Wednesday, August 4, 2010

Menjual Imajinasi Kenangan Masa Lalu

Judul   :  Indonesia: 500 Early Postcards
Penulis  :  Leo Haks dan Steven Wachlin
Penerbit :  Archipelago Press, Singapura , 2004
Tebal  :  288 halaman

Bagi para pelancong mengunjungi suatu tempat baru merupakan hal yang menyenangkan. Pelancong yang suka fotografi tentu tak akan melewatkan kesempatan berplesir itu dan mengabadikannya dengan kamera sebagai kenang-kenangan yang kelak dapat mereka nikmati. Lantas, bagaimana yang tidak suka fotografi atau tak memiliki kamera tapi ingin memiliki kenang-kenangan? Mudah saja, di tempat-tempat wisata biasanya tersedia beragam kartupos yang tentunya memiliki kualitas gambar bagus.

Fotografi dan pariwisata memang merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Sebagai sarana promosi, foto-foto yang indah menjadi daya tarik tersendiri dan juga diharapkan mampu menarik para wisatawan untuk datang dan menikmati obyek yang telah dipersiapkan. Sehingga foto-foto yang ‘direkayasa’ itu mutlak diperlukan.

Dalam kurun waktu hampir dua abad, sejarah fotografi dan pariwisata di Indonesia menjadi suatu hal yang menarik untuk didiskusikan. Alasannya, secara estetika dan diskursus foto-foto promosi pariwisata mengenai Indonesia selama satu abad itu hampir tidak ada perubahan. Nyaris sama atau bahkan sama dengan di masa-masa awal fotografi digunakan sebagai bagian dari promosi pariwisata di awal abad ke-20 dan sarana ‘menemukan’, ‘mengenal’ Indonesia.

Hal yang menarik lagi, foto-foto itu dimuat pula dalam brosur, kartu pos, buku-buku panduan wisata seperti Come to Java yang disebarkan ke seluruh negara yang dianggap memiliki potensi mendatangkan para turis dalam jumlah yang cukup banyak.  Penggunaan kartu pos, buku panduan wisata dan brosur sebagai bahan promosi pariwisata merupakan awal dari suatu cara pandang populer pada masa itu. Bahan-bahan promosi itu sebagian besar diterbitkan oleh sebuah badan resmi pemerintah yang mengurusi promosi turisme di Hindia Belanda, Officieel Vereeniging Toeristenverkeer Bureau (sering disingkat VTV).

Bahan promosi dalam bentuk kartu pos itulah yang ditampilkan dalam buku Indonesia: 500 Early Postcards karya Leo Haks dan Steven Wachlin. Nama Leo Haks tentu tak asing lagi bagi para kolektor barang antik. Ia adalah kolektor buku, lukisan, foto-foto, barang cetakan dan tentu saja kartu pos tentang Indonesia (Hindia Belanda)  yang dilakoninya sejak 1984. Bahkan koleksinya muncul di sekitar 100 buku, majalah, termasuk dalam Batik:Design, Style & History (2004) karya Fiona Kerlogue. Kali ini Leo menggandeng Steven Wachlin, sejarawan dari Universiteit van Amsterdam penulis Woodbury & Page, Photographers Java (1994) dan co-penulis Toekang Potret:100 Years of Photography in the Dutch Indies 1839-1939 (1989) serta Diana Darling, penerjemah buku Michel Picard Bali:Cultural Tourism and Touristic Culture (1996).

Lima ratus kartu pos yang disajikan dalam buku ini dibagi dalam tujuh wilayah geografis. Mulai dari wilayah Barat hingga ke Timur. Dari Sumatra, Jawa, Bali dan Sunda Kecil, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), sampai ke Irian Jaya dan Kepulauan Maluku. Ada satu bagian khusus yaitu Batavia (Jakarta) yang memang paling banyak menghasilkan kartu pos serta menghasilkan kartu pos yang paling indah. Tujuh bagian itu dibagi lagi dalam kategori; pemandangan kota, pemandangan alam (lanskap), arsitektur, kegiatan sehari-hari dan tentu saja potret.

Buku ini pun tidak sekedar memajang koleksi kartu pos-kartu pos selama kurun waktu 1893 -1930-an saja. Namun buku ini dilengkapi pula dengan artikel di setiap wilayah geografis yang semakin memperjelas keterangan mengenai koleksi kartu-kartu pos tersebut.

Sejarah kartu pos di Hindia Belanda dimulai sekitar 110 tahun yang lalu ketika kartu pos bergambar pertama kali muncul.  Sebuah artikel berjudul ‘De Triumf der Briefkaarten’ (Kemenangan kartu pos) di Bataviaasch Nieuwsblad edisi 6 Januari 1905 menceritakan sejarah singkat perkembangan kartu pos yang merupakan  ide Dr. Heinrich von Stephan di Jerman pada 1865. Meskipun akhirnya Dr. Emmanuel Hermann dari Akademi Militer Wiener-Neustadt yang diakui sebagai pencetusnya. Belanda sendiri ‘mengadopsi’ briefkaart (kartu pos) pada tahun 1871 yang segera disusul negeri jajahannya, Hindia Belanda (hal.15)

Awalnya, pemerintah secara resmi tidak mengizinkan pihak swasta mencetak kartu pos bergambar, seperti untuk iklan bisnis atau dagang. Namun, akhirnya larangan itu dicabut secara resmi dan pihak swasta diizinkan mencetak kartu pos bergambar.

