Judul : Ayo Ke Tanah Sabrang, Transmigrasi di Indonesia
Judul Asli : La terre d’en face – La transmigration en Indonésie
Penulis : Patrice Levang
Penerjemah : Sri Ambar Wahyuni Prayoga
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Institut de recherche pour le développement, Forum Jakarta Paris, 2003
Tebal : xxvi + 362 halaman
Bagaimana sebenarnya akar transmigrasi di Indonesia? Apakah itu murni ide pemerintah Indonesia ? Bagaimana dampak transmigrasi bagi rakyat Indonesia, terutama peduduk setempat yang dijadikan lahan transmigrasi? Apakah transmigrasi selalu berhasil? Masih relevankah dengan keadaan sekarang? Tampaknya masih banyak pertanyaan sehubungan dengan program transmigrasi yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia di ‘tanah sabrang’. Dan jawabannya bisa didapat dalam buku ini.
Judul buku ini mengingatkan pada sebuah buku yang diterbitkan di Belanda tahun 1988 berjudul Tanah Sabrang: Land aan de overkant. Buku tersebut merupakan reproduksi skenario utuh film propaganda dengan judul yang sama karya Mannus Franken tahun 1937-38. Film propaganda ini bertujuan untuk menarik minat penduduk Jawa pindah ke tanah Sumatera sebagai bagian dari ‘kebijakan kolonisasi’ yang dimulai tahun 1905.
‘Kebijakan kolonisasi’ tersebut tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan politik kolonial awal abad ke-20 yang dikenal dengan ‘politik Etis’. Politik ini bertujuan untuk membalas budi bagi Hindia Belanda, terutama masyarakat pribumi, setelah negeri jajahan ini memberikan keuntungan ekonomis dan kemakmuran cukup besar bagi the mother land (‘negeri induk’) di Eropa sana. Ada tiga hal yang menjadi perhatian utama dari ‘politik Etis’ yaitu pendidikan, irigasi dan migrasi. Bagian ketiga ini menjadi ‘kebijakan kolonisasi’ yang kelak menjadi cikal bakal transmigrasi di Indonesia yang diadaptasi oleh presiden Soekarno dan Soeharto.
Transmigrasi sendiri sebenarnya hanya meneruskan program pengembangan pertanian di luar Jawa yang dimulai oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 dengan nama Kolonisatie. Oleh karena istilah itu dianggap mengandung konotasi yang terlalu peyoratif, maka setelah Indonesia merdeka, dianggap perlu mencari nama baru untuk program tersebut. Pilihan jatuh pada nama transmigrasi, bukan emigrasi maupun imigrasi karena pemindahan penduduk itu terjadi antar pulau di sebuah negara yang berdaulat ( hal.3).
Diangkat dari versi ringkas disertasi Patrice Levang di École Nationale Supérieure d’Agronomie di Montpellier, Perancis, buku terjemahan ini membahas masalah-masalah yang dihadapi program transmigrasi di Indonesia. Bagian pertama buku ini menunjukkan bahwa sumber masalah-masalah transmigrasi bukan berasal dari pelaksanaannya, melainkan dari konsep dasar yang keliru. Konsep dasar tersebut merupakan hasil persepsi yang salah mengenai evolusi petani Jawa dalam beradaptasi terhadap pertumbuhan penduduk, prasangka yang tak kunjung ada habisnya terhadap ‘tanah sabrang’ dan penduduknya, serta minimnya perhatian terhadap pembangunan di luar bidang pertanian (hal.47 – 117).
Sejak tahun 1947, program transmigrasi seolah terus bertualang mencari jati diri dengan dipindahnya program transmigrasi dari satu departemen ke departemen lain. Dimulai dibawah naungan Departemen Tenaga Kerja dan Sosial pada tahun 1947. Lalu dipindahkan ke Departemen Pembangunan dan Kepemudaan, kemudian ke Departeman Dalam Negeri pada tahun 1948. Sebagai dinas dari Departemen Pembangunan Daerah, transmigrasi kembali ke Departemen Sosial sebelum dijadikan Departemen sendiri pada tahun 1957.
Tahun 1959 transmigrasi digabung dengan Departemen Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa dalam tiga bentuk yang berbeda. Kemudian kembali dipindahkan ke Departemen Dalam Negeri, selanjutnya ke Departemen Veteran, setelah itu kembali ke Departemen Koperasi. Tidak lama kemudian dipindahkan ke Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi. Lalu sempat sepenuhnya menjadi Departemen Transmigrasi. Kembali bergabung menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, selanjutnya Departemen Transmigrasi dan Pemukiman, Perambah Hutan. Dan kembali menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi ( hal 11).
