekonomi. Dengan cukup detail Mallarangeng kemudian menggambarkan bagaimana pertempuran gagasan deregulasi dan gagasan antideregulasi, dimotori oleh intelektual populis dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), di wacana publik (219-232). Bahkan, dia mengungkapkan bagaimana Dorodjatun, sebagai bagian dari teknokrat kelompok "epistemis liberal", berkhianat dengan berbicara kepada publik bahwa kalau proses deregulasi berjalan terus, Indonesia akan terjerembab ke dalam perekonomian kapitalis liberal.

Akan tetapi, sebetulnya posisi yang diambil Dorodjatun itu tidaklah aneh, bahkan mungkin dia memang tidak pas untuk dimasukkan ke dalam kelompok "epistemis liberal". Meskipun dia dikenal sebagai generasi terakhir Mafia Berkeley, dia sebetulnya sudah menyimpang dari jalur liberalisme ekonomi yang dianut kelompok teknokrat tersebut.

Dalam sebuah diskusi Senat Mahasiswa di FISIP UI, dia secara bercanda mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia waktu itu berhenti mengirimkan ekonom mudanya ke Berkeley setelah melihat hasil dari generasi terakhirnya (maksudnya dirinya sendiri) menjadi melenceng. Maka, kalau dulu Hadi Soesastro mengajar pengantar ekonomi di FISIP UI memakai textbook Samuelson, Dorodjatun lebih menyukai textbook Todaro.

Kembali ke pendekatan Weedon, pertempuran di tingkat bahasa/gagasan dan di tingkat subyektivitas, sayang sekali Mallarangeng tidak sampai mengonstruksi subyektivitas seorang Dorodjatun, misalnya. Apabila Mallarangeng juga memperlakukan proses dan lembaga sosial sebagai variabel yang sejajar dengan gagasan, akan lebih dapat mengungkapkan multidimensionalitas pengambilan kebijakan di Indonesia. Tampaknya upaya untuk menjaga konsistensi pendekatannya bahwa gagasan adalah determinasi utama, menyebabkan kemunculan konglomerat etnis Tionghoa dan kepentingan bisnis keluarga Soeharto, keduanya berhubungan erat dengan logika modal dan negara yang mau dihindari sebagai determinan oleh Mallarangeng, diperlakukan sebagai anak tiri. Mereka diperkenalkan kepada para tamu, tetapi disuruh berdiri di pojok dan tidak diberi ruang untuk ikut ngerumpi. Pokoknya, pembaca sekadar diberi tahu bahwa ada kemunculan dominasi pengusaha etnis Tionghoa dan keluarga Soeharto, tetapi penentu utama arah kebijakan publik adalah tetap gagasan.


Penderitaan ganda

Pendekatan multidimensional Rosser ternyata kurang bisa terjaga konsistensinya. Singkatnya, pendekatan multi-dimensionalnya ternyata masih kurang multidimensi. Akibatnya, kekompleksan dampak proses liberalisasi di Indonesia juga tidak semua terungkap dengan baik.

Tidak seperti Mallarangeng, Rosser berpendapat bahwa proses liberalisasi di Indonesia bukanlah masalah unggulnya "rasionalitas ekonomi", yang menurut Mallarangeng adalah gagasan yang diwakili oleh kelompok teknokrat "epistemis liberal", atas gagasan kelompok kepentingan sosial dan politik. Menurut Rosser, hal itu merupakan masalah berhasil tidaknya koalisi kepentingan "mobile capitalists", lembaga internasional pemberi utang, penanam modal internasional di pasar modal, footloose manufacturing-perusahaan multinasional yang mudah pindah tempat, dan pendukungnya seperti IMF dan Bank Dunia, memenangkan perebutan kekuasaan dalam pengambilan kebijakan melawan koalisi kepentingan kalangan politiko-birokrat dan konglomerat yang antiliberalisasi. 

Kesimpulan yang ditarik oleh Rosser adalah: "Indonesia is unlikely to converge on the neoliberal model. Whilst the crisis has clearly unleashed powerful structural pressures for reform, prospects for reform are limited by the fact that the country lacks one of the main prerequisites for the existence of liberal market: a strong domestic coalition of interests that supports market reform." (hlm ix-x) (Indonesia tampaknya tidak akan mengikuti model neoliberal. Sementara krisis dengan jelas telah menimbulkan tekanan-tekanan struktural yang sangat kuat untuk melakukan reformasi, prospek untuk reformasi dibatasi oleh kenyataan bahwa negara ini tidak memiliki prasyarat utama bagi keberadaan pasar liberal: sebuah koalisi kepentingan domestik yang kuat yang mendukung reformasi pasar).

Menurut Rosser (hlm 4), dengan keunggulan koalisi politiko-birokrat dan konglomerat, maka Indonesia bukannya sedang mengarah ke pasar liberal dan demokrasi liberal, tetapi justru sedang bergerak ke arah chaos, politik uang, dan kebangkitan kembali nasionalisme ekonomi.

Apa yang kurang dari pendekatan multidimensi Rosser? Memang betul bahwa koalisi kalangan mobile capitalists gagal merebut kekuasaan negara dari tangan aparat partai politik dan klien-klien bisnis mereka (hlm 195), tetapi itu tidak berarti bahwa langkah-langkah liberalisasi yang sudah berhasil digolkan di Indonesia tidak mempunyai dampak yang berarti.

