Wednesday, August 4, 2010

Sejarah “Belanda Hitam” di Indonesia

Judul :  Zwarte Hollanders: Afrikaanse Soldaten in Nederlands-Indië
Penulis  :  Ineke van Kessel
Pengantar : Arthur Japin
Penerbit :  KIT Publisher, 2005
Tebal  :  303 halaman

Beschrijving

Het verhaal van de ruim drieduizend Afrikanen die in de 19de eeuw zijn geworven voor het Nederlands-Indisch leger heeft voor het eerst ruimere bekendheid gekregen door de historische roman van Arthur Japin. De zwarte met het witte hart (1997) gaat over de lotgevallen van de twee Ashanti-prinsen Kwasi Boakye en Kwame Poku. De twee prinsjes kwamen naar Nederland als gevolg van het verdrag dat koning Willem I had gesloten met de koning van de Ashanti (West-Afrika) over de levering van recruten voor het Oost-Indisch leger. Over de lotgevallen van de Afrikaanse soldaten die scheepgingen naar Nederlands-Indie en hun Indo-Afrikaanse nakomelingen gaat De Zwarte Hollanders. Afrikaanse soldaten in Nederlands-Indië. De Indonesiërs noemden de Afrikanen en hun nakomelingen Belanda Hitam (Zwarte Hollanders).

Beberapa tahun silam dan mungkin hingga kini di Jakarta, khususnya wilayah Tanah Abang marak dengan orang Afrika yang berdatangan untuk berdagang. Kebanyakan berdagang pakaian tetapi ada pula yang berdagang barang haram alias ilegal, seperti narkoba atau menjadi penipu dengan menjual uang dolar palsu. Namun, ada pula yang mengadu nasib menjadi legiun asing di kesebelasan-kesebelasan profesional Indonesia.

Menurut catatan sejarah ternyata orang Afrika itu sudah lama datang dan menetap di Nusantara. Dibandingkan dengan sekarang, yang berbeda mungkin hanya “niat” kedatangan mereka. Sejarah mengenai orang Afrika di Indonesia itulah yang dibahas dalam buku Zwarte Hollanders: Afrikaanse Soldaten in Nederlands-Indië (Belanda Hitam: Prajurit Afrika di Hindia Belanda) karya Ineke van Kessel seorang sejarawan dan wartawan serta peneliti Afrika-Studiecentrum di Universitas Leiden, Belanda.

Buku ini diawali dengan sejarah orang Afrika sebagai prajurit yang ditelusuri oleh van Kessel kebelakang hingga ke masa Romawi (hal.18). Lalu keberadaan orang Afrika di pasukan Islam (kerajaan di Timur-Tengah, Asia, Afrika Utara dan Eropa Selatan) hingga keberadaan orang Afrika dalam pasukan Eropa (hal.20). Lalu Secara khusus penulis membahas tentang keberadaan ‘Neger-corpsen’ di Hindia Belanda (hal.27).

Antara tahun 1831-1872 Kerajaan Belanda mendatangkan 3085 pria dari Afrika Barat untuk dijadikan prajurit militer di Hindia Belanda. Mereka sebagian besar berasal dari wilayah yang sekarang bernama Ghana dan Burkina Faso. Setelah mengikuti pendidikan militer di Jawa, para prajurit Afrika itu dikirim untuk ekspedisi di Sumatra, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Bali, Timor, dan perang Aceh. Perang Aceh ini merupakan perang terlama dalam sejarah KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger/Tentara Hindia Belanda).

Prajurit Afrika pertama diterjunkan pada 1832 dalam pertempuran di barat daya Sumatra dan detasemen terakhir pasukan Afrika diturunkan dalam Perang Aceh (1873-1893). Dalam kurun waktu tersebut, mereka juga ikut dalam ekspedisi memadamkan “pemberontakan” di Kalimantan, Sulawesi, Bali, kepulauan Maluku dan Timor (hal.139). Menurut Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, hingga 1892 tercatat ada 54 prajurit Afrika dalam pasukan KNIL. Desersi pun terjadi di kalangan prajurit Afrika ini. Desersi pertama terjadi pada 4 April 1838. Ketika itu sembilan prajurit Afrika dari batalyon infanteri I desersi dari garnisun di Batavia. Lalu pada bulan Juli sepuluh prajurit Afrika desersi dari batalyon infanteri X di Surabaya (hal.93-94).

