Penulis : William Cummings
Penerbit : Honolulu University of Hawaii Press, 2002
Tebal : xiii + 257 halaman
Meninjau Kembali Sejarah Makassar Abad XVI-XVII
MELALUI buku yang dianugerahi Harry J Benda Award oleh Association of Southeast Asian Studies sebagai buku terbaik tahun 2004, filolog/sejarawan William Cummings mengajak kita mengunjungi kembali masa lalu Makassar secara hati- hati dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik penciptaan sejarah itu sendiri.
BUKU ini merupakan sebuah studi yang amat menarik mengenai proses-proses transisi yang terjadi ketika tradisi budaya lisan beralih menjadi tradisi tulisan di Makassar, Sulawesi Selatan, pada abad ke-16 dan ke-17. Cummings mencoba menggali kekuatan-kekuatan penopang transformasi sosial dan budaya yang terjadi pada masa modern awal di kawasan ini, yang antara lain ditandai oleh adanya interaksi antara penduduk asli dengan kemunculan kekuasaan kolonial dan perdagangan Eropa.
Berbeda dengan sejarawan lainnya, sang penulis memilih untuk mengungkapkan sejarah Makassar lewat kacamata penduduk asli ketimbang representasi sumber-sumber Eropa yang selama ini digunakan. Berbekal kemampuan linguistik atas bahasa Makassar serta aksesnya terhadap naskah-naskah kuno yang diburunya dari tiga benua (halaman 52), secara umum ia berargumentasi bahwa kemunculan tradisi penulisan sejarah lokal telah membuat cerita-cerita Makassar menjadi lebih mengenai diri mereka sendiri, tentang siapa mereka, apa yang menjadikan mereka bersatu dan apa yang membuat mereka berbeda dengan orang lainnya.
Dengan kreatif, penulisnya berkonsultasi dengan pelbagai sumber naratif yang diperolehnya, baik itu naskah Makassar kontemporer, hasil transkrip sejarah lisan, maupun sumber-sumber kolonial/Eropa lainnya, yang semuanya berhubungan dengan kemunculan kerajaan Gowa-Talloq (Makassar) selama abad ke-16 dan ke-17. Di sinilah sesungguhnya letak menariknya karya ini, ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada praktik penciptaan sejarah itu sendiri ketimbang menjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional selama ini.
Menurut dia, naskah-naskah tertulis yang tercipta itu telah menjadi kekuatan pendorong bagi orang Makassar untuk berupaya memahami masa lalu mereka. Ini jelas sebuah indikasi evolusi dalam alam kesadaran sejarah orang Makassar masa itu. Lebih jauh lagi, naskah sejarah tertulis yang dihasilkan itu berperan sebagai agen signifikan untuk apa yang akan terjadi di masa sesudahnya, suatu perjalanan sejarah Makassar yang arahnya mereka pilih sendiri. Pendapat yang terdengar begitu mengesankan itu dipersembahkan Cummings lewat dua bagian diskusi yang dituangkannya di dalam enam bab buku ini.
DALAM bab pendahuluan, Cummings membuat sejumlah klaim historiografi, mengenalkan formasi-formasi intelektual, agama, budaya, dan sosial yang direpresentasikan oleh naskah tertulis sebagai kekuatan-kekuatan dalam sejarah. Kekuatan tersebut, menurut Cummings, bersatu dalam bentuk catatan tertulis yang muncul kemudian. Yang menarik, aspek-aspek penting budaya Makassar itu umumnya tidak dikenali baik oleh orang Eropa di masa awal kontak mereka maupun oleh kebanyakan sejarawan yang menekuni topik Asia Tenggara selama ini!
Bagian pertama dari diskusi buku ini berjudul "History Making" (Sejarah yang tercipta) dan terbagi atas tiga bab. Bahasan itu dibuka dengan kesimpulan atas perdebatan mutakhir mengenai pertanyaan bagaimana cara teks/naskah sejarah Indonesia itu sebaiknya dievaluasi. Pengantar pendek ini menjelaskan mengenai analisis naskah dalam historiografi Indonesia umumnya dan naskah Makassar di masa modern awal khususnya.
Pembahasan lalu diteruskan dengan mengungkapkan garis cerita utama dan episode dalam cerita naratif masa modern awal Makassar, yakni masa penting ketika persekutuan antara Raja Gowa dan Talloq (dikenal sebagai Makassar atau Gowa) mengonsolidasikan diri dalam menghadapi rivalitas kekuatan tetangga-tetangganya (halaman 34). Penelusuran itu difokuskan secara eksklusif pada Gowa, yang pada pertengahan abad ke-16 hingga akhir abad ke-17 adalah kerajaan Makassar terpenting dan paling berkuasa, baik dalam konteks ekonomi maupun militer.