Ambil saja satu contoh, yaitu dalam bidang liberalisasi, tarif impor yang dilakukan dalam konteks WTO, AFTA, dan APEC, yang juga didukung oleh tekanan-tekanan dari IMF. Dalam hal buruh misalnya, dengan diturunkannya berbagai tarif impor sampai ke titik minimal, bahkan maunya sampai ke titik nol, berbagai investor yang terbebani oleh biaya ekonomi tinggi dan berbagai ketidakpastian hukum-ini akibat koalisi politiko-birokrat dan konglomerat tetap berada di atas angin-dan politik di Indonesia, sudah merelokasi produksi mereka di negara Asia Tenggara lainnya.

Buat mereka, lebih murah berproduksi di negara Asia Tenggara lainnya kemudian mengimpor produknya ke Indonesia, dan ini menyebabkan meningkatnya pengangguran di Indonesia. Menguatnya gerakan buruh di Indonesia, yang berdampak pada kenaikan upah buruh, ternyata disertai dengan kegagalan negara untuk mewujudkan iklim investasi yang kompetitif. Demikian pula dengan nasib petani tebu dan pabrik gula yang menderita melihat gulanya kalah bersaing dengan gula impor yang bea masuknya diturunkan sampai mendekati nol persen. Di samping itu, para retailer kecil di daerah juga terancam dengan liberalisasi izin investasi modal asing yang menyebabkan retailer asing boleh beroperasi di tingkat provinsi dan kabupaten.

Apa yang hilang dari pendekatan multidimensi Rosser? Karena Rosser terlalu terfokus pada pengambilan keputusan di tingkat nasional, dia kurang memperhatikan dampak dari langkah-langkah liberalisasi yang sudah diambil selama ini terhadap kalangan marjinal. Gagalnya koalisi LSM, intelektual populis, dan kelompok-kelompok antiglobalisasi, misalnya, tidak ikut diperhitungkan. Apabila dimensi ini dimasukkan ke dalam analisisnya, kesimpulannya bisa jadi berbeda, yaitu bahwa Indonesia sekarang ini menanggung penderitaan ganda.

Pertama, Indonesia bergerak ke arah chaos, politik uang dan kebangkitan kembali nasionalisme ekonomi akibat terus berkuasanya koalisi politiko-birokrat dan konglomerat. Dan kedua, langkah-langkah liberalisasi yang sudah diambil bukannya berhasil meningkatkan efisiensi dan daya saing, tetapi justru merugikan kalangan buruh, petani, dan pengusaha kecil. Dengan demikian, Indonesia menderita akibat negatif dari terus berkuasanya koalisi politiko-birokrat dan konglomerat, dan menderita akibat negatif dari langkah-langkah liberalisasi yang diperjuangkan oleh koalisi mobile capitalists.


Kesimpulan

Kedua buku ini menawarkan dua pendekatan yang berbeda. Dengan membaca keduanya, kita bisa memperoleh gambaran yang konkret mengenai proses pengambilan keputusan dari kebijakan liberalisasi di Indonesia. Dengan membaca keduanya secara kritis, kita akan bisa terbantu untuk melihat apa yang harus dilakukan apabila Indonesia mau keluar dari penderitaan ganda yang sekarang sedang dialaminya.

Alexander Irwan Sosiolog, tinggal di Jakarta

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/21/dikbud/dite33.htm

The Interpretation of Murder by Jed Rubenfeld

Jed Rubenfeld takes his place in literary entertainment with grand eloquence in his first novel, The Interpretation of Murder, published by Henry Holt. This dandy psychological murder mystery is chockfull of history, biography, and geography. This would overwhelm a lesser writer, but Rubenfeld’s mastery of the subject matter, pacing, and sheer storytelling verve propels the reader into New York 1909, and puts the reader into the chase for a vicious, sadistic killer.

The novel begins as Dr. Sigmund Freud arrives in New York to deliver a series of lectures on the – at that point – very controversial subject. Dr. Stratham Younger, an American psychoanalyst, is appointed by the university to act as liaison officer for Dr. Freud. Several key members of Freud’s group of therapists are with him, including Carl Jung, the father of psychoanalysis’s most ambitious student, who ultimately tries to overtake his mentor’s glory.

Soon after Dr. Freud’s arrival, Dr. Younger is summoned to a case involving an attack on 17-year-old Nora Acton, daughter to two influential people in the city’s high society circles. The victim of a sadist, Nora was choked, whipped, and cut with a knife. The experience has left her with amnesia and bereft of voice. Dr. Freud offers the opinion that her case would be an excellent choice for Dr. Younger.

As he pursues therapy with the young woman, Dr. Younger finds himself entranced with Nora’s beauty and vulnerability. However, Nora’s returning memory proves false when she accuses the mayor’s friend, George Banwell with attacking her. Banwell is a married man and a rejected suitor of Nora’s who – she says – won’t take no for an answer. However, the night Nora was attacked, Banwell has the perfect alibi: he was with the mayor.

The mystery continues getting richer and deeper as Littlemore proceeds on a parallel course that turns up other clues. As it turns out, Nora wasn’t the only woman attacked, tied up, strangled, and whipped in such a manner. At least one other woman was, and she’s now dead. However, her body has gone missing from the morgue. Littlemore doesn’t know if the corpse was sold to the medical schools or if its disappearance is part of a cover-up.