Sebenarnya akar permasalahan desersi adalah masalah komunikasi karena di kalangan prajurit Afrika itu sendiri terdiri dari berbagai suku yang memiliki bahasa berbeda satu sama lain. Sementara dalam pasukan KNIL, bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda atau Melayu Pasar. Akibatnya, penilaian terhadap prajurit Afrika ini menjadi negatif, seperti jorok, sakit-sakitan, lamban dalam mempelajari senjata, malas, brutal, cepat naik darah, sulit diperintah, cenderung memberontak (hal.94). Padahal para prajurit ini tidak suka mabuk, tak kenal lelah serta berani.

Rupanya, para prajurit Afrika ini memperoleh status sama dengan prajurit Eropa. Oleh karena itu mereka harus memakai sepatu selama bertugas. Begitu bangganya mereka, hingga lepas tugas pun sepatu masih tetap dipakai. Tetapi tetap saja karena mereka tak terbiasa bersepatu, masih ada yang lebih suka telanjang kaki berselimutkan lumpur (hal.95).

Di antara para orang Afrika itu terdapat pangeran Ashanti, Pangeran Kwasi Boakye. Kisah pangeran Ashanti ini sempat dijadikan inspirasi roman De zwarte met het witte Hart (1997) oleh Arthur Japin yang juga menulis kata pengantar untuk buku ini. Lagi-lagi dalam roman sejarah ini, sang pangeran yang meskipun lulusan Delft dan meraih gelar ingenieur (insinyur) serta merasa sudah menjadi “Belanda”, tetap mendapatkan perlakuan diskriminatif rasial dari pemerintah Belanda. Dalam salah satu bab roman itu diceritakan pengalaman sang Pangeran ketika bertemu maestro dari Jawa, Syarif Bustaman alias Raden Saleh di Jerman untuk dilukis. Komentar Raden Saleh: “Kulit Anda terlalu gelap untuk dilukis. Tak bagus pencahayaannya!”

Buku ini juga membahas para prajurit Afrika dalam karya sastra Hindia Belanda. Para prajurit Afrika ini rupanya sekedar menjadi figuran, sebagai bagian dekorasi alam tropis yang eksotis. Hanya satu karya sastra (untuk remaja) yang menggunakan prajurit Afrika, Kopral Jan den Prins alias Wamba Ouli Bouli Bourni sebagai tokoh utama. Roman itu adalah De Zwarte Jager (Pemburu Hitam) karya seorang penulis yang menggunakan nama samaran Cheribon dan terbit pada akhir abad ke-19 (hal.201).

Penulis dan wartawan, W. Walraven juga menyebut ‘Afrikaan met vele kinderen’ (Orang Afrika dengan banyak anak) dalam salah satu cerpennya. Demikian halnya E.du Perron dalam Het Land van Herkomst menceritakan percakapan tokoh aku dan kawan sekolahnya, Arthur Hille mengenai ‘Belanda Hitam’ di Perang Aceh (hal.208). Rupanya, tidak hanya itu, jejak para prajurit Afrika ini juga terekam pada wayang golek koleksi Tropenmuseum di Amsterdam. Wayang golek berwarna hitam/gelap dan berseragam KNIL itu tentunya menggambarkan prajurit KNIL asal Afrika.

Seperti halnya para prajurit KNIL lainnya baik pribumi maupun Eropa, para prajurit Afrika ini tinggal bersama nyai di tangsi. Kelak, anak-anak mereka yang laki-laki akan menjadi serdadu KNIL sedangkan yang perempuan akan menjadi ibu rumah tangga. Mereka menikah dengan sesama Indo-Afrika serta juga tinggal di tangsi (hal.213).

