Wednesday, August 4, 2010

Menguak Sisi Artistik Bung Karno


Judul   :  Bung Karno Sang Arsitek:Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965
Penulis  :  Yuke Ardhiati
Penerbit :  Komunitas Bambu,Depok, 2005
Tebal  :  xvii + 368 halaman

Ada banyak sisi dari bung ‘besar’ Soekarno yang telah diteliti dan dituangkan dalam bentuk buku. Terutama tentang kiprahnya dalam politik. Namun, belum ada buku yang memfokuskan pada pengungkapan alam pikiran artistik Soekarno. Bagaimana Soekarno menuangkan gagasan-gagasan awalnya ketika merintis karir sebagai seorang ingenieur lulusan Technische Hogeschool-Bandoeng (ITB) tahun 1926, hingga mencapai puncak kematangan seorang maestro di tahun 60-an dengan proyek-proyek rancangan yang sempat dianggap ambisius? Buku Bung Karno Sang Arsitek:Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965 ini memberikan jawabannya.

Diangkat dari disertasi Yuke Ardhiati di Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia tahun 2004, buku yang terbagi dalam enam bab mengulas sisi artistik Soekarno. Diawali dengan pembahasan teori-teori pendukung (Bab 1),  dialektika budaya multikultur Soekarno yang mengedepankan mentalite multikultur dalam struktur budaya Jawa (Bab 2), unsur-unsur pembentuk proses artistik Soekarno sebagai bagian mentalite seorang perancang (Bab 3), pembabakan karya Soekarno (Bab 4), analisis semiotika karya Soekarno (Bab 5), kajian karya-karya Soekarno secara etik dan estetik dari sudut pandang kekinian (Bab 6).

Ada tiga kota besar yang dinilai memiliki interaksi langsung dengan Soekarno dalam wacana kearsitekturan di Jawa yang mewakili nuansa arsitektural awal abad ke-20. Kota-kota itu adalah Surabaya, kota kelahiran serta tempat belajar Soekarno di HBS (Hogere Burgerschool), Bandung tempat ia kuliah dan Batavia (Jakarta) sebagai kota ‘perjuangan’ setelah  Proklamasi 17 Agustus 1945.

Sebenarnya Soekarno adalah sarjana lulusan teknik sipil. Kemampuan merancang diperolehnya secara otodidak. Ia mendapat bimbingan dari Profesor CP Wolff Schoemaker dalam mata kuliah Menggambar Arsitektur. Ia juga sempat magang sebagai juru gambar di biro arsitek milik sang profesor. Pada masa magang inilah, Soekarno diberikan kesempatan mengembangkan desain paviliun Hotel Preanger yang sedang direnovasi.

Para mahasiswa yang berminat menekuni bidang arsitektur ketika itu harus meneruskan kuliah ke di Delft, Belanda karena Technische Hogeschool-Bandoeng belum memiliki Jurusan Arsitektur.  Bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan ke Belanda, bekerja magang di biro arsitek merupakan cara terbaik menjadi arsitek perancang. Pada periode 1926-1945 ini, selain paviliun Grand Hotel Preanger, karya arsitektur Soekarno dijumpai pada beberapa rumah di sekitar Jl. Gatot Subroto, Jl Palasari, dan Jl. Dewi Sartika, Bandung (hal 147).

Dalam seni kriya, Soekarno berusaha menggali potensi seni kriya rakyat dan ingin mengangkatnya sebagai benda seni yang dapat ditampilkan sebagai kebanggaan nasional. Karyanya seperti rana (penyekat ruangan) yang berdaun tiga. Di bagian tengah terdapat hiasan kulit binatang yang ditatah dan disungging tokoh-tokoh wayang, seperti Betara Kresna, Betara Wisnu dan Arjuna.

