History repeats atau sejarah berulang dalam pola yang serupa dan berlangsung dalam waktu yang berbeda. Wacana maupun realitas mengenai imperialisme dan kolonialisme yang dalam istilah mutakhir bergeser menjadi neoimperialisme dan neokolonialisme selalu berulang dalam sejarah
Imperialisme dan kolonialisme adalah personifikasi nafsu untuk mengalahkan atau menguasai penguasa lain demi merebut keuntungan sosial politik dan lainnya. Ujung penguasaan sosial politik ini adalah dominasi penguasa kolonial terhadap penguasa bumiputra yang notabene mencari keuntungan finansial. Perebutan kekuasaan ini masih berlangsung sampai awal abad ke-21. Jelas apa yang dinamakan perebutan kekuasaan masih tetap aktual.
Karya Vincent Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870, menyajikan pertarungan kekuasaan politik antara keraton Jawa, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dengan Pemerintah Hindia Belanda (PHB).
Buku ini terdiri atas enam bab dengan tambahan dua bab untuk prawacana dan kesimpulan. Bab-bab awal buku ini mengungkap taktik divide et impera PHB terhadap kedua kerajaan, antara lain dengan memosisikan peran ambigu patih kerajaan dan campur tangan di dalam persoalan suksesi takhta kerajaan. Bab- bab akhir membahas perubahan eksploitasi ekonomi, khususnya ekonomi perkebunan serta dampaknya terhadap perubahan struktur masyarakat Jawa umumnya dan masyarakat Surakarta dan Yogyakarta khususnya.
Kesimpulan di akhir buku menyatakan bahwa PHB berhasil mereduksi kekuasaan politik para penguasa Jawa sehingga menjadi sekadar “boneka” yang tidak berdaya. Pertarungan antara Keraton dan Kompeni ini, oleh Houben, diibaratkan seperti perkelahian antara harimau dan kerbau. Harimau dengan kuku dan taring yang tajam mampu menaklukkan kerbau yang kuat dan bertanduk runcing.
“Divide et impera”
Buku ini berasal dari disertasi yang dipertahankan di Universitas Leiden tahun 1987. Sebuah disertasi cemerlang yang dihasilkan oleh sejarawan generasi baru Belanda. Vincent Houben berhasil keluar dari kisi-kisi historiografi konvensional yang menurut Prof Sartono Kartodirdjo sebagai pandangan Neerlando-centris. Sebaliknya, Houben menulis dengan gaya pandang Indonesia-centris yang bukan saja menekankan subyek bangsa Indonesia dalam panggung sejarah Indonesia, tetapi juga mengungkap secara heuristik, baik sumber Belanda maupun Jawa.
Ini adalah keistimewaan Houben karena ia mampu menjelajahi sumber kedua belah pihak. Sebagai seorang Belanda tentu tidak diragukan penguasaan sumber Belanda sehingga ia dapat memaparkan sampai serinci mungkin mengenai korupsi dan indisipliner para birokrat Belanda. Selain itu, Houben juga menunjukkan keberpihakan kepada penguasa Jawa.
Uraian terinci dapat dilakukan karena ia menguasai sumber-sumber dari koleksi pribadi para pejabat di Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta, termasuk korespondensi antarmereka. Meskipun penguasaan bahasa Jawa kurang mendalam, Houben termasuk dalam Indonesianis, khususnya Jawanis seperti halnya de Graaf, Ricklefs, dan Peter Carey. Mereka ini mampu memanfaatkan sumber lokal sehingga menghasilkan historiografi yang jauh lebih maju dengan sudut pandang aktual.
Pada tahun 1830, yaitu setelah berakhirnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro, PHB ingin menyempurnakan penaklukannya atas dua kerajaan itu. Alasan penaklukan adalah karena kedua kerajaan itu mempunyai daerah yang luas, bukan hanya negaragung, tetapi sampai mancanegara, pasisiran, dan bang wetan. Apabila daerah-daerah ini dikuasai oleh PHB, keuntungan ekonomis yang cukup tinggi akan diperoleh PHB.