Rubenfeld sets each scene with deft assurance. While reading the novel, I easily could imagine the city. I stood on the docks and awaited Dr. Freud’s ship, and could even smell the man’s harsh cigar smoke. As the story progressed from the luxury hotels and high society events to the narrow, twisting alleys, and to houses of prostitution and police holding cells, those scenes filled without thousands of extras came alive.

In the afterword, Rubenfeld acknowledges using the New York City geography as he needed to, but very few changes took place. The book is elegantly resourced and researched according to the time, place, and social mores. Rubenfeld’s depiction of Freud is based on a familiarity with the man through a thesis he wrote while at Princeton. Later, at Julliard, Rubenfeld studied Shakespeare, and Hamlet – which maintains a presence throughout the novel as well – becomes a topic that will interest many readers even if they’re not well-versed in the subject.

Taking his marks from the current successful thriller-writers, Rubenfeld gracefully intertwines Dr. Stratham Younger’s first-person narrative with third-person viewpoints of other characters (including the marvelous Detective Littlemore). The book would have been interesting through the eyes of Dr. Younger alone, but by building in the larger cast of characters, each with their own parts to play, the story takes on added dimensions that really incite the reader to turn pages.

An investment of time is required through the first quarter of the book. Rubenfeld sets a number of things into motion and takes time to make his New York expansive and deep, the characters rich and vibrant .(Detective Littlemore creeps in from nowhere, it seems, and very nearly succeeds in taking over the book at one point.) But after that initial investment, you need to block out the time to finish the novel because you’re in for a late night. Rubenfeld exercises a siren call, working dexterously with a small cast of suspects, pulling blind after double-blind, with enough twists and turns to satisfy a James Patterson or Jeffrey Deaver fan.

The Interpretation of Murder is truly a magnificent book - sprawling, epic, and jaw-dropping all at the same time. Anyone who can put it down 150 pages from the end has more willpower than I. After Littlemore figured out how Seamus Malley met his death, the plot simply explodes into action, and I had to struggle to keep up with all the twists and turns, which ultimately made perfect sense.

The mystery is satisfying, but so is the commentary on society at the time, the resistance of scientific thinking to psychoanalysis, and even the relationship between Freud and Jung. I can only hope Rubenfeld gets more opportunities to return to this exciting world and bring his readers more adventures of Dr. Younger and Lieutenant Littlemore.

An Extract:
"There is no mystery to happiness..."   

Unhappy men are all alike. Some wound they suffered long ago, some wish denied, some blow to pride, some kindling spark of love put out by scorn – or worse, indifference – cleaves to them, or they to it, and so they live each day within a shroud of yesterdays. The happy man does not look back. He doesn’t look ahead. He lives in the present.

But there’s the rub. The present can never deliver one thing: meaning. The ways of happiness and meaning are not the same. To find happiness, a man need only live in the moment; he need only live for the moment. But if he wants meaning – the meaning of his dreams, his secrets, his life – a man must reinhabit his past, however dark, and live for the future, however uncertain. Thus nature dangles happiness and meaning before us all, insisting only that we choose between them.

For myself, I have always chosen meaning. Which, I suppose, is how I came to be waiting in the swelter and mob of Hoboken harbor on Sunday eve ning, August 29, 1909, for the arrival of the Norddeutsche Lloyd steamship George Washington, bound from Bremen, carry ing to our shores the one man in the world I wanted most to meet.

At 7 p.m. there was still no sign of the ship. Abraham Brill, my friend and fellow physician, was waiting at the harbor for the same reason as I. He could hardly contain himself, fidgeting and smoking incessantly. The heat was murderous, the air thick with the reek of fish. An unnatural fog rose from the water, as if the sea were steaming. Horns sounded heavily out in the deeper water, their sources invisible. Even the keening gulls could be only heard, not seen. A ridiculous premonition came to me that the George Washington had run aground in the fog, her twenty­five hundred European passengers drowning at the foot of the Statue of Liberty. Twilight came, but the temperature did not abate. We waited.

All at once, the vast white ship appeared not as a dot on the horizon, but mammoth, emerging from the mist full blown before our eyes. The entire pier, with a collective gasp, drew back at the apparition. But the spell was broken by the outbreak of harbormen’s cries, the flinging and catching of rope, the bustle and jostle that followed. Within minutes, a hundred stevedores were unloading freight.

Brill, yelling at me to follow, shouldered through to the gangway. His entreaties to board were rebuffed; no one was being let on or off the ship. It was another hour before Brill yanked at my sleeve and pointed to three passengers descending the bridge. The first of the trio was a distinguished, immaculately groomed, gray haired, and gray bearded gentleman whom I knew at once to be the Viennese psychiatrist Dr Sigmund Freud.

At the beginning of the twentieth century, an architectural paroxysm shook New York City. Gigantic towers called skyscrapers soared up one after the other, higher than anything built by the hand of man before. At a ribbon cutting on Liberty Street in 1908, the top hats applauded as Mayor McClellan declared the forty seven story redbrick and bluestone Singer Building the world’s tallest structure. Eighteen months later, the mayor had to repeat the same ceremony at the fifty story Metropolitan Life tower on Twenty fourth Street. But even then, they were already breaking ground for Mr Woolworth’s staggering fifty eight story ziggurat back downtown.

On every block, enormous steel beam skeletons appeared where empty lots had been the day before. The smash and scream of steam shovels never ceased. The only comparison was with Haussmann’s transformation of Paris a half century earlier, but in New York there was no single vision behind the scenes, no unifying plan, no disciplining authority. Capital and speculation drove everything, releasing fantastic energies, distinctly American and individualistic.