Bagian tersebut menggambarkan manuskrip dan cerita-cerita mengenai asal mula orang Makassar hingga munculnya budaya tulisan pada abad ke-16 sebagai upaya melukiskan masa lalu. Di antara bentuk-bentuk budaya yang dimaksud di sini termasuk kronik kerajaan, silsilah keturunan, dan kumpulan adat istiadat dan hukum, yang satu sama lain berhubungan erat, menciptakan suatu jaringan penyimpan suara-suara kesejarahan asli Makassar nan kaya.
Selanjutnya, penulis mendiskusikan latar belakang sistem penulisan dan jender dalam literatur Makassar. Kesakralan teks atau naskah tertulis Makassar mendapat tekanan yang kuat di sini. Selain mendiskusikan dengan panjang lebar evolusi naskah tertulis masa itu, tak lupa dibuatkan juga skema rute perubahan dan transformasi dari sejarah lisan ke sejarah tertulis. Pada periode transisi inilah sumber-sumber tertulis menjadi ciptaan-ciptaan dengan torehan kesakralan dan kekuatan yang berasal dari situs-situs maupun obyek sejarah yang telah ada sebelumnya. Kekuatan-kekuatan inilah yang oleh penulisnya dipercaya telah membuat naskah-naskah tertulis Makassar itu berperan sebagai agen penting bagi perubahan masyarakat.
Diskusi selanjutnya diletakkan pada perhatian atas kesakralan naskah dan hubungan antara sejarah lisan, naskah tertulis, dan pandangan orang Makassar tentang masa lalunya. Dengan meyakinkan ia memberikan beberapa poin fundamental yang jelas disiapkan bagi argumen selanjutnya, yaitu mendeskripsikan mengenai pentingnya obyek, tempat, dan fokus kuat dari cerita-cerita asli sebagai gambaran karakteristik tradisi lisan Makassar.
Masa lalu dan masa baru tampaknya telah dihubungkan dengan suatu narasi yang halus dan mengalir. Setiap raja Makassar, misalnya, telah menciptakan episode yang terpisah-pisah, bertujuan agar itu dapat diulas kembali ataupun ditambahkan sebagai bagian dari cerita dinasti mereka keseluruhan. Komposisi yang ditambahkan itu kadang diikuti pula dengan upaya melucuti tokoh-tokoh dalam sejarah Makassar yang dianggap kurang relevan atau tidak sesuai dengan genre baru tersebut.
Tradisi penulisan seperti ini jelas telah mentransformasikan persepsi orang Makassar atas masa lalu mereka (halaman 58), lebih-lebih jika melihat kekontrasan antara tradisi lisan dan tradisi tulisan lewat munculnya sejarah tertulis. Penulis yakin bahwa tradisi lisan Makassar telah diturunkan dari generasi ke generasi dengan sedikit perubahan, tetapi telah dimungkinkan upaya penghilangan konsepsi masa lalu sebelum munculnya sejarah-sejarah yang tertulis di abad ke-16 (halaman 63).
Argumen selanjutnya menyatakan bahwa tradisi Makassar memfokuskan secara eksklusif pada asal mula mitos tumanurung (keturunan berdarah putih), kalompoang (benda suci), obyek sakral, maupun hubungannya dengan Gowa (halaman 89). Untuk mendukung argumennya itu, penulis membahas dua bentuk tradisi lisan, yakni yang berhasil diselamatkan antropolog Belanda, Hendrik Chabot, pada awal abad ke-20, dan yang berdasarkan pada manuskrip lokal, yang mungkin sekali berasal dari abad ke-19 atau awal abad ke-20.
Perbandingan antara fitur utama tradisi lisan dan sejarah tertulis itu terutama difokuskan pada penguasa perorangan, menjadi perhatian penulis selanjutnya. Kesimpulannya, dalam sejarah-sejarah tertulis dari masa modern awal Makassar itu, penguasa perorangan telah menggantikan fungsi kalompoang yang sakral, menempatkannya sebagai "jangkar konseptual" atau alat demi mengerti dan mengingat masa lalu (halaman 74).