Adalah Asisten Residen, H.G. Heijting yang diberi tugas pemerintah kolonial untuk mempelajari kemungkinan pemindahan penduduk Jawa dari Karesidenan Kedu (Jawa Tengah) ke daerah-daerah luar Jawa. Heijting menyarankan agar dalam setiap proyek Pemerintah Belanda pertama-tama membangun kelompok inti yang terdiri dari 500 kepala keluarga. Keluarga-keluarga itu mendapat jaminan hidup selama tahun pertama dan kemungkinan akan diikuti oleh keluarga-keluarga berikutnya. Dengan harapan keluarga yang disubsidi itu akan mendatangkan sanak saudaranya sehingga lambat laun memicu arus migrasi spontan.
Tahun 1905 datanglah rombongan pertama yang terdiri dari 155 kepala keluarga dari Karesidenan Kedu di Gedong Tataan , Lampung. Para pendatang yang kelak melahirkan para Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera) ini membangun sebuah desa yang diberi nama Bagelen, desa kolonisatie pertama. Empat desa lainnya dibangun antara tahun 1906 –1911 dan setiap keluarga memperolah 70 are sawah dan 30 are pekarangan. Biaya transportasi, bahan bangunan, peralatan dan jaminan hidup selama 2 tahun ditanggung pemerintah (hal.10).
Daerah-daerah tujuan transmigrasi pun berubah dari waktu ke waktu. Setelah mengirimkan ke daerah selatan Pulau Sumatera di Gedong Tataan (1905), Wonosobo (1921), Metro (1935), dan Belitang (1937), beralih ke Pulau Sulawesi dan Kalimantan hingga Papua. Untuk yang terakhir ini, sempat menjadi polemik, baru dimulai tahun 1979 dan hanya mencapai jumlah 4,5 % dari jumlah seluruh transmigran ( hal.25). Bahkan untuk Papua (dulu Irian Jaya) dan Timor Timur (Timor-Leste), transmigrasi didukung oleh unsur militer, dengan memprioritaskan pada para veteran dalam proses perekrutan (hal.299). Di sini konsep pertahanan teritorial, pertahanan rakyat dan daerah penyangga menjadi hal yang tidak diragukan untuk mencegah disintegrasi dan mempertahankan stabilitas nasional.
Berbeda dengan buku-buku sebelumnya yang juga mengulas tentang transmigrasi, antara lain Sepuluh Windu Transmigrasi di Indonesia 1905 –1985 (1985), Transmigrasi Harapan dan Tantangan (1993), 90 Tahun Kolonisasi, 45 Tahun Transmigrasi (1997). Buku ini memberikan data yang cukup lengkap. Hal ini dimungkinkan menilik penulisnya telah melakukan penelitian selama lebih dari duapuluh tiga tahun di negara ini. Sehingga data-data yang melimpah dan melengkapi buku ini dalam bentuk tabel dan grafik menjadi nilai tambah. Apalagi dalam mendapatkan data, penulisnya mewawancarai langsung para penduduk di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Tidak jarang ia dikira mata-mata, pastur, dan orang aneh.
Di bagian kedua diperlihatkan kesulitan yang dihadapi dan dialami oleh para transmigran karena adanya persepsi yang keliru tersebut serta perwujudannya oleh para perencana di beberapa proyek transmigrasi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (hal.127 –235). Hal lain yang menarik dari buku ini adalah– walaupun penulis menganggapnya lebih bersifat politis dan tidak ilmiah – mengenai tujuan tak tersurat transmigrasi, apakah program transmigrasi hanya sekedar jawanisasi pulau-pulau selain Jawa, Islamisasi, politik penghapusan masyarakat adat, kolusi internasional yang bertujuan menjarah sumber daya di kepulauan Indonesia. Hingga kecurigaan yang berkaitan dengan usaha memperkuat kediktatoran Jenderal Soeharto ( hal.36)
Levang juga memberikan kritiknya kepada pemerintah pusat yang masih beranggapan bahwa pola perladangan kuno yang dilakukan masyarakat Punan dan Kubu di Kalimantan dan Sumatera, merugikan dan berbahaya. Alasannya, pola yang mereka gunakan mengakibatkan kebakaran hutan, tanah gundul, erosi dan banjir. Oleh karena itu pemerintah berupaya mengalihkan perhatian penduduk setempat dari perladangan yang ‘membahayakan’ itu dengan mengintegrasi mereka pada proyek transmigrasi dan resettlement (pemukiman kembali). Menurut Levang dalam hal ini pemerintah mencampuradukkan antara peladang dan kelompok pemburu-peramu yang jelas-jelas berbeda.