The masculinity of it all was undeniable. On the ground, the implacable Manhattan grid, with its two hundred numbered east–west streets and twelve north–south avenues, gave the city a stamp of abstract rectilinear order. Above this, in the immensity of the towering structures, with their ­peacock- like embellishments, it was all ambition, speculation, competition, domination, even lust – for height, size, and always money.

The Balmoral, on the Boulevard – New Yorkers at the time referred to Broadway from Fifty ninth to 155th Street as the Boulevard – was one of the grand new edifices. Its very existence was a gamble. In 1909, the very rich still lived in houses, not apartments. They ‘kept’ apartments for short or seasonal stays in the city, but they failed to comprehend how anybody could actually live in one. The Balmoral was a bet: that the rich could be induced to change their minds if the accommodations were sufficiently opulent.

The Balmoral rose seventeen stories, higher and grander than any apartment building – any residential building – had ever climbed before. Its four wings occupied an entire city block. Its lobby, where seals cavorted in a Roman fountain, shone with white Carrera marble. Chandeliers in every apartment sparkled with Murano glass. The smallest dwelling had eight rooms; the largest boasted fourteen bedrooms, seven baths, a grand ballroom with a twenty- foot ceiling, and full maid’s service. This rented for the appalling sum of $495 a month.

The own er of the Balmoral, Mr George Banwell, enjoyed the enviable position of being unable to lose money on it. His investors had advanced $6,000,000 toward its construction, of which he had kept not a penny, scrupulously remitting the entire amount to the builder, the American Steel and Fabrication Company. The own er of this firm, however, was also Mr George Banwell, and the actual construction cost was $4,200,000. 

On January 1, 1909, six months before the Balmoral was to open, Mr Banwell announced that all but two of the apartments were already let. The announcement was pure invention, but it was believed, and therefore within three weeks it was so. Mr Banwell had mastered the great truth that truth itself, like buildings, can be manufactured.

The Balmoral’s exterior belonged to the Beaux Arts school at its most flamboyant. Crowning the roofline were a quartet of thirteen-foot floor to-ceiling glass­paned concrete arches, one at each corner of the property. Because these great arched windows gave off the top floor’s four master bedrooms, someone standing outside them could have had a very compromising view inside. On Sunday night, August 29, the view from outside the Alabaster Wing would have been shocking indeed. A slender young woman was standing within, lit by a dozen flickering candles, barely clothed, exquisitely proportioned, her wrists tied together over her head, and her throat embraced by another binding, a man’s white silk tie, which a strong hand was making tight, exceedingly tight, causing her to choke.

Her entire body glistened in the unbearable August heat. Her long legs were bare, as were her arms. Her elegant shoulders were nearly bare as well. The girl’s consciousness was fading. She tried to speak. There was a question she had to ask. It was there; it was gone. Then she had it again. ‘My name,’ she whispered. ‘What is my name?’

Dari Masa Gemilang yang Otoriter sampai Revolusi dalam Revolusi

KALAU dalam sebuah uraian sejarah ada kisah tentang betapa musuh bebuyutan tampil sebagai pembela di saat yang dibutuhkan, maka orang pun bisa berkata bahwa sebuah "ironi sejarah" telah terjadi.

KATA ironi dipakai ketika keharusan logika mengalami masalah dalam sistem wacana yang ingin menyalin realitas seutuh mungkin. Bukankah lebih masuk akal kalau musuh mengambil keuntungan, bukannya malah menolong? Tetapi apakah istilah yang bisa dipakai kalau terjadi pertentangan antara gambaran yang dibuat tentang masa lalu dan realitas yang sesungguhnya? Pemalsuan sejarah? Pasti bukan, sebab gambaran atau image bukan kronikel, yang harus memberikan fakta yang "pasti" tentang "apa, siapa, di mana, dan bila". Image hanyalah gambaran mental tentang situasi atau peristiwa masa lalu. Dan, apa pula istilahnya kalau image tentang peristiwa atau situasi di masa lalu itu dijadikan pula sebagai landasan legitimasi dari ideologi kekuasaan? Mitologisasi?

Tetapi sudahlah. Masalahnya ialah kita terlalu biasa menjadikan episode-episode tertentu dari masa lalu sebagai landasan legitimasi bagi tatanan politik yang ingin dibela. Ingat saja gaya Demokrasi Terpimpin atau bahkan Demokrasi Pancasila. Kalau yang satu menyebutkan sistem itu sebagai pantulan autentik dari "kepribadian nasional", maka yang lain mengatakan bahwa dirinya adalah pancaran "jati diri bangsa". Kedua sistem itu membanggakan diri sebagai warisan luhur nenek moyang. Hanya saja, kalau sumber-sumber sejarah yang sahih dijadikan sebagai landasan dalam usaha mengadakan rekonstruksi sejarah-sebagaimana semestinya dalam penulisan sejarah, maka kita pun berhadapan dengan gambaran situasi yang sama sekali berbeda.