Bagian kedua dari buku ini, "Making History" (Menciptakan Sejarah), meletakkan perhatian pada keadaan dan konsekuensi dari perubahan dengan memperlihatkan bahwa praktik penulisan masa lalu adalah alat baru yang digunakan untuk memanipulasi sejarah. Yang terpenting dari konsekuensi ini adalah dapat diletakkannya Kerajaan Gowa sebagai pusat dari sistem sosial dan politik Makassar. Lewat silsilah tertulis yang dibuat, kedudukan penguasa Gowa juga bisa ditinggikan, diletakkan di atas semua penguasa lokal lain di sekitarnya dan dengan ukuran standar yang absah.
Upaya itu sangat vital demi menciptakan orde sosial bertingkat yang menjadi kian penting di masa kemudian, tercipta lewat proses kodifikasi konsep "darah putih" yang lalu digunakan untuk membedakan kelas bangsawan dengan orang biasa. Hal ini rupanya telah mengakomodasi munculnya perasaan-perasaan baru orang Makassar mengenai masa lalu mereka, yakni lewat naskah yang kini dimilikinya. Proses ini oleh penulis disebut centerization (pemusatan), di mana berbagai model naskah tertulis mengalir, turun dari Gowa, dan kemudian diadaptasi oleh di daerah-daerah luarannya. Sementara itu, simbol-simbol kerajaan dan pusaka dari luar memasuki Gowa sehingga memungkinkan penguasa Gowa menciptakan modal sosial dan budaya yang berpengaruh dengan cara mereka.
Pertanyaan selanjutnya yang dilontarkan penulis adalah hierarkisasi sosial yang memfokuskan pada peran geneologi/silsilah dalam memperkaya sistem ranking Makassar yang kompleks (halaman 104). Peran sosial baru tulisan dan silsilah masa lalu itu menjadi alasan untuk upaya merekamnya lebih dalam, lebih detail, dan lebih fokus, baik pada segi kategori maupun definisi (halaman 115). Gowa kemudian muncul sebagai contoh politik dan moral yang diikuti oleh kekuasaan politik di sekitarnya sehingga pemahaman orang Makassar mengenai lanskap dunia mereka jelas berubah, dari komunitas yang otonom menjadi wilayah pusat maupun daerah pinggiran (halaman 128).
Analisis selanjutnya adalah mengenai bagaimana Kerajaan Gowa dan naskah-naskahnya itu menjelma menjadi "babon naratif" (narrative master). Pengislaman Makassar awal abad ke-17 membuat proses ini semakin penting, dilakukan lewat kodifikasi budaya Makassar yang tertulis, di mana segala terminologi rampung didefinisikan dalam konteks Kerajaan Gowa. Muncullah Gowa sebagai kiblat baru bagi penguasa sekitarnya, suatu posisi yang dinikmati hingga mereka dihabisi oleh kekuasaan kolonialis Belanda pada tahun 1669.
Sebelum tiba pada kesimpulan, penulis sekali lagi memperlihatkan proses kodifikasi budaya dan tradisi yang dibendakan itu. Benda sejarah itu kini tidak lagi tersimpan pada kelompok tetua yang dihormati seperti sebelumnya (halaman 170). Dan naskah tertulis telah memungkinkan konsep-konsep budaya didefinisikan, termasuk kumpulan ajaran moral, naskah Islam, hukum tertulis, dogma, kepercayaan, norma, maupun doktrin (halaman 194).
SEBAGAI hasil dari upaya telaten mengidentifikasi pengaruh-pengaruh sosial, budaya, dan politik yang menandai masa modern awal Makassar seperti yang tampak di atas, penulis berkesimpulan bahwa praktik penulisan naskah telah mengubah tidak saja budaya orang Makassar, tetapi juga struktur sosial maupun pendistribusian kekuasaan, yang akan berpengaruh pada masa-masa sesudahnya.
Hal-hal terpenting dari buku ini kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, tampak jelas adanya kontrol dan penguasaan kelas aristokrasi kerajaan dalam penciptaan literatur Makassar. Naskah tertulis yang dibuat itu kemudian kedudukannya dapat disejajarkan dengan regalia (pusaka kerajaan) dan obyek-obyek ritual lainnya. Mereka sama-sama memiliki kekuatan penuh sebagai obyek magis, kekuatan yang muncul karena menyuguhkan kata-kata yang merefleksikan kesakralan nenek moyang. Naskah tertulis yang dimaksud terutama membicarakan pepatah (rapang) dan hukum (parakara). Dengan demikian, hukum sosial makin jelas terdefinisikan, dan praktik tradisi semakin jelas tampak dalam dimensi budaya baru orang Makassar.