Sementara itu kekaguman pada ibundanya yang rajin membatik ketika ia masih kanak-kanak mendorong Soekarno menciptakan rancangan modifikasi motif kain batik lereng, kombinasi warna sogan coklat dengan warna merah (hal 135). Kreativitas Soekarno juga meluas. Seperti ketika berada di Bengkulu, Soekarno membuat desain mebel. Ia berkongsi dengan seorang Tionghoa Muslim bernama Oei Tjeng Hien, membuka perusahaan mebel Sukamerindoe (hal 156)

Sedangkan salah satu rancangan tata ruang kota karya Soekarno pada periode 1945-1950 adalah rancangan skema Kota Palangkaraya yang digagas tahun 1957. Pada periode ini ditemukan juga tugu monumental sebagai bagian tata ruang kota seperti Tugu Proklamasi Jakarta, Tugu Muda Semarang, Tugu Alun-Alun Bunder Malang, Tugu Pahlawan Surabaya serta gagasan Tugu Monumen Nasional Jakarta. Khusus rancangan Tugu Monas yang berbentuk phallus atau obelisk merupakan eksplorasi dari budaya Hindu yang di Candi Sukuh berupa bentuk lingga-yoni yaitu lambang alat reproduksi laki-laki dan perempuan (hal 169-170)

Soekarno pun tidak melewatkan perhatiannya pada kondisi Masjid Al-Haram di Mekkah yang selalu penuh dengan umat Islam setiap musim haji. Tahun 1955 ia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan sebagai seorang arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi agar membuat bangunan untuk melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjid Al-Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf (hal 172-173).

Hal menarik lainnya dari buku ini adalah uraian mode busana Soekarno sejak masa remaja. Setelah lulus dari HBS, ia menetapkan gaya busananya yaitu gaya ‘busana modern’.Ia berkemeja, pantalon dan berdasi. Untuk urusan dasi ini, ia sempat bersitegang dengan kadi (penghulu) yang hendak menikahkannya dengan Oetari, puteri H.O.S Tjokroaminoto pada 1920. Kadi itu menolak menikahkan Soekarno karena dasi yang dikenakannya. Menurut sang kadi, dasi adalah pakaian orang Kristen. Soekarno pun tak mau kalah dan mengatakan bahwa berpakaian rapi merupakan kegemarannya: ‘Dalam hal ini biar Nabi sendiri sekalipun, takkan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi’ (hal 260).

Pilihan warna putih untuk pantalon dan kemeja menjadi pilihan Soekarno pada kurun 1926-1945. Oleh Rudolf Mrázek gaya berpakaian tersebut dimasukkan dalam bagian  Indonesian Dandy (kenecisan Indonesia). Suatu pilihan mode busana pria yang memerlukan ‘keberanian’ untuk mengenakannya pada masa itu. Belum lagi perawatannya.

Setelah mengambil sumpah sebagai presiden tahun 1945, Soekarno mulai mengenakan uniform (seragam). Mode busana berkantong ala militer ini di kalangan masyarakat dikenal dengan ‘Jas model bung Karno’ yang juga menjadi kegemaran masyarakat di periode 1945-1959. Bahkan menurut cerita Soekarno, pakaian ini menjadi pakaian nasional dan dapat dibuat dari kain seprei.

Periode 1959-1965, Soekarno tampil dengan ‘seragam militer’ dilengkapi tanda bintang dan penghargaan. Ketika ditanya apakah Soekarno sewaktu muda dulu bercita-cita menjadi militer sehubungan dengan seragam yang dikenakannya itu. Jawabannya singkat: Tidak!. Menjelang akhir kejayaannya sekitar tahun 1965, Soekarno memerlukan ‘tanda’ pelengkap selain tongkat komando, yaitu kaca mata hitam yang dipakainya baik di luar maupun dalam ruangan (hal  275).

Di masa kepresidenannya, tak ada seorang pun yang tidak melewatkan pidato Soekarno. Semua kalangan berbondong-bondong memenuhi tempat ia berpidato atau paling tidak berada di depan radio menyimak baik-baik kata demi kata yang dilontarkannya. Selain teks-teks pidato bernuansa politik, ditemukan pula ‘terminologi arsitektural’ yang terkandung dalam teks tersebut. Seperti dalam teks pidato pada Sidang Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Jakarta, 11 Juni 1945:’Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran jang sedalam-dalamnya, djiwa, hasrat jang sedalam-dalamnja untuk di atasnja di dirikan Gedung Indonesia Merdeka jang kekal dan abadi’ (hal 283).