Memang benar adanya kerajaan-kerajaan besar dan gemilang bisa ditemukan dalam sejarah-hasil-rekonstruksi yang sah dan kehadiran raja yang agung pun bukanlah pula semata-mata hasil imajinasi sejarawan. Namun, tak satu pun dari kerajaan atau raja yang dibanggakan itu mempunyai sistem kekuasaan dengan ciri-ciri yang pantas disebut demokratis. Bagaimana dengan Majapahit yang konon-menurut versi sejarah yang romantik dan nasionalistis-negara kedua yang mempersatukan Nusantara (sesudah Sriwijaya dan sebelum Negara Kesatuan RI)? Semakin hebat kekuasaan Majapahit semakin "sentralistis" dan otoriter sistem kekuasaannya. Studi De Casparis tentang zaman kuno Jawa memperlihatkan irama sejarah yang nyaris menetap-setiap kerajaan bermula dari situasi konsensus dan berkembang menjadi kekuasaan otoriter dan "sentralistis". Studi De Graaf dan Ricklefs tentang Mataram Baru juga memperlihatkan tendensi yang sama. Setiap raja besar dan kerajaan gemilang di tanah air kita bersandar pada sistem kekuasaan yang otoriter. Jadi, tidak ada kaitannya dengan demokrasi, apa pun kata sifat yang mau diletakkan di belakang kata ini.


Sejarah Aceh Sejarah Pergolakan

Dua bab dari buku terakhir Tony Reid, sejarawan yang semakin terkenal setelah dua jilid bukunya tentang Asia Tenggara abad ke-16 (yang disebutnya sebagai The Age of Commerce) terbit, secara khusus membicarakan perkembangan sistem kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Dari uraiannya yang agak mendetail ini tampak pulalah, sebagaimana studi lain pernah juga mensinyalir, bahwa Sultan Iskandar Muda (1607-1639), penguasa yang terbesar dalam sejarah Aceh, adalah pewaris takhta yang sangat berhasil menjalankan sistem kekuasaan yang "sentralistis", otoriter, dan ekspansionis, yang telah dirintis kakeknya. Jadi, betapapun mungkin "masa lalu yang gemilang" bisa memberikan kebanggaan-kebanggaan sejarah memang salah satu ciri nasionalisme, tetapi bila dipakai sebagai landasan ideologis dari kehidupan politik yang dikatakan demokratis hanya akan menimbulkan situasi dilematis yang menyesatkan.

Buku Prof Reid, yang kini menjabat Direktur Asian Research Institute, National University of Singapore, tidaklah khusus berbicara tentang sistem kekuasaan Kesultanan Aceh. Buku yang merupakan kumpulan artikel yang ditulis (tetapi mengalami revisi) dalam rentang waktu selama masa 40 tahun ini sebenarnya tampil dengan tiga tema utama.

Pertama, suatu exercise akademis dengan memperlakukan Sumatera sebagai kesatuan sejarah. Meskipun Bab 12, 13, dan 14 mencoba melihat berbagai peristiwa yang terjadi di Sumatera, khususnya masa pendudukan Jepang dan masa-masa awal revolusi, pada Bab 1, 2, 3, dan 13 penulis menghadapkan dirinya pada usaha melihat Sumatera sebagai sebuah kesatuan sejarah.

Kedua, memperkenalkan lebih mendalam aspek dan dimensi tertentu dari sejarah Aceh. Tak kurang dari tujuh bab yang khusus berbicara tentang dan mengenai Aceh dan boleh dikatakan hanya satu bab saja (Bab 9) yang nyaris tak berbicara tentang Aceh. Bab 9 ini membahas tentang migrasi Cina ke Sumatera Utara/Timur, di saat daerah ini sedang tampil sebagai pusat perkebunan yang sangat menggairahkan di abad ke-19. Sambil lalu boleh juga dikatakan bahwa bab yang cukup detail ini bisa mengingatkan kita pada kisah-kisah sedih para TKI, yang sempat menghebohkan itu. Hanya saja, di samping negara pengirim (China), ada dua negara kolonial calon penerima yang terlibat, yaitu Belanda dan Inggris, yang telah mendominasi Tanah Semenanjung. Pemerintah China sempat juga memenggal kepala seorang calo yang dituduh telah menjerumuskan pekerja migran dalam penderitaan (halaman 217).

Ketiga, mengadakan rekonstruksi berbagai peristiwa sejarah tentang perhatian bangsa lain untuk "bermain" di atas pentas sejarah Sumatera, khususnya Aceh dan Sumatera Utara/Timur. Sebagai yang keempat boleh juga disebut bab terakhir yang mempertentangkan visi kesejarahan Indonesia dan Aceh atau, lebih tepat, Hasan Tiro.

Uraian tentang berbagai aspek sejarah Kesultanan Aceh mendominasi kumpulan tulisan ini. Dari uraian ini kelihatanlah bahwa terwujudnya sistem otokrasi terkait dengan kemampuan pemegang mahkota untuk menguasai jalur perdagangan dan sumber-sumber produksi tanaman ekspor, terutama lada. Jadi, sang raja harus berhadapan dengan para "orang kaya", yang menguasai perdagangan, dan dengan para penguasa daerah. Kemampuan menjinakkan kedua unsur elite inilah yang menjamin kekuasaan sang raja. Tanpa kemampuan ini, bukan saja kestabilan pemerintahan bisa digoyahkan, keselamatan sang raja pun dipertaruhkan.

