The Arcades Project (Cambridge: Belknap/Harvard, 1999) karya Walter Benjamin yang terentang hampir 1000 halaman itu, disebut oleh beberapa pihak sebagai salah satu upaya terbesar di abad ke-20 dalam memahami “Sejarah”. Ada yang bahkan menyebut kitab cantik montok ini sebagai upaya terbesar di antara semua telaah atas salah satu pengertian paling fundamental dalam 2500 tahun perkembangan dunia; sebuah pengertian yang lahir bersama kesadaran akan hubungan antara manusia yang terbatas, dengan arus waktu yang tak-terbatas. Pengertian yang tumbuh menjadi begitu berpengaruh dalam membentuk kenyataan dunia dalam 3 abad terakhir.
Dengan mengambil banyak ilham dari berbagai sumber, terutama Marcel Proust dan Martin Heidegger, Rudolf Mrazek ― pakar sejarah modern Asia Tenggara, khususnya Indonesia, yang lahir di Ceko lalu hijrah ke Amerika ― melakukan upaya yang mirip kerja Benjamin. Upaya Mrazek ini tertuang dalam karya mutakhirnya yang kini sedang diindonesiakan, Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in A Colony (Princeton: Princeton University Press, 2002).
The Arcades Project memulung reruntuhan dan menghadirkan ulang Paris – Ibukota Dunia Abad 19 – yang sudah silam, dan dengan itu menyajikan tafsir sekaligus kepingan impian sebuah benua, sebuah jaman. Mrazek menelisik Indonesia di masa-masa akhir penjajahan Belanda, dan dari sana menyajikan sebuah alternatif menarik dalam mengaji bangsa, identitas dan kebudayaan di abad 20. Jika The Arcades Project ― karena disabot oleh Perang Dunia II ― hanya sempat tampak seperti catatan atas sejumlah buku ketimbang sebuah buku utuh, Engineers of Happy Land adalah buku yang punya cukup waktu untuk jadi komposisi yang bagus, dengan struktur dan bentuk penulisan yang tampak benar dipikir matang.
***
Mrazek menata Engineers dalam enam bab besar. Bab pertama, dengan tajuk “Bahasa Sebagai Aspal” adalah bab tentang teknologi perpindahan dan penyebaran, pergerakan dan percepatan. Dibuka dengan cerita tentang Ekspedisi Siak yang berangkat pada 13 Februari 1891, bab ini menghadirkan berbagai panorama pemisahan diri manusia dari alam yang tenang dan sentosa; dari kaki-kaki telanjang yang beranjak berat menjejak lumpur, ke kaki-kaki yang melangkah maju dan roda-roda yang berputar pesat di atas aspal dan rel. Kaki yang melesak ke dalam lumpur mungkin memang kaki yang lebur dalam haribaan alam. Tetapi kaki yang kedualah, yang berpisah dan tak bersentuhan langsung dengan tanah yang mentah, adalah kaki yang akhirnya menggerakkan manusia membebaskan diri.
Bagi para pembaca Jacques Lacan, pemisahan diri dari alam ini dapat dilihat sejajar dengan fase Oedipal dalam perkembangan diri manusia; fase pamungkas yang mekar ketika si anak menghadapi kastrasi untuk berpisah dari ibunya. Untuk menjadi subyek yang mandiri. Berangkat dari Padang Pandjang, Ekspedisi Siak yang langkah awalnya dibuka dengan kata “madjoe” itu, adalah ekspedisi untuk meninjau wilayah perawan di balik cakrawala yang di tubuhnya akan direntangkan rel sampai ke pantai timur Sumatra. Memang, ekspedisi yang dipimpin Dr. Jan Willem Ijzerman, pemrakarsa sekolah tinggi teknik satu-satunya di Hindia Belanda (ITB) ini bisa dilihat sebagai bagian dari kerja kapitalisme dan kolonialisme. Untuk menyedot sumber daya sampai ke wilayah yang tak terjangkau. Tetapi, bagi Raden Adjeng Kartini, dan bagi banyak orang yang melihat dunia tradisional mereka sebagai dunia yang kandas dan menindas, rel-rel logam dan aspal yang menembus kaki langit, adalah jalan untuk berpindah ke dunia yang lebih baik.