Diungkapkan pula oleh penulis bahwa transmigrasi merupakan cara yang menguntungkan bagi pemerintah untuk memberikan ganti rugi kepada korban gusuran. Transaksi ini digeneralisasi untuk semua proyek yang menyangkut kepentingan umum, misalnya waduk, perluasan bandar udara atau daerah militer, proyek reboisasi, cagar alam, dan bahkan lapangan golf! ( hal.23)
Pada bagian terakhir buku ini, penulis menggambarkan bahwa transmigrasi pada dasarnya merupakan bentuk lain dari ekspansi kerajaan agraris Jawa. Di bagian ini terungkap bahwa sumber utama kesulitan-kesulitan transmigrasi terletak pada pandangan hidup dan konsepsi kekuasaan masa lalu orang Jawa yang hingga kini masih dipraktekkan (hal.245- 301). Levang mengulas hubungan kolonisatie dan transmigrasi yang ditarik mundur dengan masa perluasan wilayah kerajaan agraris Jawa.
Pola kerajaan Mataram yang diilhami langsung oleh pola kerajaan Majapahit tetap menonjol selama berabad-abad setelah berakhirnya kerajaan-kerajaan konsentris.
Ekspansi kerajaan Jawa selama berabad-abad tercermin dari pemukiman lebih dari satu kelompok perambah hutan. Menurut sejarawan Perancis, Denys Lombard, antara abad ke-17 dan 19, ekspansi kerajaan Jawa ke arah barat pulau telah membuat wilayah Pasundan, mengadopsi budi daya padi sawah. Sesuai dengan keinginan kerajaan agraris agar orang ‘biadab’ mengenyam keindahan dunia yang ‘beradab’.
Pemerintah kolonial pun menyatakan dirinya sebagai ahli waris kerajaan Mataram dan kelak pemerintah berikutnya, Republik Indonesia menyatakan diri sebagai ahli waris kerajaan Majapahit sekaligus kerajaan Mataram. Meskipun nama-namanya berubah, Indonesia menggantikan Nederlandsch-Indië, transmigrasi menggantikan kolonisatie, namun pranatanya tetap. Seperti yang diungkapkan Levang, dengan memberikan sawah satu bau (1 bau = 7096 m²) kepada para transmigran, pemerintah kolonial berperilaku seperti bangsawan Jawa.
Demikian halnya pemerintah Indonesia yang memberikan dua hingga tiga hektar tanah. Mereka masih mengejar tujuan yang sama, yaitu kebijakan dan pengendalian sosial, pengembangan pertanian dan pengendalian wilayah. Bila kita kaitkan bahwa kebanyakan para petani yang dikirim ke Sumatera adalah petani Jawa, maka demi keberhasilan kolonisatie maka pola yang diperkirakan akan berhasil adalah pola Jawa. Pola inilah yang digunakan pemerintah kolonial dan mungkin diadaptasi pemerintah sekarang tanpa melihat bahwa pola-pola setempat atau mungkin pola-pola Bugis atau Banjar yang justru lebih cocok diterapkan.
Sayangnya meskipun kaya akan data baik dalam bentuk peta , grafik dan tabel, buku ini tidak dilengkapi indeks yang sebenarnya sangat membantu memudahkan pembaca mendapatkan obyek yang diinginkan. Selebihnya, buku ini tidak hanya menarik bagi kajian agronomi, ekonomi pertanian dan antropologi yang menjadi bidang kajian penulis buku ini, uraian sejarah transmigrasi juga patut dijadikan penambah wawasan kita, baik para akademisi, pengambil keputusan maupun masyarakat awam yang berminat.
Terima kasih untuk menjadikan referensi bagi saya dalam membela warga Transmigrasi yang dirampok lahan lahannya oleh Pengusaha/Penguasa/ untuk semerbak wangi Uang CPO dan Mereka melapor mengadu ke Aparat Kepolisian menjadi Tersangka.-
ReplyDeletewass Eko Donopati
penulis Bandara " Kulonprogo " Kawasan Ekonomi dan Pertahanan, Ymkbi