Penulis : Marieke Bloembergen
Penerbit : KITLV uitgeverij, Leiden , 2004
Tebal : 250 halaman
Deskripsi
Nederland heeft altijd geprobeerd zijn kolonialisme netjes voor het binnen- en buitenlandse voetlicht te brengen. Het Leidse KITLV, dat wellicht binnenkort door de KNAW wordt omgedoopt tot Koninklijk Instituut ter Bestudering van het Kolonialisme, gaf ter gelegenheid van de Boekenweek een curieus boekje uit. Goed, het boekenweekthema Frankrijk is er wat met de haren bijgesleept, maar dat levert een aardig resultaat op: Nederland, Indië en Frankrijk bien étonnés de se trouver ensemble. Eenmaal lezend in het zap-boekje Koloniale inspiratie, samengesteld door Marieke Bloembergen, is veel opvallends te zien. Er waren drie Wereldtentoonstellingen in Parijs: in 1899, 1900 en 1931. Dit boekje geeft een goed tijdsbeeld van deze koloniale vertoningen, met onder meer de Nederlandse visie op Indië, zoals gematerialiseerd in een romantische imitatie van een Javaans dorp.
Koloniale inspiratie : Frankrijk, Nederland en Indië en de wereldtentoonstellingen / samengesteld door Marieke Bloembergen. Leiden, KITLV-press, 2004. EUR 12,50
Gagasan memadukan antara pariwisata dan budaya bukanlah hal yang baru. Seperti yang (lagi-lagi) akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam mempromosikan pariwisata dengan ‘menjagokan’ Borobudur dan Bali. Jauh sebelumnya cara promosi ini pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memamerkan daerah koloninya.
Promosi dengan menggunakan budaya inilah yang diperlihatkan dalam buku Koloniale Inspiratie karya Marieke Bloembergen, peneliti dari Universiteit Utrecht. Pada tahun 2001 ia meraih gelar doktor di Universiteit van Amsterdam dengan disertasi De koloniale vertoning:Nederland en Indie op de wereldtentoonstellingen (1880-1931) – ‘Pertunjukan kolonial: Belanda dan Hindia Belanda di pameran dunia (1880-1931)’.
Memasuki pergantian abad, di akhir abad ke-19 pameran dunia yang diadakan di Eropa semakin gencar. Hal itu berkaitan dengan trend negara-negara koloni di Eropa yang berupaya memperlihatkan daerah yang telah mereka kuasai di benua Asia, Afrika, dan Amerika. Mereka ingin menampilkan keberhasilan yang telah berhasil diraih di benua-benua baru ‘taklukan’. Di samping itu hasrat untuk melihat ‘keprimitifan’ kelompok manusia lainnya di dunia yang belum ‘beradab’ menjadi alasan tersendiri.
Menurut catatan sejarah, pameran dunia hasil industri dari semua bangsa di dunia secara resmi untuk pertama kali diselenggarakan di London mulai 1 Mei hingga 1 Oktober 1851. Pameran besar ini diadakan di sebuah bangunan baru raksasa yang terbuat dari baja dan kaca di Crystal Palace. Dengan luas 75.000 meter persegi, pameran ini menawarkan tempat untuk 20.495 peserta.
Sementara itu di negeri Belanda sendiri pada 1883 mereka menyelenggarakan pameran kolonial dan komoditi ekspor internasional di Amsterdam. Pameran ini merupakan pameran dunia pertama dan satu-satunya yang pernah diselenggarakan di Belanda.
Demikian halnya pemerintah Belanda yang menyajikan Hindia Belanda, daerah jajahan yang telah mereka kuasai dalam pameran dunia di Paris, Perancis menjelang abad ke-20. Sambutan hangat pun diperoleh dari kalangan luas. Mulai dari para wartawan, penulis, seniman hingga para ilmuwan begitu antusias dengan pameran tersebut, maupun pameran di Amsterdam. Tanggapan-tanggapan itu pun tidak selalu positif atau mendukung. Bahkan ada pula tanggapan negatif yang diselimuti semangat anti-imperialisme.
Tanggapan mereka inilah yang juga dihimpun dalam buku ini. Tercatat kumpulan komentar dan tanggapan dari nama-nama antara lain Edouard Agostini, P.J. Veth, John Groll, E.Levasseur, P.A. van der Lith, H.Kern, H.H. van Kol, Joseph Chailley-Bert, pelukis Paul Gauguin , komposer Claude Debussy, S.E.W.Roorda van Rysinga, dan Louis Aragon. Semuanya berjumlah 38 komentar. Komentar-komentar tersebut diambil dari berbagai sumber, antara lain laporan kongres, foto-foto, gambar-gambar dalam katalog, surat kabar, majalah mingguan, laporan pameran, buku kenangan, hingga pendapat pribadi dalam buku harian dan surat-surat pribadi. Sayangnya, tidak adanya indeks di buku ini membuat pembaca agak kesulitan mencari obyek yang diminati.