Jalan raya beraspal dan jaringan rel besi hanyalah salah satu sarana transportasi yang ada. Sarana yang lain adalah bahasa. Jika jalan beraspal dan rel besi membantu perpindahan tubuh dan persebaran bahan, bahasa membantu perpindahan gagasan dan persebaran cita-cita. Persentuhan dengan aspal dan rel kereta api ― alat transportasi paling modern dan paling perkasa waktu itu ― yang menembus masuk jauh ke horizon, memang memungkinkan manusia bepindah secara spasial. Tetapi hanya bahasa yang memungkinkan manusia, meski tak secara fisik, berpindah secara temporal, bergerak ke masa silam dan masa depan sembari menyatukan serpihan kenyataan yang tampak saling tolak.
Dengan berbagai kelokan dan lompatan yang penuh kejutan, Mrazek menyeret kita melihat keharusan Bahasa Indonesia berjuang menjadi sarana transportasi yang baik, yang keras dan bersih. Itu artinya mengubah dan menumbuhkan Bahasa Indonesia dari setapak berlumpur yang disesaki “kata-kata penuh atmosfir”, menjadi jaringan jalan beraspal dan rel kereta yang disusun dari potongan kata dan kalimat yang punya pengertian jelas, pejal dan tepat.
Dalam upaya besar membentuk Bahasa Indonesia sebagai senjata perlawanan dan pemerdekaan diri, sekaligus harga yang harus dibayar untuk cita-cita itu, Mrazek menelisik berbagai dokumen yang merekam pemikiran ― dan pengorbanan ― sejumlah tokoh. Mulai dari Mas Marco Martodikromo, jurnalis dan penulis modern pertama Indonesia, sampai ke Soesilo, intelektual muda cemerlang yang kini sudah dilupakan. Di tangan merekalah antara lain, jaringan rel dan jalan beraspal modern yang dibangun Belanda, kelak jadi jaringan pembuluh nadi dan arteri dari gerakan kebangsaan. Di atas jalan beraspal dan rel-rel besi itu, kata-kata Belanda bertemu dan bertabrakan dengan kata-kata Melayu, cikal-bakal Bahasa Indonesia. Pertemuan itu menghasilkan banyak hal, bukan hanya pelbagai bentuk perlawanan dan pembebasan.
***
Di ujung dorongan untuk berpindah dan menyebar, adalah dorongan untuk menetap dan bermukim. Bab ke-2, dipersembahkan Mrazek untuk teknologi arsitektur dan tatakota. Membaca bab ini kita kian mengerti mengapa motto Nationale Indische Partij (NIP) berbunyi: Hindia Belanda adalah untuk mereka yang berkehendak terus tinggal di sana. Partai politik pertama di Nusantara ini berdiri memperjuangkan persamaan yang tak memandang warna kulit, keadilan sosial-ekonomi, dan kemerdekaan penuh, atas kerjasama masyarakat Eurasia-Indonesia. Dengan segera partai ini menarik sekitar 6000 orang Indo (hampir sepertiga jumlah anggota), terutama mereka yang menolak ikut dalam persaingan yang kian keras dengan banyak Belanda totok yang hendak pulang ke Eropa, setelah kariernya di Hindia Belanda berakhir.