Kedua, dengan merekam informasi silsilah yang kompleks dalam aristokrasi tinggi, naskah tertulis telah menolong Kerajaan Gowa-Talloq untuk bertransformasi dari masyarakat bertingkat ke masyarakat berstratifikasi. Kerajaan Gowa-Talloq, yakni tungku dari tradisi penulisan Makassar, memanipulasi praktik penulisan sejarah sebagai titik pusat ritual dan senjata ideologi pengikat bagi bawahan politiknya maupun untuk memperluas wilayah kerajaannya.
Adalah tidak berlebihan mengatakan bahwa karya yang inovatif ini merupakan satu dari sedikit karya sejarah Indonesia mutakhir yang telah menyulut perdebatan terbaru di kalangan ilmuwan pelbagai disiplin ilmu, dalam cara kita melihat, menginterpretasikan, dan memahami kompleksitas sejarah Asia Tenggara pada abad ke-16 dan ke-17, di mana sejarah Indonesia termasuk di dalamnya.
Bagi sebagian antropolog seperti David Bulbeck, pengetahuan Cummings tentang arkeologi Sulawesi Selatan dikritik sebagai "medioker" (kurang matang). Bahasan mengenai keterpencilan wilayah Gowa selama abad ke-14 dan ke-15 (halaman 23), misalnya, kebenarannya dianggap meragukan. Dipertanyakan pula mengapa penulis telah mengabaikan pendapat sarjana Perancis, Christian Pelras, yang telah dikenal otoritasnya akan topik arkeologi di Sulawesi Selatan.
Usaha penulis menempatkan pentingnya naskah Makassar juga dianggap terlalu ambisius. Menurut Bulbeck, kebanyakan sarjana pemerhati tradisi lisan akan setuju dengan pendapatnya bahwa orang Makassar tidaklah terlalu berbeda dengan masyarakat lain dalam cara mereka memahami masa lalu, yakni menggunakan perspektif masa kini ketimbang abad tersebut.
Kritik seputar naskah itu juga termasuk yang dipertanyakan sejarawan senior semisal Heather Sutherland. Pertama, konsep mengenai siapa orang Makassar yang dimaksud penulis dalam buku ini dianggapnya masih kabur. Kedua, menurut Sutherland akan menjadi sangat membantu untuk mengetahui lebih jauh sejumlah penulisan Makassar lainnya, soal pendistribusian genre, pembentukan, maupun penggunaannya. Pertanyaan lain yang tersisa dari buku ini adalah persoalan seputar siapa yang memproduksi naskah, siapa pembacanya, dan mengapa.
Di atas semua kritik tajam yang ditujukan terhadap persoalan dan perlakuan spesial penulis untuk naskahnya, sebenarnya debat lebih hebat dari buku ini ada pada soal kedua, yakni mengenai usaha Cummings yang secara tidak langsung dianggap "mendongkel" relevansi aspek ekonomi sebagai kekuatan yang telah menggerakkan perubahan di Asia Tenggara sebagai konsensus teori koheren selama ini.
Seperti terefleksikan dalam buku Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, 2 vols (1993), kekuatan di balik transformasi politik yang terjadi di Asia Tenggara pada abad ini adalah faktor perdagangan/ekonomi. Bagi Cummings, menganggap faktor tersebut sebagai satu-satunya aspek adalah pandangan yang cuma satu sisi, terlalu bersifat materialistik dan menggampangkan kompleksitas kehidupan masyarakat bernilai fundamental budaya (halaman 35-6, 196-8). Sarannya, kita seyogianya mempertimbangkan juga bagaimana bila sebuah tulisan kesejarahan lokal itu tidak diinterpretasikan sebagai sumber semata, namun lebih sebagai obyek dan praktik pembentuk dunia sekitarnya (halaman 197).
Bagi Sutherland, lagi-lagi relevansi aspek kekuatan ekonomi dari Reid itu tidak semestinya "disalahkan" begitu saja meskipun kekuatan intelektual dan budaya Makassar seperti yang dipercaya penulis buku ini harus juga dipertimbangkan dengan serius. Melakukan suatu studi komparatif, menurut dia, akan dapat sangat bermanfaat. Namun apabila kita ingin memercayai bahwa tradisi tulisan dan sejarah tertulis sebagai kekuatan formatif dalam masyarakat Makassar setara dengan unsur perdagangan, mestinya kita juga harus mempertanyakan mengapa budaya tulis muncul waktu itu dan dari mana itu berasal?