Pada ajang pameran berikutnya, Exposition Universelle di Paris, Perancis pada 1889, pemerintah Belanda mengirimkan tontonan dalam bentuk tampilan le village Javanais . Sebuah kampung di Jawa dipertontonkan untuk umum. Bahan-bahan seperti bambu, daun kelapa untuk membangun rumah secara khusus didatangkan dari Jawa.
Selama enam bulan pameran di Paris itu terhitung ada 875.000 pengunjung. Sayang, sang ratu Wilhemina tidak hadir mengunjungi pavilyun Hindia Belanda. Namun, pavilyun Hindia Belanda tetap mendapat sambutan. Komentar-komentar bermunculan setelah penampilan para penari dari Jawa. Dituliskan bahwa para pengunjung ‘jatuh cinta’ pada penari-penari muda itu seperti Damina, Wakiem, Sariem, dan Soekia yang baru berusia 12 hingga 16 tahun (hal.93). Bahkan seorang penyair Baudelaire mengungkapkan kekagumannya dengan menulis La Belle Wakiem (Wakiem yang cantik). Sajak ini sempat dimuat di Java Bode edisi 9 Agustus 1893.
Hal tersebut tidak mengherankan karena para pengunjung dapat menyaksikan secara langsung para penari yang separuh ‘telanjang’ (hanya mengenakan kain sebatas dada) di muka umum. ‘Ketelanjangan’ di muka umum di masa itu merupakan hal yang luar biasa karena sebelumnya mereka hanya dapat melihat melalui lukisan dan kartu pos dari negeri Timur (hal.94). Bahkan seorang pengunjung, Prince Roland Bonaparte menganalisa jenis tarian yang ditampilkan. Menurutnya ada tiga jenis tarian yang disajikan yaitu serimpi, bedaya, dan ronggeng (hal.129).
Sementara itu para pengunjung pameran sekitar pukul enam sore juga disuguhi rijsttafel seharga enam frank. Lauk yang dihidangkan dalam rijstaffel antara lain ikan gurame dan dendeng rusa (hal.134).
Salah satu hal menarik lainnya adalah hasil penelitian J.Deniker dan L. Laloy mengenai antropometris yang dilakukan sewaktu pameran di Paris 1889 (hal.140). Mereka meneliti berbagai penduduk asli peserta pameran dari Afrika, Asia, dan Amerika. Penduduk Jawa mereka bagi menjadi orang Jawa, Sunda, dan Melayu. Para peneliti tersebut mencatat tinggi badan, warna kulit, jenis rambut, bentuk kepala termasuk mata, hidung, telinga, bibir penduduk ‘Timur’. Tercatat tujuh laki-laki Sunda yang berasal dari Parakan Salak, Bogor, empat orang Jawa (tiga laki-laki dan satu perempuan) dari Yogya dan Surakarta, satu perempuan dari Biliton, dan dua anak laki-laki dari Tangerang.
Menurut cerita, pada awalnya orang-orang Jawa, Sunda, dan Melayu itu tidak mau ikut ke Eropa. Untuk meyakinkan mereka, salah seorang dari mereka dikirim ke Amsterdam dan tinggal selama beberapa waktu. Setelah kembali, ia menceritakan pada yang lain bahwa ia mendapat uang banyak di negeri orang kulit putih. Mereka pun bisa mendapatkan keuntungan jika mau ikut ke Eropa (hal.118)
Jawa memang menjadi primadona dengan kultur yang dianggap masih kuno dan murni hingga akhirnya perhatian dialihkan ke pulau Bali pada akhir tahun 20-an. Ketika itu Jawa mulai dianggap tidak murni dan sudah mulai modern.
Para seniman seperti Walter Spies, Miguel Covarrubias, Rudolf Bonnet dan para antropolog seperti Jane Belo dan Margaret Mead secara tidak langsung mempromosikan Bali sebagai pulau yang layak dikunjungi. Bali digembar-gemborkan sebagai pulau surgawi. Hingga dalam sebuah iklan turisme pada tahun 30-an menyebutkan supaya jangan mati terlebih dahulu sebelum melihat pulau Bali. Bahkan aktor film bisu, Charlie Chaplin pun sempat berkunjung ke pulau ini.