Bab ke-2 ini diberi tajuk “Menara-menara”, menandai dengan bagus pergeseran kajian dari rekayasa konstuksi yang menjalar horisontal ke rekayasa konstuksi yang tegak vertikal. Bab ini dibuka dengan sejumlah kutipan dan citra tentang menara yang menjulang ke langit, tapi yang berfungsi sebagai jangkar, yang mengikat manusia dengan dasar-dasar kebudayaan yang paling dalam. Menara-menara seperti ini memang banyak berdiri di Eropa, tapi tidak di Hindia Belanda. Menara-menara di Hindia Belanda justeru menandai ketiadaan perasaan berlabuh di suatu tempat ― menara-menara itu ditegakkan untuk memudahkan orang berpindah. Di tanah jajahan itu banyak orang datang dan tersingkir ke sana bukan untuk menetap dan menumbuhkan akar tunggang, tapi untuk sekedar singgah dan lewat, dengan harapan untuk kembali tiba di Eropa. Mereka ini tak pernah benar-benar menganggap Hindia Belanda sebagai Tanahair yang sesungguhnya, meskipun mereka mungkin juga mencintainya.
Willem Walraven adalah jurnalis Belanda yang menulis tentang orang-orang kulit putih di Hindia Belanda yang hidup bagaikan kerumunan “lalat di permukaan susu” (hal 65). Tulisan Walraven ini, dan sejumlah dokumen yang dikumpul, “digelitik dan diajak ngobrol” oleh Mrazek, memberi penjelasan tambahan tentang akar historis arsitektur dan tatakota Hindia Belanda, yang dibangun buat keinginan untuk tinggal berlibur senikmat-nikmatnya, berteduh sementara sambil berkelompok memisahkan diri dari dunia luar. Karena sebagian besar orang Eropa yang ke Indonesia adalah pelintas, yang hidup bagai tamu hotel, maka arsitektur berkembang jadi teknologi yang berupaya agar gaya hidup dalam perjalanan, dalam transisi ini, menjadi senyaman mungkin. Sementara mereka yang menetap, menggunakan arsitektur untuk membangun rumah bagaikan benteng pertahanan. Mereka menjadikan kubu mewah dan kukuh ini sebagai unit-unit yang swasembada, dilengkapi dengan pendingin udara dan listrik serta menara air yang membuat mereka tak tergantung dan tak terganggu oleh dunia luar, oleh atmosfir kolonial.
Bersisian dengan arsitektur, adalah irigasi. Mula-mula irigasi dibangun sebagai solusi untuk soal-soal agraria, tapi kemudian berkembang menjadi soal tatakota dan urbanisasi. Dalam irigasi kolonial, bukan hanya air bersih dan lumpur yang harus diatur, tapi juga sperma yang tak boleh menyebar bebas mencemari kemurnian ras kaukasia. Rasialisme yang berakar pada sejenis ketakutan dan ketakpercayaan akan yang lain (the other), memang menuntut teknologi tentang bagaimana berada di seberang lautan, di pantai yang asing, tanpa harus merasakan ― apalagi terganggu dan terpaksa menyesuaikan diri dengan ― keasingan itu.
Jika hunian kaum kulit putih dibangun untuk mempermudah perpindahan, rumah yang tak ingin menumbuhkan akar (kecuali akar tempel dan pencekik), maka rumah kaum pribumi menjadi hunian yang kehilangan akar. Setidaknya begitulah yang dilihat oleh Ki Hajar Dewantara, sebagaimana dikutip Mrazek. Mereka kehilangan roch kebangsaan merdeka dan cita-cita mereka sendiri mati. Kini mereka hidup seakan menumpang di hotel orang lain, dan puas hanya dengan memperoleh makan enak dan tidur nyenyak. Arsitektur dan tatakota yang buruk ini memang buah dari masyarakat yang tak punya cukup homogenitas, tanpa kepastian-kepastian minimal yang di atasnya bisa dibangun sesuatu yang kukuh, indah dan terbuka. Sungguh menarik bahwa dengan segala persoalan berat ini, ada segelintir bule yang mengatasi prasangka piciknya, dan bermimpi membentuk komunitas padu, modern dan merdeka. Hendrik Freek Tillema menciptakan neologi untuk komunitas yang dicita-citakannya: Kromoblanda.