MESKIPUN kita tak perlu menyetujui keseluruhan ulasan penulis maupun perdebatan-perdebatan yang kemudian menyertainya, hasil riset sistematis ini demikian berharga terutama untuk beberapa aspek atau dimensinya. Dengan keruntutan bahasanya, buku ini jelas sangat imajinatif. Diperkaya dengan beberapa foto dan diagram, serta dimuati serangkaian karya bibliografi lengkap di samping indeks komprehensif yang menyertainya, prestasi kesejarahan yang telah dicapai Cummings lewat buku ini sayang diabaikan, terutama bagi yang memerlukan bahan rujukan atau karya pembanding periode ini.
Khusus bagi kita, simpati Cummings untuk membiarkan suara-suara asli Indonesia itu terdengar lewat medium praktik penulisan sejarah asli jelas telah kian menambah deretan Indonesianis asing yang mulai mempertimbangkan cara pandang yang diambil dari sudut pelaku sejarah itu sendiri. Sejarawan Helen Creese, umpamanya, yang publikasi terbarunya Women of the Kakawin World: Marriage and Sexuality in the Indic Courts of Java and Bali (2004), mungkin dapat dimasukkan dalam kategori cara pandang Cummings, melihat karya ini sebagai pembuka jalan bagi upaya pemahaman sejarah Indonesia yang lebih akurat.
Buku ini jelas telah membuat pemahaman kita akan sejarah di daerah berbahasa Makassar, Sulawesi Selatan, makin mendalam dan bernuansa. Penulisnya harus dihargai untuk upayanya melebarkan horizon penelitian berspektrum luas, walau dengan pelbagai kendala bahasa dan kelangkaan/kesulitan bahannya. Lebih jauh lagi, proses berat menggunakan bahasa kuno yang tak selalu dapat dimengerti, karakter tulisan Makassar yang sering sulit dikenali, bahkan isu serius yang dibedahnya, benar-benar membuat karyanya hadir tidak hanya melulu sebagai ungkapan rekaman masa lalu kita yang kompleks dan sulit, tetapi juga suatu riset langka yang telah membiarkan bahan-bahan sejarah masa itu berbicara dan menyuarakan dirinya sendiri, dengan leluasa, dan apa adanya. Cara inilah mungkin yang paling tepat untuk mengerti sebuah sejarah untuk alasan-alasan yang lebih masuk akal.
Kita semakin dapat mengenali faktor-faktor perubah masa awal modern di Asia Tenggara yang akan berdampak penting dalam prospek penulisan sejarah lokal lain di Indonesia, terutama ketika kita mulai meninjau kembali naskah-naskah tertulis lainnya di Tanah Air.
Lebih jauh lagi, mungkin juga akan lebih bijaksana menganggap karya Cummings ini lebih berperan untuk "melengkapi" ketimbang mencoba "memereteli" kekayaan dan keabsahan mosaik hasil penglihatan Reid terhadap sejarah Asia Tenggara sebelumnya. Paradigma mengenai perlunya mempertimbangkan praktik penulisan sejarah yang telah memengaruhi sejarah selanjutnya itu haruslah diletakkan di tempat terhormat dalam perdebatan berkelanjutan dan pencarian upaya menuliskan sejarah Indonesia/Asia Tenggara yang lebih akurat dan komprehensif.
Agaknya tidak berlebihan ketika sejarawan Paul Kratoska mengomentari buku ini sebagai "monograf yang menginsyafkan kita bahwa sejarah bukanlah hanya persoalan sejarawan kontemporer belaka, namun juga telah menjadi perhatian dari sekelompok elite sosial ’berdarah putih’ dari Kerajaan Gowa Makassar dengan budaya khasnya, dari beberapa abad silam, yang pada mulanya dianggap terisolasi". Perkataan ini dilontarkan ketika buku Cummings diumumkan mendapatkan penghargaan buku pilihan.
Buku ini jelas memiliki tempat yang khusus di dalam penulisan sejarah berdasarkan fakta dan representasi historiografi sebagai interpretasi yang tidak mutlak. Penulis telah menunjukkan adanya kekuatan pada naskah tertulis dalam merekonstruksi visi sejarah Makassar bagi perkembangan politik, sosial, dan budayanya (yakni unsur-unsur signifikan yang telah terabaikan). Tak dapat disangkal, kontribusi utama buku ini terletak pada temuannya atas faktor lain di luar domain politik dan ekonomi dari historiografi konvensional. Hal itu jelas akan berdampak luas dalam perdebatan hangat mengenai historiografi Indonesia.
Iskandar P Nugraha Mengajar di Department of Indonesian Studies, University of New South Wales, Sydney, Australia
Kompas, 21 Mei 2005
bagaimana cara mendapatkan bukunya Pak?
ReplyDelete