Visi ‘merancang’ Soekarno tidak hanya untuk bangunan fisik. Dalam karir politiknya, misalnya Soekarno juga ‘merancang’ konsep Bhinneka Tunggal Ika pada 1953 yang diambil dari kalimat Mpu Tantular, konsep nation building sebagai tingkatan kedua revolusi Indonesia setelah melepaskan belenggu penjajahan hingga konsep tata dunia baru, New Emerging Forces yang melambangkan Indonesia sebagai Banteng bersama Liong Barongsai dari China, Gajah Putih dari Thailand, Karibu dari Filipina, Burung Merak dari Birma, Lembu Nandi dari India dan Ular Hydra dari Vietnam berjuang menghancurkan imperalisme (hal 305).

Dalam kehidupan sosialnya Soekarno juga ‘merancang’ konsep seorang wanita ideal dalam perjuangan Republik Indonesia yang harus mampu berperan sebagai ibu, kekasih dan kawan seperjuangan. Konsep ini dituangkannya dalam buku Sarinah dan otobiografinya (hal 306)

Dilengkapi dengan foto-foto dan gambar-gambar, buku ini cukup menarik untuk kajian sejarah arsitektur dan kriya Indonesia . Di samping itu buku ini juga telah memberikan jejak awal yang semoga bukan jejak di atas pasir yang dapat lenyap tersapu ombak. Namun, sebuah jejak di atas pahatan batu yang dapat terbaca sepanjang zaman.

Hal menarik lainnya dalam buku ini yaitu kepercayaan tentang nilai anak perempuan sebagai penjaga orang tua dan kekayaan yang ditinggalkan. Inilah salah satu faktor penekan aliran orang Bawean ke luar negeri. Sehingga Pulau Bawean sering disebut juga ‘pulau putri’ karena banyaknya penduduk perempuan dibanding laki-laki (hal.98).

Ditinggal suaminya merantau para istri yang tidak terpenuhi kebutuhan batinnya tentu memiliki peluang untuk berselingkuh. Namun, perselingkuhan di Pulau Bawean sangat jarang terjadi. Kalaupun ada, hanya terjadi di daerah pelosok atau pegunungan bukan di daerah perkotaan. Jarangnya perselingkuhan ternyata karena adanya kontrol sosial dalam bentuk ‘gunjingan’ yang masih cukup kuat pengaruhnya. Perempuan yang ketahuan berselingkuh akan dibicarakan dan disampaikan dari mulut ke mulut oleh para tetangganya hingga yang bersangkutan merasa risih (hal.105).

Mereka pun ternyata masih percaya pada mitos pulang kampung yang diketahui secara turun menurun dan cerita teman. Menurut mereka ada aturan tidak tertulis bahwa orang yang merantau harus pulang pada waktu tertentu (biasanya dua tahun). Pulang kampung yang pertama kali bagi mereka dipercayai sebagai upaya ‘buang sial’ dengan membawa gaji untuk membangun rumah, mentraktir teman dan tetangga. Meskipun ada juga yang melanggarnya tetapi biasanya mereka yang melanggar diingatkan oleh teman atau anggota keluarga yang sama-sama merantau.

Meskipun orang Bawean suka merantau, mereka tidak meninggalkan kebiasaan makan ikan laut dengan cara menangkapnya (kegiatan nelayan). Hanya saja kegiatan nelayan ini telah berubah fungsi. Dari mata pencaharian pokok menjadi pengisi waktu senggang (rekreasi) atau sekedar untuk memuaskan rasa rindu makan ikan. Karena itu mereka selalu merawat jala untuk menangkap ikan (hal.170)

Stereotip orang Bawean yang sepintas tampak selalu suka memamerkan kekayaan dan tidak mau kalah juga tidak luput dari pengamatan penulis. Salah seorang informan penulis mengungkapkan stereotip orang Boyan itu. Orang Boyan akan selalu menunjukkan bahwa mereka harus kelihatan sukses walaupun itu hasil berutang atau bekerja habis-habisan. Tidak mengherankan jika perempuan Bawean memakai perhiasan besar-besar. Kemudian jika kita bicara dengan mereka sebaiknya tidak melebihi mereka karena dengan itu kita akan diterima. Sebaliknya, jika kita belum-belum sudah mengalahkan mereka, maka kita akan dicurigai dan ditinggalkan (hal.180).