***
Judul Bab Ke-3 diambil dari judul buku kumpulan surat-surat Kartini. Bab ini mengulas teknologi yang membantu kerja indra penglihatan manusia. Teknologi optik dan kaca, juga fotografi dan daktiloskop, serta perluasan jaringan lampu listerik, semua ini tak cuma menawarkan keluasan penglihatan, tapi juga kedalaman penyelidikan. Kegelapan dan kekaburan yang dulunya abadi, mulai terusir bersama datangnya perspektif dan sudut pandang baru. Keinginan untuk melihat secara lebih tajam dan terang benderang ini, dibuka dengan kupasan empat buah buku yang terbit di Hindia Belanda.
Buku pertama adalah karya R.A. van Sandick, In het Rijk van Vulcaan: de uitbarsting van Krakatau en hare gevolgen, “Di Kekaisaran Vulkan: Ledakan Krakatau dan Akibat-akibatnya.” Dari bestseller yang bercerita tentang kegelapan dan bencana yang menyelimuti Nusantara akibat letusan gunung vuklanik itu, Mrazek masuk ke bestseller lain karya F. Wiggers, Fatima. Thriller ini mengisahkan pembunuhan seorang janda kembang, tetapi Mrazek lebih banyak memumpunkan perhatian pada kehadiran cahaya dalam pencegahan kejahatan dan pengungkapan kasus pembunuhan tersebut. Dua buku lain yang bukan bestseller tapi dianggap gema dari jaman yang menjelang tiba, diangkat Mrazek selanjutnya. Buku-buku itu adalah novel Louis Couperus, De Stille Kracht, “Daya yang Sembunyi” dan buku Kartini, Door duisternis tot licht, yang lebih terkenal sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Harapan dan obsesi terhadap cahaya, memperlihatkan perwujudan yang ganjil dalam masyarakat kulit putih di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial memang membangun jaringan tenaga listerik. Tetapi karena ditata menurut standar Eropa yang paling sempurna dan mewah untuk membentengi kenyamanan kaum kulit putih, dan tidak disesuaikan dengan kondisi demografis koloni itu, harga tarif listerik di Hindia Belanda menjadi yang paling mahal di seluruh planit Bumi.
Bukan hanya cahaya yang memperjelas penglihatan manusia, tapi juga binokuler, teleskop dan teodolit. Dengan perangkat-perangkat optik ini, orang-orang di Hindia Belanda melihat dunia dan dirinya, sekaligus mengukur dan memetakannya. Kadang-kadang mereka memetakan dunia secara surealistik, mendahului kaum pembaharu di Benua Eropa. Sejumlah orang di Hindia Belanda, karena terpukau oleh kekuatan teknologi optik, mencoba juga menjangkau kekuatan itu dengan cara yang lucu. Mereka memasang di parasnya kaca mata palsu yang justeru bisa merusak mata. Tetapi yang paling layak catat adalah digunakannya teknologi optik bersama berbagai teknik perekaman untuk tak hanya memperluas penglihatan, tetapi terutama memperkuat pengawasan. Hindia Belanda pun berubah jadi sebuah Rumah Kaca, dimana penguasa bahkan bisa menyidik dan mengintip masuk ke palung sukma kaum pribumi.
***
Dorongan untuk terlihat lebih baik, sekaligus menyatakan diri lebih terang benderang, adalah benang merah Bab ke-4: “Kaum Dandy Indonesia”. Bab ini menyajikan kajian segar tentang bagaimana penduduk Hindia Belanda mendandani dirinya; menyatakan diri sekaligus membedakan diri dari yang lain. Pernyataan diri itu mula-mula dikaji Mrazek lewat boneka. Sebuah koleksi yang terdiri dari sekitar 150 boneka orang-orang pribumi yang dibuat oleh perempuan-perempuan terhormat di Hindia Belanda, dipersembahkan kepada Ratu Belanda. Koleksi ini menghadirkan berbagai kelompok etnik dan lapisan sosial. Mula-mula kaum pribumi, dalam hal ini senimannya, perlu dibantu dalam merepresentasikan diri dan kaumnya. Seniman pribumi ini piawai membentuk wayang: boneka berdimensi dua. Tetapi mereka tak terbiasa membuat boneka realistis berdimensi tiga. Bantuan kaum kolonialis terhadap representasi kaum pribumi itu berjalan bersamaan dengan miniaturiasai, inventarisasi dan pengawasan, yang akhirnya diikuti oleh pendisiplinan Foucauldian kaum pribumi.