Selanjutnya, yang lebih penting dan dirasa menakutkan adalah kedua kerajaan itu mampu memobilisasikan massa rakyat untuk melawan PHB sehingga membuka kemungkinan terjadi Perang Jawa seri kedua yang menguras keuangan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, gubernur jenderal memerintahkan para komisaris dan residen untuk “menata Yogya dan Solo”.
Surakarta dan Yogyakarta memang sangat menakutkan bagi PHB, tetapi di pihak lain, dua kerajaan itu menjanjikan keuntungan finansial. Oleh karena itu, PHB berusaha mencari titik-titik konflik secara vertikal dan horizontal antardua kerajaan itu. Pergantian takhta, intrik istana, dan peran patih kerajaan sebagai broker politik dimanfaatkan oleh PHB untuk kepentingan kolonial. Sebaliknya, penguasa yang tidak loyal seperti Sunan Paku Buwana VI dikenai verbanning, dibuang ke Ambon. Prinsip divide et impera terus diterapkan demi tertancapnya kuku kompeni di dua kerajaan itu.
Di sisi lain, peran para komisaris, yang ditunjuk gubernur jenderal untuk mengurus penyerahan kekuasaan kedua kerajaan kepada PHB, sangat besar dalam menjaga wibawa PHB. Meskipun demikian, mereka juga saling berebut kepentingan ekonomi. Ini terjadi karena di antara para komisaris itu ada yang berperan ganda sebagai ondernemers atau penyewa tanah dan pemilik perkebunan.
Pada masa itu yang terjadi adalah sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule). Pemerintah kolonial dapat menguasai rakyat hingga ke desa-desa melalui para penguasa kerajaan. Oleh karena itu, kekuasaan kerajaan direduksi ke tingkat seremonial dan terkunci dalam ritual-ritual kerajaan.
Eksploitasi tanah
Setelah secara politis penguasa Jawa ditelikung, sampailah ke tujuan sebenarnya, yaitu mengeksploitasi tanah apanage atau bumi lungguh dan bumi krajan lewat praktik sewa tanah. Praktik sewa tanah bukan hal baru di vorstenlanden karena sudah berlangsung sejak abad ke-17 yang dilakukan orang-orang Cina dalam persil kecil-kecil.
Setelah tahun 1830, bersamaan dengan Tanam Paksa yang diberlakukan di daerah gubernemen, persewaan di wilayah vorstenlanden diperbarui pada tahun 1839, 1859, dan 1892. Bahkan, daerah ini diharuskan melakukan reorganisasi desa, yang dimulai tahun 1912 dan berakhir tahun 1930. Maka, dengan melihat perkembangan dan pembaruan persewaan, jelas bahwa di Surakarta dan Yogyakarta selalu terjadi intensifikasi eksploitasi yang menjurus pada ekstraksi tanah. Hasil penyewaan tanah yang diwujudkan dalam pengelolaan perkebunan merupakan ladang emas hijau bagi penyewa tanah dan pemerintah kolonial.
Dimensi spasial yang dirasa sulit dan jauh dapat ditanggulangi oleh pemerintah dengan pembangunan jalan kereta api Semarang-Vorstenlanden (1864-1872). Jarak dan waktu tempuh menjadi singkat. Angkutan kereta api dengan volume besar dapat dilakukan. Dengan kata lain, para penyewa tanah dan pemilik pabrik mendapat fasilitas transportasi yang mendekatkan pusat produksi di pedalaman vorstenlanden dengan pelabuhan Semarang.
Pengangkutan produksi agraris yang cepat berarti keuntungan makin banyak dan cepat diraih. Pasar Eropa menunggu produksi tropis dan menjanjikan keuntungan besar. Pengembangan perkebunan dan transportasi kereta api merupakan pembukaan pedalaman Jawa untuk lalu lintas dunia (de ontsluiting van Java’s binnenland voor her wereldverkeer) sebagaimana yang dimaksudkan Prof Burger.
