Thursday, August 5, 2010

Petualangan Para Desertir di Borneo

Judul   :  Desersi: Menembus Rimba Raya Kalimantan
Judul Asli  :  Borneo van Zuid naar Noord
Penulis  :  M.T.H. Perelaer
Penerjemah : Helius Sjamsuddin
Penerbit :  Kepustakaan Populer Gramedia, 2006
Tebal  : xiv + 286 halaman

Desersi. Istilah dalam dunia militer yang berarti lari meninggalkan dinas ketentaraan atau membelot kepada musuh dalam pertempuran. Sedangkan orang yang melakukannya disebut desertir. Memang itu tindakan pengecut tapi bukan tanpa alasan mereka desersi.

Banyak kisah mengenai para desertir ini. Meskipun mereka dibayangi hukuman berat, tapi toh mereka tetap melakukannya. Hal yang lumrah bila desersi terjadi dalam pasukan legiun asing karena mereka dibayar. Semakin besar bayarannya, semakin loyallah mereka. Jadi jangan tanya soal nasionalisme mereka di sini. Namun, bila terjadi dalam pasukan reguler, itu yang harus dipertanyakan.

Desersi terjadi sepanjang masa seperti kisah “fiksi” novel Desersi: Menembus Rimba Raya Kalimantan ini yang berlatarbelakang akhir tahun 1800-an dan Perang Banjarmasin. Novel yang disebut sebagai etnografis roman ini ditulis oleh M.T.H. Perelaer yang juga menulis Baboe Dalima, sebuah opiumroman. Latar belakang M.T.H. Perelaer di dinas ketentaraan memudahkannya menggambarkan serba-serbi kehidupan dunia tangsi ini.

Adalah empat serdadu bayaran Belanda yang desersi dari benteng Kuala Kapuas (sekarang Kalimantan Tengah) dan berpetualang menembus rimba raya pedalaman Kalimantan dari selatan (Kuala Kapuas) ke utara (Sarawak). Keempat serdadu bayaran itu adalah Schlickeisen dan Wienersdorf orang Swiss, La Cueille, orang Belgia dan Yohannes, keturunan Hindia kelahiran Padang (hal.2).

Alasan mereka desersi pun dituturkan jelas karena merasa ditipu mentah-mentah oleh petugas rekrutmen tentara Belanda. Ketika mereka merasa sebagai korban penipuan licik, maka kontrak yang ada dianggap tak lagi mengikat (hal.4). Petualangan selama 70  hari para desertir pun dimulai.

Pengejaran para desertir dipimpin oleh seorang kolonel, komandan benteng Kuala Kapuas yang meminta bantuan Temenggung Nikodemus Jaya Negara. Upaya pengejaran dan petualangan para desertir menembus rimba raya Kalimantan yang dibantu penduduk pribumi pimpinan Harimau Bukit ini digambarkan Paralaer dengan penuh daya pikat.

Misalnya cara menghindari serangan nyamuk-nyamuk hutan ganas di daerah berawa Kalimantan Selatan. Berbagai cara telah dipakai (salah satunya dengan membuat api besar) tapi hasilnya sia-sia. Hingga akhirnya dicoba “jaket nyamuk”. “jaket nyamuk” maksudnya mabuk berat. Pada saat mabuk berat itulah, orang menjadi kebal terhadap dengungan dan sengatan nyamuk. Inilah cikal-bakal kecanduan minum di kalangan serdadu kala itu (hal.36). Perihal nyamuk ini semakin menarik dengan diceritakannya legenda nyamuk yang menurut cerita, nyamuk-nyamuk itu merupakan hadiah perkawinan untuk putra Sultan Kuning, Jata atau Buaya – Raja Batang Murung dengan putri Anding Maling Guna, Raja Buaya Sungai Kapuas (hal.76).

Sementar itu orang Dayak percaya bahwa berburu buaya adalah hal tabu. Alasannya, Jata, saudara Mahatara, dewa orang Dayak adalah bapak semua buaya. Sehingga walaupun dibayar banyak, orang Dayak tak mau membunuh binatang ini kecuali karena balas dendam akibat teman atau keluarganya ditelan (hal.53).  Para desertir ini lah yang akhirnya memburu dan menghabisi buaya.

Untuk memudahkan pelarian, para desertir ini menyamar menjadi penduduk pribumi dengan jalan melumuri tubuh mereka dengan semacam tumbuh-tumbuhan dan mengenakan ewah, cawat dari kulit kayu yang dililitkan di pinggang dan ikat kepala. Sialnya, salah satu dari mereka yaitu La Cueille karena tak mampu menyembunyikan ciri fisiknya terpaksa menjadi orang Arab lengkap dengan tasbih serta ucapan beberapa kata Arab yang harus dihapalnya (hal.40). Penyamaran mereka cukup berhasil hingga mampu ‘memperdaya’ gadis asli Dayak yang akhirnya diperistri oleh salah seorang desertir yaitu Wienersdorf.