Meskipun Reid tak mengatakannya secara eksplisit, kesaksian Sheikh Nurruddin ar-Raniri dalam buku ensiklopedisnya, Bustanussalatin (ditulis awal abad ke-17) mengatakan bahwa menjelang konsolidasi kekuasaan ini hampir-hampir tak ada raja yang mangkat atau turun takhta dengan "aman". Barulah di masa pemerintahan Sultan Syah Sayyid al-Mukammil (1589-1604), masa yang disebut Reid sebagai "royal absolutism" bermula dan mencapai puncaknya di bawah Iskandar Muda. Setelah raja yang perkasa ini mangkat, proses melorotnya kekuasaan raja pun secara bertahap terjadi dan kekuasaan penguasa daerah, panglima sagi, penguasa tiga daerah dekat ibu kota, makin menaik. Iskandar Muda digantikan oleh menantunya, Iskandar Thani, karena sang sultan yang perkasa ini telah lebih dulu menghukum mati putra tunggalnya.

Ketika Iskandar Thani meninggal (1641), para orang besar kerajaan memilih jalan tengah dengan mengangkat permaisurinya (putri Iskandar Muda), Safiyyat al-Din Taj al-Alam (1641-1675) sebagai sultanah. Maka, masa pemerintahan empat sultanah pun bermula. Namun, ketika konspirasi para "orang kaya" berhasil memakzulkan sultanah yang keempat, Kamalat Syah, pada tahun 1699 dengan alasan fikih, maka berakhirlah periode "sultanah" dalam sejarah Aceh. Dan, Aceh pun mempunyai dinasti baru. Tetapi sementara itu peranan para "orang kaya" dan uluebalang semakin penting juga.

Diplomasi Aceh

Dalam konteks sejarah Aceh abad ke-16 dan ke-17 ini Reid berkisah tentang dua hal lain yang biasanya hanya disinggung sambil lalu saja, yaitu tentang festival kerajaan dan hubungan diplomatik Aceh dengan Turki. Dengan bersandar pada sumber-sumber dari para pelancong dan pedagang Barat yang datang ke Aceh, bab ini bercerita tentang berbagai macam keramaian kerajaan-perarakan gajah, perayaan hari-hari besar Islam, upacara perkawinan, penerimaan utusan asing, dan sebagainya. Pokoknya, kata Reid, "Aceh di abad ke-17 tidaklah sekadar pusat perdagangan dan kekuatan militer. Aceh adalah juga sebuah kota yang luas dan kaya yang mempunyai segala sesuatu dan kebudayaan untuk mengembangkan gaya hidup yang menyenangkan, dengan memberi waktu yang banyak bagi olahraga, hiburan, dan kemegahan". Semuanya memancarkan kebesaran dan suasana adikodrati yang menyelimuti sang penguasa (halaman 135).

Setelah Turki Usmaniyah berhasil merebut Konstantinopel (1492), kerajaan ini pun tampil sebagai kekuasaan Islam yang paling megah. Jadi, mestikah diherankan kalau Aceh Darussalam yang baru berhasil menyatukan Aceh ingin mengadakan hubungan aliansi? Kepentingan politik, keharusan perdagangan, dan solidaritas agama adalah motivasi yang terlalu kuat untuk dibiarkan lewat begitu saja, apalagi kekuatan "kafir", Portugis, yang telah menaklukkan Malaka (1511), bukan saja lawan yang harus dikalahkan, tetapi juga kekuatan yang selalu mengancam.

Usaha diplomatik Aceh dimulai oleh Sultan Ala addin Riayat al Kahar (1539-1571), yang baru memakzulkan saudaranya. Usaha Aceh inilah yang menyebabkan Turki melibatkan diri dalam situasi dagang dan politik di kawasan Asia Tenggara. Bisa juga dipahami keterlibatan Turki ini juga mendorong kerja sama antarkerajaan Islam di Asia Tenggara. "Hubungan diplomasi tahun 1560-an antara Turki dan Aceh mencapai tingkat yang tertinggi dan merupakan unsur yang penting dalam penentuan arah politik Turki dan Aceh" (halaman 89).

Maka, jika kemudian di abad ke-19-sebagaimana dikisahkan Reid pada Bab 10-perjuangan berlandaskan cita-cita pan-Islam terjadi di berbagai pusat kekuasaan, hal ini tentu lebih mudah bisa dipahami. Aceh, Japara, Ternate, Gresik, dan Johor, katanya, adalah pusat-pusat kekuasaan yang mudah terkena cita-cita pan-Islam. Bahkan sesungguhnya meletusnya perang (kolonial) Aceh tidak bisa dipahami dengan baik tanpa mempertimbangkan peranan atau kemungkinan peranan Turki.


