Judul : Orang Indonesia dan Orang Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX
Penulis : Bernard Dorléans
Penerjemah : Tim penerjemah UI, Parakitri Simbolon
Judul Asli : Les Français et I’Indonésie du XVIé au XXé siécle
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, 2006
Tebal : XLII + 644 halaman
Kalau kita ditanya apa yang menandai hubungan Indonesia dan Prancis, jawaban yang mungkin muncul adalah toko besar di perempatan jalan alias Carrefour. Atau berdirinya CCF, pusat kebudayaan Prancis serta bersliwerannya mobil-mobil Citroen atau Peugeot di jalan-jalan Indonesia. Selebihnya mungkin kita belum tahu bagaimana sebenarnya hubungan Indonesia dan Prancis ini.
Namun, bila kita membaca buku Orang Indonesia dan Orang Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX , terjemahan dari Les Français et I’Indonésie du XVIé au XXé siécle (seharusnya Orang Prancis dan Indonesia Dari Abad XVI sampai XX) ini, maka akan terkuak bahwa hubungan Indonesia dan Prancis tersebut memiliki ikatan historis yang cukup kuat. Pun hubungan tersebut ternyata sudah terjalin kurang lebih 450 tahun lalu.
Buku yang lumayan tebal ini memberikan suatu gambaran tentang masa lampau Indonesia dengan menggunakan sudut pandang Prancis dalam kurun empat abad. Pandangan ini tentu cukup menyegarkan dalam penulisan sejarah resmi Indonesia. Mengingat selama ini kita hanya mendapatkan informasi resmi dari pemerintah kolonial Belanda mengenai masa lampau Indonesia.
Patut dicatat, seperti yang diungkapkan penulis dalam Pendahuluan, buku ini tidak bermaksud memberikan suatu sejarah resmi mengenai hubungan Indonesia dan Prancis selama masa tersebut. Alasannya adalah karena sesungguhnya tidak ada hubungan resmi sampai adanya pengakuan politik oleh Belanda atas kemerdekaan Republik Indonesia pada 1949 (hal.xxv). Buku ini hanya merupakan suatu kumpulan dan penyajian sejumlah teks lama atau hasil penelitian baru dari para peneliti Prancis yang tentunya memberikan penjelasan dari sudut pandang Prancis.
Kumpulan teks yang digunakan sebagai sumber buku ini terdiri dari berbagai bentuk yaitu laporan perjalanan petualangan atau laporan ekspedisi ilmiah, catatan pengunjung sebagai turis dan wartawan, hasil analisa ilmiah sumber-sumber primer dari arsip-arsip pemerintah atau perorangan yang kemudian diterbitkan dalam majalah ilmiah Archipel. Itu semua adalah hasil penelitian para peneliti Prancis seperti Denys Lombard, Louis Malleret, Pierre Labrousse, Anne Lombard-Jourdan, Jean Verinaud, Claude Guillet, Jacques Dumarcay, Christian Perlas, Yves Giraut, dan Henri Chambert-Loir. Dorléans, doktor sejarah dan geografi dari Universitas Sorbonne dan sejak 1968 tinggal di Indonesia ini lalu menyusun lima puluh teks tersebut secara kronologis mulai 1526 hingga 1961 yang juga dibentuknya menjadi lima puluh bab.
Buku ini diawali dengan perjalanan pertama orang Prancis ke Hindia Timur (Bab 1). Hal yang menarik adalah dibandingkan dengan Portugal, Spanyol dan Inggris, ternyata Prancis lebih lamban dalam mengembangkan perdagangan maritimnya. Raja-raja dan para bangsawan Prancis tidak pernah benar-benar tertarik dengan pekerjaan dan wilayah yang letaknya jauh. Hal tersebut disebabkan sistem politik dan administrasi yang cukup rumit dalam kerajaan Prancis.
Tidak mengherankan bila kekuasaan serta wewenang dalam perdagangan maritim diserahkan pada orang-orang asing. Misalnya Giovanni dan Gioralamo Verrazano yang berasal dari Florencia yang menetap di Lyon dan mendapat nama Prancis, Verrazane. Mereka berangkat dari pelabuhan Honfleur, Normandi menuju kepulauan rempah-rempah yang termasyhur.
Simak pula pengalaman Parmentier bersaudara yang mengunjungi Sumatra (1529-1530). Mereka diundang makan malam, makan sirih, serta mabuk-mabukkan dengan ganja (hal.7). Sementar itu menurut Crignon, para wanita Sumatra tampaknya lebih bertanggung jawab atas berbagai macam pekerjaan, termasuk bercocok tanam. Sedangkan sebagian besar kaum lelakinya hanya bertaruh dalam sabung ayam (hal.9).