Antropometris ala Eropa juga muncul dalam novel ini. Di situ disebutkan ciri kaki orang Dayak yang bengkok. Penyebabnya adalah kebiasaan posisi mereka yang terpaksa dilakukan ketika mereka duduk bersampan. Karena berkaki bengkok itulah jika mereka berjalan seperti sempoyongan. Maka penduduk asli Kalimantan diberi nama Dayak. Dayak merupakan singkatan dari dadayak yang berarti berjalan sempoyongan (hal.41)

Desersi tentu bukan berpiknik sehingga bekal makanan yang dibawa sangat terbatas. Namun, itu bukan masalah para desertir diperkenalkan kuliner hutan yang ‘lezat’. Mulai dari rusa, celeng, tambilok (ulat putih), lindung, kujang (semacam umbi-umbian) hingga sop daging kera (hal.212).

Dalam novel ini juga diceritakan asal usul nama Kalimantan melalui tokoh Yohannes. Kalimantan adalah sebutan penduduk pribumi untuk “Borneo”, dan sebutan ini diucapkan oleh orang Eropa yang berasal dari kata “Brunai”, mengacu pada sebagian kecil wilayah pulau itu di pantai baratlaut. Ada lagi usulan asal-usul istilah “Kalimantan” yang berasal dari  “Kalimantawa”. Yaitu sebutan orang Dayak untuk buah durian dan pulau Kalimantan dianggap mirip durian. Usulan ini ditampik karena “Kalimantan” lebih dekat dengan kata “Kaliintan” (hal.76).

Para desertir mengenal istilah “jaga kepalamu!” yang berarti selalu waspada dari para pengayau yang mengincar kepala orang asing (hal.37) . Tengkorak ini sangat berharga karena dapat dijadikan bukti keberanian, barang dagangan serta hadiah perkawinan. Awalnya memang sebagai hadiah perkawinan, sebagai bukti keberanian dan kesanggupan pengantin laki-laki yang kelak harus melindungi istri dan anak-anaknya. Namun, lambat laun adat ini merosot. Tengkorak menjadi barang mewah dan barang dagangan gelap (hal 83)

Kritik Paralaer terhadap pemerintah kolonial pun muncul dalam novel ini. Diawali dengan menjelaskan alasan mengapa penduduk pribuminya tak giat bekerja. Ia menulis: “Negeri ini terlalu kaya, ia menghasilkan kekayaan tanpa perlu bekerja. Orang hanya cukup membungkuk untuk memungut hasilnya. Ini membuat mereka malas; dan kemalasan, kamu tahu, adalah akar semua kejahatan.”. Ia lalu melanjutkan: “Selama bertahun-tahun Kalimantan dijajah Belanda, dan dengan hati penuh dengki Belanda mencoba menjauhkan bangsa-bangsa lain yang mendekati pulau ini; mereka tidak berbuat apapun untuk mendorong penduduknya untuk giat bekerja.” (hal.104)

Para desertir itu juga sempat menemukan batu bara (hal.126), berburu emas dan bijih besi (hal.190), menyaksikan sistem pengadilan adat setempat yang menggunakan damar panas dalam menentukan siapa yang bersalah. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat Dayak sudah sadar hukum sejak lama (hal.176). Selain itu para desertir berkesempatan melakukan barter dengan orang-orang Ot yang tak menolak jika menikmati daging manusia tanpa lombok dan garam (hal.263). Orang-orang Ot ini rupanya dikenal memiliki ekor (262). Masalah “ekor” ini kelak terbantahkan. Hal itu dijelaskan oleh salah seorang nara sumber Dr. Yekti Maunati dalam disertasinya Contesting Dayak Identity (2001) yang telah diterjemahkan dalam Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan (2004). Sebenarnya ekor tersebut adalah bagian dari cawat kulit kayu yang digunakan oleh kaum laki-laki Dayak.

Uraian detil Perelaer tentang adat istiadat Dayak ditunjang karena semasa bertugas sebagai tentara ia pernah diangkat menjadi Civiel Gezaghebber (pejabat sipil) di Groote en Kleine Dajak (sekarang Kalimantan Tengah). Pengetahuan yang luas itu juga dituangkannya dalam Etnograpische Beschrijving der Dajaks (1870). Sebagai narasumber utama, ia mendapat limpahan data dari sahabatnya, Temenggung Nikodemus Jaya Negara yang ditampilkan dalam novel ini. Ia juga pernah menjadi komandan benteng Kuala Kapuas dengan pangkat letnan satu. Di tempat ini ia bertugas dari 1860-1864. Bisa jadi tokoh kolonel merupakan personifikasi dirinya. Setelah berdinas di berbagai tempat termasuk ikut perang Aceh, Perelaer pensiun pada 1879 dengan pangkat mayor. Ia meninggal pada 1901 di Den Haag.

Novel ini dilengkapi juga dengan daftar istilah bahasa Dayak dan pengantar dari penerjemah yang memudahkan kita memahami isi novel ini. Secara keseluruhan, buku ini cukup menarik bagi pecinta kisah-kisah petualangan ala Karl May. Sesekali pandangan kulit putih dibenturkan dengan pandangan pribumi. Ada pula sedikit sentilan mengenai kemodernan dan keluguan, namun dibanding pribumi, tetap si kulit putih yang lebih diunggulkan. Lalu bagaimana akhir petualangan serta nasib keempat desertir itu, silakan Anda menyimak novel ini.

Sumber: Kompas, 3 Desember 2006

No comments:

Post a Comment