Residen yang dibantu asisten residen merupakan agen politik kolonial yang melakukan kontrol politik terhadap kemungkinan gejolak yang berkembang di tanah kerajaan. Pada dasarnya, mereka menjaga terpeliharanya status quo kerajaan-kerajaan itu. Pengawasan makin ketat diberlakukan kepada daerah-daerah di Surakarta setelah diangkatnya asisten residen di Klaten, Boyolali, Sragen, dan Karangpandan pada tahun 1873. Dengan demikian, pengawasan kepada masyarakat bumiputra makin kuat dan mereka hampir-hampir tidak dapat bergerak karena mata-mata kolonial ada di mana-mana.
Secara yuridis pun dilakukan kodifikasi undang-undang dan angger-angger kerajaan yang sudah ada sebelumnya. Kodifikasi ini dimaksudkan agar pemerintah dan penyewa tanah memiliki kepastian hukum. Bahkan, pada akhir abad ke-19 dilakukan revisi terhadap undang-undang dan angger-angger untuk memastikan keberhasilan para penyewa.
Di dalam persewaan tanah makin dipertegas penggantian kedudukan para patuh (tuan kebun) oleh para penyewa tanah. Hubungan feodal tradisional tetap berlaku antara patuh dan petani. Tuan-tuan kebun menuntut berbagai macam kerja tradisional kepada petani yang tidak dibayar. Nonbudget system ini sangat menguntungkan para tuan kebun dan PHB. Selain itu, petani pun masih mendapat beban pajak dan tenaga kerja dari penguasa bumiputra.
Dengan demikian, petani atau wong cilik mendapat beban rangkap, yaitu dari penyewa, PHB, dan penguasa bumiputra. Maka tidak mengherankan kalau di sana-sini timbul resistensi, protes tani, kecu (perampokan), pembakaran, ratu adilisme, dan lain-lain.
Perubahan sosial
Houben juga mengulas eksploitasi tanah-tanah lungguh untuk empat jenis perkebunan besar, yaitu perkebunan indigo (nila), kopi, tebu, dan tembakau, dari kacamata perusahaan. Akan tetapi, bagaimana empat jenis perkebunan itu beroperasi tidak mendapat perhatian memadai, termasuk perbandingan pendapatan tanah-tanah setiap tahun sebelum disewa dan setelah disewa perkebunan. Lebih jauh, derajat penderitaan atau kesulitan hidup wong cilik di empat jenis perkebunan tidak mendapat penjelasan secukupnya. Padahal, sesungguhnya yang menyebabkan perubahan sosial di Jawa, sebagaimana yang digambarkan dalam salah satu bab buku ini, adalah ekstensifikasi dan intensifikasi perkebunan.
Berbagai macam kerja di perkebunan makin terdiferensiasi sehingga memerlukan tambahan buruh. Daglooner atau buruh harian mulai banyak diperlukan dan terjadi kontrak kerja dengan volume pekerjaan tertentu dan upah tetap.
Dampaknya adalah terjadi semacam proletarisasi karena banyak petani kenceng yang seleh, melepaskan kedudukannya sebagai petani kuat. Mereka lebih senang bekerja sebagai buruh dengan upah harian dibandingkan sebagai petani yang tanahnya disewa perkebunan. Ini disebabkan pendapatan petani yang tanahnya disewa perkebunan jauh lebih kecil dibandingkan dengan upah yang diterima sebagai buruh harian. Pendapatan itu semakin tidak berarti jika memperhitungkan kerja wajib dan kerja tambahan untuk perkebunan dan penguasa bumiputra. Di satu pihak, petani harus mendapatkan uang untuk berbagai keperluan dan di pihak lain harus mengikuti pola kehidupan dan kewajiban tradisional.