Dari realisme boneka, Mrazek bergerak ke realitas berbusana kaum kulit putih yang selain mempertegas ketidaknyamanan mereka di koloni ini, juga mempertegas keinginan mereka untuk membedakan diri. Jika kaum pribumi berpakaian serba longgar dan tampak acak-acakan, bahkan nyaris telanjang, kaum kolonial berbusana dengan ketat, formal dan serba putih seakan siap untuk berperang. Mereka selalu tampak siaga atas ancaman, baik dari wabah, maupun pemberontakan. Busana kaum kulit putih adalah busana yang menciptakan jarak dan hirarki.
Mode, kesadaran busana yang sangat sadar-waktu sebagai bentuk pernyataan diri, mungkin memang berkerabat dekat dengan modernitas. Di Hindia Belanda, kesadaran berbusana itu sangat rapat dengan bangkitnya nasionalisme, dengan hasrat untuk sejajar dengan kaum kulit putih sekaligus lepas dari cengkramannya. Busana tokoh awal pergerakan seperti Mas Marco dan tokoh-tokoh utama angkatan 28 seperti Bung Karno dan Syahrir menghadirkan semangat itu. Dengan berubahnya dinamika politik kolonial dan naik turunnya pergerakan kebangsaan, busana dan penampilan para tokoh juga berubah. Mrazek mengikuti perubahan itu dan menghadirkan banyak cerita tentang tubuh, aspirasi dan pernyataan diri.
***
Jika bab ke-3 dan ke-4 berkait banyak dengan teknologi pengindraan visual, bab ke-5 memusatkan diri pada teknologi pengindraan auditif. Pada kebutuhan untuk mendengar dan didengar secara lebih baik. Bab berjudul “Mari Jadi Mekanik Radio” ini, bergerak dari sejumlah hal yang berkait dengan penyebaran suara, masuk ke bentuk-bentuk teknologi komunikasi kabel dan nirkabel, hingga kerinduan akan hening ketika udara dibuat sesak dan cemar oleh suara-suara bising. Memang, pada mulanya ada semacam kebutuhan untuk menjadi saling dekat dengan dunia luar, dengan Eropa. Hindia Belanda, betapapun, memandang dan menyimak Barat ― sumber modernitas sekaligus kecemasan mereka. Sementara itu, Barat, khususnya Belanda, mengawasi dan memerintah Timur, termasuk pulau-pulau di Nusantara, sebagai penjamin kejayaan sekaligus sumber rasa tak nyaman mereka.
Ionosfir kolonial tak terelakkan menjadi medan pertarungan aspirasi kolonial dan aspirasi kebangsaan. Seperti halnya rasa revolusi yang mulai menggumpal, harapan dan luka dari pergerakan kebangsaan tak hanya terkonsentrasi pada jalan beraspal dan rel kereta, tapi juga melatu lewat jaringan nir kabel. Ionosfir itu sekaligus juga jadi medan pertarungan antara kekuatan-kekuatan yang berhadapan di Eropa. Ketika serdadu Nazi menduduki Belanda, aria-aria komposer besar Jerman yang disiarkan di udara Hindia Belanda dengan heroik ― atau malah norak? ― tak lagi dinyanyikan dalam Bahasa Jerman.