Jaminan bahwa anak laki-laki mereka akan menjadi serdadu KNIL dibuktikan Pemerintah Hindia Belanda dengan mendirikan sekolah militer anak-anak pertama di Weltevreden, Batavia pada 1828. Awalnya, sekolah itu khusus ditujukan untuk anak-anak Eropa dan Indo Eropa. Namun, kelak anak-anak pribumi serta Afrika diperbolehkan sekolah di sana. Dalam Staatsblad 1899 tercatat ada 62 anak Afrika dan Ambon serta 356 anak pribumi yang menjadi murid. Selain di Batavia, pada 1844 didirikan sekolah militer anak-anak di Kedong Kebo (Purworejo) yang pada 1855 pindah ke Gombong (hal.217)

Pada 20 Juni 1939, seorang pensiunan letnan KNIL, Doris Land menorehkan tanda tangannya di bawah kalimat terakhir dari tulisannya “Het onstaan van de Afrikaanse kampong te Poerworedjo” (Munculnya Kampung Afrika di Purworejo). Ia lalu mencoret kata ong di belakang kata kampong sehingga menjadi kamp. Mungkin kata kampong dianggapnya terlalu “kampungan” dibandingkan kamp. Dokumen ini ditemukan setelah ia meninggal di Belanda pada 1986 yang sangat berguna untuk mengungkap akar orang Indo-Afrika di Indonesia (hal.221).

Dalam manuskripnya diceritakan para serdadu veteran Afrika itu pada awalnya tinggal satu kampung dengan orang Jawa. Namun, ketika jumlah mereka semakin banyak, Residen daerah Bagelen memutuskan memberikan wilayah khusus bagi para veteran Afrika tersebut. Tujuannya, menghindari “salah paham” di antara orang Jawa dan Afrika itu karena orang Afrika memiliki sifat, bahasa yang jauh berbeda dengan orang Jawa. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda akan mudah memanggil mereka, jika diperlukan untuk kembali berdinas.

Pemerintah Hindia Belanda membeli tanah di desa Pangenjurutengah berdasarkan Gouvernementbesluit 20 Agustus 1859 No.25 khusus untuk serdadu Afrika. Masing-masing mendapat persil seluas 1150 m². Di atas tanah itu mereka boleh membangun dan bercocok tanam.

Menurut Endri Kusruri dalam skripsinya “Orang-orang Afrika di Purworejo: Suatu Analisa Historis Sosiologis Atas Latar Belakang dan Peranan Mereka”, pilihan daerah Purworejo (disebut juga Kedong Kebo) bukanlah suatu kebetulan belaka. Distrik Bagelen merupakan sumber pemberontakan dalam Perang Jawa (1825-1830). Sebuah “koloni” para veteran Afrika di sana merupakan cara ampuh dan strategi jitu untuk menjinakkan pemberontakan yang dikhawatirkan terjadi lagi. Usai Perang Jawa 1830 memang di Purworejo dibangun sebuah tangsi besar. Di sana ditempatkan tiga kompanyi pasukan Afrika yang ironisnya pada 1840 membuat panik Pemerintah Hindia Belanda lantaran pemberontakan bersenjata mereka (hal.222)

Jenderal Oerip Soemohardjo pun mempunyai kesan terhadap para anak Afrika dari Kampung Afrika pada 1910. Ia menuturkan anak-anak Afrika itu berbicara bahasa Belanda dengan baik, tanpa aksen oleh karena itu mereka menghina Oerip yang dianggap berbahasa antah berantah. Maka Oerip dan teman-temannya pada suatu malam “menyerbu” Kampung Afrika itu dan mengejek mereka: “Londo ireng tunteng, irunge mentol, suarane bindeng!””(Belanda Hitam, hidungnya besar karena itu suaranya bindeng). Keruan saja ayah Oerip dipanggil kepala desa. Di sana sudah hadir beberapa orang Afrika yang merasa dihina. Ayah Oerip berjanji akan memberi pelajaran pada anaknya dengan syarat anak-anak Afrika itu juga tak menghina Oerip (hal.224)

Buku ini sangat menarik untuk kajian sejarah, antropologi dan sosiologi serta dapat melengkapi kepingan mozaik sejarah Indonesia, khususnya sejarah orang Indo-Afrika di Indonesia. Serta sekaligus juga menegaskan adanya keragaman asal-usul dalam masyarakat kita. Keragaman yang seharusnya tidak dijadikan alat untuk saling mempertentangkan dan membenci tapi justru untuk bangkit dari “tidur” menghadapi masa depan.

No comments:

Post a Comment