Siapa tak mengenal Daendels yang dalam historiografi Indonesia dikenal sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda kejam. Daendels dikirim oleh Napoleon untuk berkuasa di Jawa (Bab 22). Meskipun relatif singkat pemerintahan Daendels ini meletakkan dasar-dasar sebuah negara sentralistik yang sampai sekarang masih dirasakan. Tidak hanya itu, jalur jalan Pantai Utara dan Selatan di Jawa yang pada saat lebaran selalu padat merupakan salah satu hasil ‘ide’ Daendels.
Kebudayaan Prancis juga sempat menjadi ‘kiblat’ masyarakat Eropa pada suatu masa. Segala sesuatu yang berasal dari Paris dianggap unggul dan hebat. Pun di Batavia ada ‘daerah Prancis’ sekitar Rijswijkstraat (sekarang jalan Majapahit). Tidak mengherankan bila toko-toko Prancis yang berpusat di sana menjadikan jalan Rijwijkstraat ini populer di kalangan elit Batavia (Bab 37). Menariknya di daerah itu yang dulu pernah berdiri Hotel des Indes (dari bahasa Prancis yang berarti Hindia) sekarang berdiri Carrefour. Mungkin ini suatu kebetulan yang memperlihatkan bahwa aura French Connection kembali hadir di kawasan itu.
Dalam beberapa bab lainnya terdapat karangan yang tak kalah menarik yaitu mengenai pengalaman pengunjung Nusantara di Prancis. Misalnya tentang pengembaraan dua pangeran Makassar antara 1687 dan 1736 (Bab 9). Kita tentu tak pernah tahu bahwa angkatan laut Raja Louis XIV pernah memunyai dua perwira dari Makassar. Salah satu pangeran itu ikut kapal Jason pada 1707 pimpinan Laksamana Duquesne tujuannya adalah menghalau korsario Belanda dari Vlissingen yang kerap menganggu perairan Prancis.
Pengalaman lainnya adalah kisah sedih pangeran dari Pulau Timor dan Solor di Prancis pada abad ke-18 (Bab 12). Putra Timor ini bernama Balthazar-Pascal Celse, putra raja di Lifao. Balthazar-Pascal rupanya dititipkan oleh ayahnya pada seorang biarawan Dominikan Portugis, Padri Ignatius untuk dididik di Eropa. Anak itu dibekali banyak batu permata dan pengiring tiga puluh budak. Karena malu diikuti oleh suatu rombongan besar bak sirkus, semua budak dijualnya. Ignatius lalu memilih berlayar dengan kapal Prancis supaya tidak bertemu orang yang dikenalnya. Mereka tiba di Lorient, Prancis pada 1750. Di sini Ignatius raib dengan semua harta dan membiarkan anak raja sendirian tanpa apa-apa. Balthazar mencoba selama puluhan tahun untuk kembali ke negerinya tetapi gagal. Ia pun meninggal dalam keadaan miskin.
Sementara itu cara hidup Hindia Timur rupanya masuk juga dalam kesustraan Prancis (Bab 30). Di sini diungkapkan perjalanan imajiner Honoré de Balzac ke Jawa. Kelak imaji publik Paris terhadap citra penduduk pribumi Jawa yang eksotis pun terpuasi setelah disuguhi para penari Jawa dan le village javanais (Kampung Jawa) di Pekan Raya Prancis (Bab 40). Suatu pameran kolonial pada 1889 yang memang khusus menyajikan dunia ‘Timur’.
Seperti yang diuraikan oleh A.B. Lapian dalam pengantarnya, ketika kita membaca bab demi bab dalam buku ini hendaknya dipahami masing-masing tulisan tersebut dalam konteks-konteks yang berbeda. Di samping itu penggunaan istilah ‘Indonesia’ dan ‘Prancis’ hendaknya diterima sebagai pemakaian umum saja.
Gambaran dari teks-teks dalam buku ini memang memberikan gambaran yang lain mengenai masa lampau Indonesia. Serta dapat memperkaya historiografi Indonesia. Khususnya dari sumber berbahasa Prancis. Namun, bukan berarti kita telah mendapat gambaran yang lengkap dan sempurna. Para pengunjung yang menulis teks tersebut tentu hanya mencatat hal-hal yang mereka anggap penting dan menarik perhatian. Bisa saja hal tersebut keliru karena ketidaktahuan mereka tentang keadaan dan kebiasaan setempat. Belum lagi unsur tambahan berupa prasangka, misalnya stereotip penduduk Melayu yang berubah-ubah, penjilat, pengolok-olok, licik, pembohong, judes, sombong, loba (hal.9)
Secara keseluruhan buku ini menarik untuk dibaca. Dilengkapi dengan ilustrasi (berwarna) yang indah, indeks serta bibliografi, buku ini memberikan pengetahuan. Setidaknya untuk menambah pengetahuan kita bahwa sesungguhnya hubungan Indonesia-Prancis tidak sebatas Carrefour, CCF, Citroen, Peugeot atau Mariana Renata, bintang film Indonesia yang bersekolah di Paris.
No comments:
Post a Comment