Sejarah Kolonial

Bab-bab tentang sejarah Kesultanan Aceh ini memang lebih banyak berbicara tentang aspek perdagangan dan struktur politik. Hal ini tentu bisa dipahami karena melalui kedua jalur inilah Aceh berjaya di perairan Selat Malaka dan di pantai barat Sumatera. Tetapi ada dua bab lagi (8 dan 11) yang menarik meskipun jika penilaian lama ingin dipakai bab-bab ini, terutama Bab 11, bisa dimasukkan ke dalam kategori "sejarah kolonial", bukan dalam pengertian moral, tetapi perspektif. Kedua bab ini bercorak penulisan sejarah yang- sebagaimana dikatakan Van Leur di akhir tahun 1930-an- dilihat dari "dek kapal dan jendela loji". Jadi lebih banyak berkisah tentang orang asing dan nyaris tak memberi tempat bagi anak negeri untuk bermain di atas pentas sejarah yang rekonstruksi itu. Tetapi memang bab-bab dipakai Reid untuk berkisah tentang berbagai pengalaman dan kelakuan orang Eropa dalam berhadapan dengan negeri yang mudah-mudahan bisa dieksploitasi dan dikuasai. Bab 8 boleh dikatakan sebagai "sejarah pinggiran" Aceh karena hanya berkisah tentang berbagai usaha orang atau Pemerintah Perancis dalam berhadapan dengan Aceh di awal abad ke-19. Maka kita pun berkenalan dengan pengalaman yang mengharukan dari dua pendeta Katolik yang masih muda yang ingin menyampaikan "berita gembira" dan tentang gunboat diplomacy yang sempat dijalankan Perancis terhadap Aceh. Abad ke-19 adalah masa menaiknya kolonialisme, tetapi di masa ini Sultan Aceh sempat juga mengadakan kontak dengan Louis Phillipe, Raja Perancis sesudah Revolusi 1830, dan Louis Napoleon, yang meniru pamannya, Napoleon Bonaparte, mengangkat diri sebagai kaisar, dan juga dengan republik yang berdiri kemudian. Sayang bagi Aceh kontak ini tak berjalan mulus. Perancis tak ingin terlibat konflik dengan Belanda.

Di samping menarik sebagai kisah, Bab 11 semakin memperjelas latar belakang agresi yang dilancarkan Belanda di tahun 1873. Bab ini berkisah tentang WH Read, seorang pedagang Inggris yang menetap di Singapura. Karena kemampuan lobinya yang hebat, ia diangkat Pemerintah Belanda sebagai konsul di kota dagang yang telah tumbuh pesat itu. Dengan jabatan ini, Read mendapat hak untuk mengeluarkan visa dengan bayaran bagi setiap kaula Hindia Belanda yang ingin naik haji. Namun, bagi Pemerintah Belanda, ia tampaknya lebih diperlukan sebagai "informan" mengenai hal-hal yang bisa merugikan kepentingan Belanda. Maka timbul juga pertanyaan, jangan-jangan telegram yang dikirimkan Read tentang usaha diplomatik Aceh untuk mendekati Amerika Serikat yang menyebabkan Belanda dengan tergesa-gesa menyerang Aceh. Serangannya ini berakibat fatal bagi Belanda dan serangan yang dilancarkan kemudian menjerumuskan Belanda dalam perang kolonial terlama dan termahal. Memang benar dalam Sumatra Treaty (2 November 1871) Inggris telah memberikan hak kepada Belanda untuk menguasai Aceh, tetapi apakah semudah itu melakukannya? Maka ketika Aceh telah mengadakan usaha diplomatik, Belanda pun kehilangan perhitungan yang matang. Dalam masa 40 tahun "perang Aceh" sekian banyak nyawa melayang di kedua belah pihak. Timbul juga pertanyaan, apakah perang yang berkepanjangan ini benih yang menumbuhkan "tradisi perlawanan" dalam budaya dan masyarakat Aceh?


Perpecahan Masyarakat Aceh

Salah satu dampak struktural dari "perang Aceh" dan kekuasaan kolonial ialah terpecahnya sistem kepemimpinan Aceh-uluebalang, yang didukung pemerintah kolonial, dan ulama, yang selalu dicurigai. Ketika Jepang telah mulai mengancam, perpecahan struktural ini semakin menampakkan dirinya dalam realitas. Ketika militer Jepang masih berada di Tanah Semenanjung, pemberontakan terhadap Belanda terjadi dan di saat kekuasaan Jepang telah semakin opresif di beberapa tempat pemberontakan terhadap Jepang juga meletus.

Ketika revolusi nasional telah sampai di Aceh seorang uluebalang yang mempunyai reputasi nasionalistis, Teuku Nyak Arief, diangkat menjadi residen republik. Tetapi di saat itu pula pertempuran terbuka antara pendukung ulama dan uluebalang di Pidie terjadi. Drama "Perang Cumbok" terjadi-rakyat Aceh telah saling membunuh. Hampir semua uluebalang Pidie mati terbunuh (awal 1946). Tak lama kemudian pemuda PUSA mengadakan "revolusi sosial" di pantai timur, dari selatan menuju utara dan sepanjang perjalanan membersihkan segala unsur yang dianggap mewakili "kekuasaan feodalisme".

Akan tetapi, "revolusi dalam revolusi" bukanlah monopoli Aceh. Revolusi sosial yang dahsyat terjadi juga di Sumatera Timur-sultan-sultan yang selama ini mendapat hak-hak istimewa pemerintah kolonial jadi sasaran. Bahkan di Sumatera Barat, dengan waktu dan tingkat intensitas yang lebih rendah, revolusi sosial juga terjadi.


Sumatera sebagai Medan dan Kesempatan

Akhirnya, kalimat pertama dari Bab I buku ini baik juga kalau dikutip: "Sumatra is a frontier. Bagi peradaban lama di sekitar Lautan Hindia ia selalu merupakan sebuah pulau misterius di Timur yang dilimpahi kekayaan-Swarnadwipa, pulau mas yang menjadi pintu masuk ke semua kekayaan Asia Tenggara. Bagi Indonesia, pulau ini adalah pulau kesempatan, kekayaan alam yang melimpah dan dinamisme ekonomi".