Secara khusus buku yang dilengkapi dengan tabel, gambar serta foto sebagai ilustrasi ini memang merupakan karya pionir di Indonesia yang mempelajari perantauan di luar negeri dengan menggunakan sudut pandang sosiologi ekonomi. Alasannya, seperti yang ditulis oleh Dr. Rochman Achwan dalam kata pengantarnya, karena hingga kini masih jarang para ahli ilmu sosial Indonesia yang menaruh perhatian pada persoalan ekonomi dengan sudut pandang sosiologi ekonomi.

Sepertinya cukup menarik mengutip pertanyaan dalam kata pengantar yaitu mengapa orang Boyan, orang Bawean  yang merantau ke Malaysia belum berhasil menduduki posisi penting dalam kehidupan ekonomi dan masyarakat di sana tetapi mereka justru memperkokoh ikatan primordialnya?. Jawaban pertanyaan ini tampaknya perlu digali lebih lanjut oleh para ahli ilmu sosial Indonesia lainnya. Di samping tentunya perlu juga meneliti kelompok-kelompok masyarakat lain di Indonesia yang juga memiliki budaya merantau ke negeri jiran. Dengan demikian diharapkan masalah TKI yang bernasib mengenaskan tidak perlu terjadi lagi di masa mendatang.



Periode 1959-1965, Soekarno tampil dengan ‘seragam militer’ dilengkapi tanda bintang dan penghargaan. Ketika ditanya apakah Soekarno sewaktu muda dulu bercita-cita menjadi militer sehubungan dengan seragam yang dikenakannya itu. Jawabannya singkat: Tidak!. Menjelang akhir kejayaannya sekitar tahun 1965, Soekarno memerlukan ‘tanda’ pelengkap selain tongkat komando, yaitu kaca mata hitam yang dipakainya baik di luar maupun dalam ruangan (hal  275)
Di masa kepresidenannya, tak ada seorang pun yang tidak melewatkan pidato Soekarno. Semua kalangan berbondong-bondong memenuhi tempat ia berpidato atau paling tidak berada di depan radio menyimak baik-baik kata demi kata yang dilontarkannya. Selain teks-teks pidato bernuansa politik, ditemukan pula ‘terminologi arsitektural’ yang terkandung dalam teks tersebut. Seperti dalam teks pidato pada Sidang Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Jakarta, 11 Juni 1945:’Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran jang sedalam-dalamnya, djiwa, hasrat jang sedalam-dalamnja untuk di atasnja di dirikan Gedung Indonesia Merdeka jang kekal dan abadi’ (hal 283).

Visi ‘merancang’ Soekarno tidak hanya untuk bangunan fisik. Dalam karir politiknya, misalnya Soekarno juga ‘merancang’ konsep Bhinneka Tunggal Ika pada 1953 yang diambil dari kalimat Mpu Tantular, konsep nation building sebagai tingkatan kedua revolusi Indonesia setelah melepaskan belenggu penjajahan hingga konsep tata dunia baru, New Emerging Forces yang melambangkan Indonesia sebagai Banteng bersama Liong Barongsai dari China, Gajah Putih dari Thailand, Karibu dari Filipina, Burung Merak dari Birma, Lembu Nandi dari India dan Ular Hydra dari Vietnam berjuang menghancurkan imperalisme (hal 305).

Dalam kehidupan sosialnya Soekarno juga ‘merancang’ konsep seorang wanita ideal dalam perjuangan Republik Indonesia yang harus mampu berperan sebagai ibu, kekasih dan kawan seperjuangan. Konsep ini dituangkannya dalam buku Sarinah dan otobiografinya (hal 306)

Dilengkapi dengan foto-foto dan gambar-gambar, buku ini cukup menarik untuk kajian sejarah arsitektur dan kriya Indonesia . Di samping itu buku ini juga telah memberikan jejak awal yang semoga bukan jejak di atas pasir yang dapat lenyap tersapu ombak. Namun, sebuah jejak di atas pahatan batu yang dapat terbaca sepanjang zaman.

No comments:

Post a Comment