Bab ke-5 ditutup dengan dua kutipan dari dua jurnal milik kaum pergerakan: Kebudayaan dan Masyarakat, dan Soeloeh Indonesia Moeda. Kutipan pertama berisi ajakan untuk menjadi ahli mekanik radio agar bisa, dengan fasih, menyatakan diri ke kancah dunia. Kutipan kedua berisi ramalan akan datangnya revolusi kemerdekaan dimana imperialis terakhir ― dibayangkan “tampak” bukan lagi dalam radio tapi benar-benar terlihat dalam televisi ― tengah menggulung lapak kolonialnya.
***
Bab terakhir berjudul “Hanya Si Tuli yang Bisa Mendengar Jernih.” Bab ini berpusar pada tokoh yang tak jelas riwayatnya sebagai insinyur tetapi sangat lantang menggemakan modernitas dan nasionalisme. Tokoh ini membangun kebangsaan Indonesia bukan dengan perangkat mekanik tapi dengan piranti linguistik: dengan novel, cerita pendek, telaah dan surat-surat. Pramoedya Ananta Tour jelas bukan insiyur dalam pengertian akademik. Ia memang pernah bercita-cita jadi insinyur teknik, tetapi pendidikannya mentok hanya sebagai siswa Sekolah Teknik Radio di Surabaya.
Dalam riwayat Pram, dan kejadian-kejadian yang menimpanya di pembuangan, Mrazek menghadirkan contoh hidup pergulatan sebuah bangsa yang luka parah meraih kemerdekaannya. Kebesaran Pram memang tak tumbuh dari keadaannya sebagai korban yang inosen, dengan ingatan yang selektif, kepala yang mengeras dan telinga yang rusak ditumbuk popor. Epilog ini membawa pembaca “melompat” ke masa kini, ke masa senja Pram yang merenungkan gerak waktu; dan dengan itu menerawang kembali seluruh bab sebelumnya, dari konsolidasi kolonial hingga terbitnya kemerdekaan. Kali ini kemerdekaan spiritual.
Akhirnya memang dalam membangun bangsa, yang paling penting bukanlah sains dan teknologi, tetapi sebuah jiwa yang merdeka dan penuh martabat. Teknologi tentu tak bisa langsung merekayasa jiwa manusia, tetapi ia bisa membantu jiwa yang merdeka itu: menjadi ekstensi dari indra, otot dan ingatan. Tanpa jiwa yang merdeka, teknologi hanya menelurkan banyak hal yang menggelikan, juga menyedihkan, cerminan pikiran dan sukma pemakainya. Rasa tak aman sekaligus tak nyaman sebagian besar orang Eropa di Hindia Belanda membuahkan banyak arsitektur, tatabusana atau jaringan lampu penembak cahaya yang terlihat ganjil.
Kegamangan dan konservatisme kolonial, seperti halnya kegamangan dan konservatisme politik-kultural sebagian besar mereka yang telah merasakan kemerdekaan, membuat kemungkinan-kemungkinan teknologis sungguh tak bisa sepenuhnya memerdekakan manusia. Penjajah Belanda dan Jepang barangkali sudah hengkang, sudah gulung tikar. Tetapi, ketaknyamanan, kegelisahan dan ilusi penguasa pribumi, kegagapannya mengelola transformasi dan kekerdilannya mengurus organisasi besar berskala ― mereka menyebutnya ― Indonesia Raya, membuat represi, diskriminasi dan perilaku fasis-otoriter yang dulu dikembangkan Belanda dan Jepang, kembali tampil di era kemerdekaan.
***
Mrazek menata bukunya seperti seorang insinyur membangun sirkuit terpadu: tiap bagiannya saling topang, dan persambungannya melambungkan pikiran. Atau seperti penyair peka yang sadar akan kekuatan ruang kosong di antara jejeran imaji yang sepintas tampak tak saling kait. Dari bab I hingga ke epilog, Mrazek menyusun berbagai kutipan dari surat-surat dan buku harian, esei-esei budaya, pidato politik, novel, puisi, lirik lagu, lukisan, laporan surat kabar dan potongan iklan di atas latar waktu yang bergeser linier, dari masa akhir abad 19 sampai ke pertengahan dan ujung abad 20. Dengan tebaran fragmen yang seperti konstelasi bintang di langit, buku ini adalah tenunan berlapis yang menghadirkan sekaligus realitas politik, kultural dan psikologis di Hindia Belanda.