Ada hal menarik sehubungan dengan kartu pos bergambar ini. Pada 1898 firma H.Bunning mengeluarkan seri kartu pos Yogyakarta, Prambanan dan Borobudur. Salah satu kartu pos bergambar patung Buddha di Borobudur. Kartu itu lalu dikirim ke Belanda sebagai kartu ucapan tahun baru. Ketika tiba di sana, petugas pos Rotterdam menganggap gambar Buddha yang telanjang ‘kurang sopan’ untuk disampaikan pada si penerima. Maka sang Buddha diberikan ‘pakaian’ dahulu, kartu pos itu dimasukkan dalam amplop. Si penerima terpaksa harus membayar biaya ekstra 7,5 sen (hal.20).

Kebanyakan gambar-gambar kartu pos merupakan hasil reproduksi foto. Foto-foto itu merupakan hasil kerja fotografer yang sudah dikenal, seperti dari firma Woodbury & Page di Batavia, Chephas di Yogyakarta. Terkadang foto-foto yang dipergunakan untuk kartu pos merupakan gambar yang diambil sepuluh tahun lalu (abad ke-19). Biasanya gambar yang diambil adalah situasi sehari-hari kemordernan Eropa di tempat nun jauh di sana. Serta keberhasilan yang telah mereka capai di negeri koloni, seperti gambar pabrik, pelabuhan, gedung kesenian yang disandingkan dengan ‘keeksotisan’ alam Hindia Belanda, seperti gambar gunung berapi (hal.23-24).

Selain kartu pos lepas terdapat pula rangkaian seri kartupos bergambar, seperti yang dikeluarkan oleh firma Masman & Stroink di Semarang 1905. Misalnya pada seri kelima yang dikenal dengan Mooi Insulinde (Hindia yang indah) memuat gambar Gunung Bromo dengan lautan padang pasirnya, pemandangan kota, dan ‘rampokpartij’ (hal.24)

Awal abad ke-20 firma Tio Tek Hong di Pasar Baru, Weltevreden menjadi percetakan kartu pos terkemuka. Kartu-kartu pos bergambar Batavia dan Buitenzorg dijual dengan harga bervariasi mulai 5 sen hingga 75 sen (hal.27). Pada waktu yang sama muncul gejolak kartu pos mania yang ‘menyapu’ dunia. Bataviaasch Nieuwsblad edisi 14 Januari 1901 menuliskan berdasarkan survey 9 hingga 16 Agustus 1900 tercatat 10.128.569 kartu pos bergambar diposkan hanya di Jerman. Surat kabar yang sama pada 7 November 1903 menulis bahwa pada 1902 kira-kira 900 juta helai kartu pos digunakan di seluruh dunia, tidak termasuk Asia dan Afrika (hal.27)

Dalam kaitannya antara promosi pariwisata dan kontrol pemerintah di Hindia Belanda, pada tahun 30-an, pemerintah Hindia Belanda telah menyeleksi sekitar 12.000 lembar foto yang disajikan dalam buku panduan wisata serta kartu pos yang dikirimkan ke 30 pusat turisme di seluruh dunia.

Foto-foto yang ditampilkan seperti bangunan-bangunan, jalan raya, jembatan, jalur kereta, bendungan, kabel telegraf memperlihatkan Hindia Belanda yang sudah dimodernisasi. Foto-foto yang menampilkan modernisasi itu berdampingan dengan foto-foto pemandangan alam (aneka tanaman, sungai, lembah, pegunungan, pantai), binatang (kerbau, gajah, buaya), reruntuhan candi atau candi-candi di Jawa, rumah adat. Para penduduk pribumi yang ditampilkan dalam foto-foto itu kebanyakan ditampilkan dengan pakaian khas mulai dari golongan bangsawan hingga pembantu, penghibur/seniman (penari, pemusik), penjual keliling, pengrajin atau sedang melakukan suatu upacara adat, berjudi, pecandu opium.

Foto-foto tersebut menurut Stuart Hall dalam “The Question of Cultural Identity” berupaya memuaskan sebuah ‘fantasi kolonial’ yang merupakan fantasi Barat tentang otherness, tentang dunia pinggiran yang dipelihara oleh Barat. Serta  sebuah pandangan bahwa semua itu adalah tempat-tempat ‘tertutup’ – murni secara etnis, tradisional secara budaya, tak terusik oleh modernitas.

Sebagian besar kartu pos dalam buku ini merupakan koleksi Leo Haks. Selain itu ada pula koleksi dari Didier Millet, Ian Stewart, Lim Han Kian, dan Scott Merrillees. Buku ini dilengkapi juga dengan daftar nama percetakan dan kota yang mengeluarkan kartu-kartu pos tersebut (hal.284-285).

Menarik bila kita melihat imajinasi kenangan masa lalu yang ditampilkan dalam buku koleksi kartu pos ini. Imajinasi yang awalnya digunakan oleh bangsa Barat untuk mengenal kita. Dan kini kita gunakan untuk mengenal apa dan siapa itu ‘Indonesia’.

Seperti yang dikatakan Leo Haks di awal bukunya, meskipun buku ini memperlihatkan perkembangan penggunaan kartu pos yang merupakan bagian dari sejarah Indonesia (Indonesian history) tetapi ini bukan sejarah tentang Indonesia (history of Indonesia) karena tidak menampilkan secara keseluruhan gambaran serta postulat perubahan dinamis yang terjadi di masa lalu.

No comments:

Post a Comment