Tetapi bukankah aneh juga kalau pulau ini tak pernah merupakan suatu kesatuan-tidak dalam sistem kekuasaan, bahkan tidak pula dalam bayangan masa depan. Sriwijaya adalah kerajaan besar, tetapi terlupakan dalam ingatan kolektif, kehadirannya dalam sejarah adalah hasil penemuan. Kekuasaan Kesultanan Aceh di luar Aceh tak berumur panjang. Islam secara bertahap memasuki daerah pedalaman, tetapi sejak akhir abad ke-19 misi Kristen mulai pula memasuki wilayah ini, khususnya di sekitar Danau Toba. Maka cita-cita ke-Sumatera-an tak lebih daripada bayangan yang lewat di atas pentas sejarah.

Jong Sumatranen Bond dan Konferensi Persatuan Sumatera di Sibolga dan Padang di awal tahun 1920-an, bahkan juga (tetapi tak diceritakan buku ini) terbentuknya Sarekat Sumatra, hanyalah episode sejarah yang perlu dicatat saja. Kesatuan administratif Provinsi Sumatera yang berpusat di Medan, dan terpisahnya Sumatera dengan wilayah Indonesia lain, di masa pendudukan Jepang-Jawa di bawah Tentara ke-16, Indonesia bagian timur di bawah angkatan laut, sedangkan Sumatera di bawah kekuasaan Tentara ke-25-tidak mengubah kecenderungan akan keterikatan Sumatera dengan wilayah lain. Malah yang terjadi ialah sekian banyak "anak Sumatera" yang tampil sebagai pelopor nasionalisme Indonesia. Rupanya perbedaan internal yang kompleks seakan-akan telah menjadikan nasib Sumatera hanya mempunyai dua pilihan: terpecah-pecah atau terikat dalam kesatuan lain di luar dirinya.

Bahkan ketika Jepang akhirnya memutuskan untuk mengikutsertakan Sumatera dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, pemerintah militer tidak mengirim para tokoh yang telah sempat meneguhkan kedudukan mereka sebagai pemimpin Sumatera yang disegani. Pemerintah militer Jepang memilih tokoh-tokoh lain sebagai wakil Sumatera. Maka bisa diperkirakan bahwa ketika Pemerintah RI yang baru berumur dua-tiga hari mengangkat mereka sebagai gubernur dan wakil gubernur Provinsi Sumatera-TM Hassan dan M Amir-mereka sangat tergantung pada legitimasi yang diberikan Soekarno-Hatta. Tetapi sementara itu daerah-daerah yang telah mempunyai kepemimpinan yang kuat dengan segera menampilkan diri sebagai kekuatan republik.

Berbagai peristiwa di masa revolusi, seperti Konferensi Sumatera yang disponsori Negara Sumatera Timur, di Medan (1949), dan bahkan kemudian, ketika kekecewaan daerah kepada pusat telah semakin memuncak, dengan meletusnya PRRI/Permesta (1958) ternyata kekuatan nasionalisme Sumatera tak berarti apa-apa. Perbedaan internal tak bisa diabaikan. Tetapi dinamika yang langsung atau tidak didorong oleh kolonialisme penting diketahui. Keamanan relatif di bawah kolonialisme mendorong terjadinya migrasi. Kemudian ternyatalah bahwa gerak ke arah modernisasi lebih banyak berasal dari orang pedalaman, yang bertani di lembah-lembah dataran tinggi, yang bermigrasi itu. "Nenek moyangku orang pelaut" hanyalah nyanyian romantik, tetapi kemajuan dalam pendidikan digerakkan oleh orang dari pedalaman-Batak, Minangkabau, dan Minahasa secara statistik lebih maju dalam pendidikan.

Begitulah buku yang terdiri dari 15 bab ini membawa kita menjelajahi berbagai aspek sejarah Sumatera. Dengan buku ini Reid memberikan kesempatan kepada kita untuk membaca tulisan-tulisannya yang tersebar di lima belas penerbitan. Harus diakui juga bahwa kumpulan tulisan bisa menyebabkan penasaran. Coba kalau hal-hal ini dan itu dibicarakan juga, bukankah kita akan mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang tema utama? Jika aktivitas dan peranan para ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Abdur Rauf al-Singkili, dan Nurruddin ar-Raniri dibicarakan, barangkali arti Aceh dalam sejarah "dunia Melayu" akan semakin kelihatan. Kalau Reid juga membicarakan komposisi etnis dan interpenetrasi etnis bukankah pengetahuan kita tentang Aceh semakin mendalam, karena Aceh pun hanyalah kesatuan etnis terbesar saja di daerah yang disebut Aceh itu? Dan seterusnya.

Tetapi sebaliknya, kumpulan tulisan memberikan kita pengetahuan yang relatif utuh tentang hal-hal tertentu tanpa harus mengikatkannya dalam suatu kesatuan besar. Keterpenggalan dalam mengupas masalah ternyata mempunyai fungsi penting juga dalam pengerjaan keilmuan. Maka begitulah, sebuah buku yang sangat berharga bagi mereka yang ingin memperdalam pengetahuan sejarah, bukan saja tentang Sumatera dan Aceh, tetapi bahkan juga Indonesia dan Asia Tenggara, telah dihasilkan. Dengan buku ini Reid kembali membuktikan dirinya sebagai sejarawan yang lebih tertarik pada penemuan fakta yang sahih daripada berspekulasi tentang bagaimana "masa lalu itu semestinya" dipahami.

Judul Buku:  An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra
Penulis:  Anthony Red
Penerbit:  Singapore University Press, 2005
Tebal:  xv + 439 Hal.

Taufik Abdullah Sejarawan, Kompas, 18 Juni 2005