Para sejarawan yang pernah membongkar data tentang Indonesia yang berasal dari periode yang diteliti oleh Mrazek, tentu tahu betapa masih banyak yang belum disentuhnya. Namun, dengan yang “belum banyak” ini, dengan buku seramping 300-an halaman, Mrazek menghasilkan karya yang sangat kaya dan kompleks hingga mustahil diringkas tanpa memiuh dan merusaknya. Mrazek yang telah menyumbang banyak kajian berharga tentang gerakan pembebasan sekaligus pergulatan bangsa-bangsa di Asia Tenggara ― dalam kepustakaan berbahasa Indonesia, sumbangannya tersaji dalam telaah kehidupan Sutan Syahrir dan Tan Malaka ― dengan menarik menunjukkan betapa “Dunia” dan “Sejarah” memang bagian sangat penting dari Indonesia, kelahiran dan kelangsungan hidupnya.
Selain membuyarkan tembok waktu dengan melonggarkan belitan dan melapangkan arusnya hingga masa silam hadir di masa kini, Engineers juga melantak tembok spasial dan menunjukkan bahwa persoalan mendasar orang-orang di Eropa taklah jauh beda dengan persoalan orang-orang di Indonesia. Jika kaum nasionalis di Hindia Belanda gamang dengan diri dan masa silamnya, kaum kolonialis pun gamang dengan dirinya, dengan kebangkrutannya sebagai negeri adidaya abad 17, yang lalu dijajah Napoleon dan diinjak Hitler. Kebudayaan, identitas dan rasa bangsa di era kolonial-lanjut sungguh cerminan jelas dari dinamika di tingkat global. Dorongan untuk merdeka dan memberi jawaban tepat pada sejarah, untuk mencerna kepungan kenyataan asing yang membentangkan diri sebagai chaos, sama saja di belahan dunia manapun. Karena itu, bukanlah hal yang aneh bahwa banyak hal yang baru hendak meletup di Eropa, gerakan avant-garde misalnya, gemanya sudah lebih dahulu mengiang di Nusantara.
Nasionalisme memang undercurrent buku ini, tetapi dibawahnya masih mengalir arus lain yang lebih lebar; arus yang menegaskan bahwa di samping serba perbedaan yang menyolok indra, manusia ― di Barat maupun di Timur, putih atau coklat ― sungguh punya banyak persamaan. Perbedaan manusia disebabkan justeru oleh persamaan-persamaannya; duri dan mahkota perbedaan itu rekah karena akar persamaan yang mendasar ― dorongan untuk hidup dan berkembang, to sense and make sense the world ― harus merespon konteks yang berbeda. Sekali konteksnya diubah dan disepadankan, persamaan yang mendekam di dasar-dasar antropologis ummat manusia akan tampil terang benderang.
Perbedaan yang keras memang memungkinkan seseorang terbuang, tetapi persamaan yang ada, memustahilkannya untuk terasing selamanya. Teknologi bisa sangat memperlebar solidaritas dan jalan melepaskan diri dari lingkaran setan waktu sirkuler, dan kembali bersatu mempertautkan diri dengan arus sejarah. Meski jalannya tampak serba tak terduga, sejarah, bersama teknologi, sungguh telah membentangkan sejenis kartografi tiga dimensi untuk membangun sebuah versi lain Kromoblanda yang jauh lebih agung.***
Nirwan Ahmad Arsuka
Versi awal dimuat di Bentara―KOMPAS, 6 April 2005
No comments:
Post a Comment