Ketenaran Bali inilah membuatnya dijadikan tema pada saat pameran kolonial internasional di Paris tahun 1931 (hal.181). Tidak tanggung-tanggung untuk pintu masuk ke dalam pavilyun Hindia Belanda dibuatlah duplikat pintu masuk pura Camenggon di Sukawati, Bali Selatan yang tingginya 50 meter lengkap dengan ukiran dari batu granit. Pembangunan duplikat pintu masuk pura itu menghabiskan waktu 40 hari. Tidak hanya itu, lima puluh penari ditambah pemain gamelan Bali didatangkan untuk ikut meramaikan pameran. Hasilnya, succès fou!. Pemerintah Belanda meraih kembali kesuksesan. Berbondong-bondong arus turis datang ke Bali.
Namun selama kurun waktu 1883 hingga 1931 tidak selalu pameran kolonial mendapatkan sambutan positif. Sambutan sinis dan yang menentang juga mewarnai pameran-pameran kolonial tersebut. Puncaknya adalah keinginan untuk merdeka dari negara-negara koloni tersebut pada akhir tahun 20-an yang semakin menggebu.
Di Hindia Belanda muncul pemberontakan kaum komunis tahun 1926 dan 1927 di Jawa dan Sumatera. Tiga tahun kemudian di Vietnam muncul pemberontakan kaum nasionalis Quoc Dan Dang di Yen Bai yang merepotkan pemerintah kolonial Perancis. Pemberontakan-pemberontakan di tanah jajahan itu menimbulkan reaksi penahanan massal. Banyak orang yang dihukum dan dibuang. Di Hindia Belanda, partai komunis dianggap partai terlarang dan para pemimpinnya dibuang ke Digul. Bahkan di Vietnam, sebuah desa yang dianggap sarang pemberontak dibombardir dan para pemimpin partai Quoc Dan Dang dijatuhi hukuman mati (hal.217).
Pameran anti kolonial pada 1931 merupakan insiatif liga internasional anti imperialisme yang didirikan tahun 1927. Mereka ingin mengungkapkan hal sebenarnya yang terjadi di tanah jajahan seperti praktek kecurangan pemerintah kolonial dan kemiskinan penduduk asli tanah jajahan. Mereka juga menyerukan Ne visitez pas I’Exposition Coloniale (Jangan datang ke pameran kolonial!) yang ditandatangi oleh sejumlah seniman surealis seperti André Breton, Louis Aragon, Paul Eluard, Benjamin Perét. Seorang pejabat polisi Perancis mencatat pembukaan pameran anti kolonial di Montparnasse itu bersamaan dengan pembukaan pameran kolonial internasional (hal.219).
Sementara itu di Belanda dan Hindia Belanda juga mengeluarkan reaksi anti imperialisme dari pameran kolonial internasional. Seperti kritik para pelajar yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang dimuat dalam Indonesia Merdeka. Jauh sebelumnya kritik tajam semacam itu muncul dari penulis S.E.W.Roorda van Eysinga pada 1883. Ia mengatakan bahwa negeri jajahan telah dirampok, dikotori, dirusak, dibunuh dari peradaban indah mereka.
Bila meninjau lebih jauh tanggapan dan komentar para pengunjung Perancis maupun Belanda terhadap pameran yang menyajikan Hindia Belanda tersebut, kita dapat melihat kembali teori yang diulas oleh Edward Said dalam Orientalism (1978) dan Culture and imperialism (1993). Said menegaskan bahwa ketika para intelektual Barat mempelajari Timur disertai dengan ‘semangat’ imperialisme. Barat digambarkan berada lebih tinggi derajatnya dibandingkan Timur. Sementara itu Timur digambarkan bermoral bejat dan lemah. Namun, Said menurut Marieke Bloembergen sepertinya kurang memperhitungkan pernyataan mengenai kenyataan yang terjadi di daerah jajahan. Said, menurut Bloembergen menggunakan sumber-sumber yang tampaknya bukan selalu dimaksudkan sebagai sumber informasi. Oleh karena itu Said dalam hal ini tampaknya terlalu mudah menempatkan pandangan hegemoni Barat. Terlepas dari teori yang dikritisinya, dari 38 komentar yang disajikan dalam buku ini hanya ada 6 komentar yang anti kolonial dibandingkan 32 komentar yang pro kolonial.
Dengan belajar dari upaya pemerintah Hindia Belanda di masa lalu, tampaknya kita harus sadar bahwa cara promosi pariwisata melalui budaya bukan sekedar hitungan ekonomis dan keuntungan belaka. Kita harus memperhitungkan pula dampak-dampak yang dapat merugikan bahkan merusak budaya itu sendiri. Bahkan jika perlu budaya tersebut tidak sekedar menjadi obyek wisata belaka tetapi juga menjadi subyek wisata.
No comments:
Post a Comment