Konsumerisasi dan komersialisasi sudah merambah ke pedesaan meski hanya terbatas pada kebutuhan tertentu. Cina klonthong, cina mindring dengan dagangannya sudah memasuki pedesaan baik sebagai rentenir maupun pedagang klonthongan yang mampu menyedot uang para penduduk desa. Desa menderita semacam ketakberdayaan karena tak mempunyai daya beli sehingga mereka selalu terjerat dalam utang. Koplakan banyak berdiri di sekitar perkebunan, layaknya seperti kafe dan klub malam sekarang. Tempat-tempat itu menjadi kawasan rendezvous para “bandit” yang melakukan transaksi dengan konspirator, pekerja seks, dan lain-lain.
Meski komersialisasi tenaga kerja sudah berlangsung dengan kontrak individual, tetapi belum dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Rekrutmen buruh tetap dilakukan melalui para bekel. Sebagai kepala desa dan sebagai broker rekruitmen, para bekel itu mendapat keuntungan dari uang komisi. Dengan demikian, kekuasaan kepala desa semakin kokoh, yang semula berperan sebagai tax collector berkembang menjadi power holder, menguasai desa, termasuk cacahnya.
Perubahan peran para bekel ini sejalan dengan perkembangan perkebunan yang memerlukan kepastian usaha untuk pencapaian keuntungan perusahaan perkebunan. Peran para bekel yang memperlancar eksploitasi ini menyebabkan petani tidak senang dan berupaya melakukan pembalasan. Para bekel dijadikan sasaran pengkecuan. Mereka tidak lagi dianggap sebagai pelindung petani, tetapi kaki tangan perkebunan. Banyak kasus pencurian dan pembunuhan terhadap para bekel di dua kerajaan ini, termasuk bekel putih, yaitu penyewa Belanda dan Cina.
Dalam membahas perubahan sosial, buku ini tidak mengungkapkan mobilitas sosial vertikal yang menandai perubahan status. Padahal, pada tingkat desa terjadi kolusi antara para kepala desa dan mandor yang mampu menahan gerak vertikal petani sehingga petani tetap sebagai buruh tani. Sementara itu, kuli kenceng yang melepaskan hak dan kewajibannya digantikan oleh saudara terdekat. Bahkan, sering terjadi “perkawinan politik” pada tingkat desa untuk memperkuat ikatan dua penguasa itu sehingga sebenarnya mobilitas sosial secara tradisional dihalangi oleh penguasa desa yang bekerja sama dengan perkebunan. Meski demikian, setelah pertengahan abad ke-19 mulai tampak mobilitas sosial yang ditengarai oleh kemampuan atau keahlian kerja meskipun dalam jumlah yang sangat terbatas.
Gerakan perlawanan
Terminologi gerakan perlawanan yang dikemukakan Vincent Houben tampak kurang tajam, termasuk penjelasan tentang sebab-akibat perlawanan petani, perbanditan sosial, dan lain-lain. Perlawanan itu muncul dan berkembang luas setelah terjadinya perluasan perkebunan. Orientasi perlawanan para petani saat itu, selain sebagai gerakan sekuler untuk mendapatkan kebutuhan hidup dari hari ke hari, juga diwarnai oleh orientasi religius seperti milenarisme dan messianisme.
Dalam praktik, semua itu bercampur dengan orientasi gerakan lain. Jelasnya, gerakan perlawanan itu terjadi akibat multiple pressures yang dialami para petani karena jarak perkebunan satu dengan lainnya berdekatan sehingga beberapa perkebunan harus menekan kepala desa untuk menyediakan tenaga kerja dan keperluan perkebunan bagi tiga atau empat jenis perkebunan dalam waktu yang bersamaan. Yang sangat berat adalah jika perkebunan indigo berdekatan dengan perkebunan tebu karena keduanya sama-sama menguras tenaga dalam proses produksinya.
Selain gerakan petani yang diwujudkan dalam gerakan kelompok besar dengan tujuan meminta kembali hak milik petani atau ganti rugi, ada juga gerakan perlawanan individual atau kelompok kecil yang melakukan pengkecuan, pencurian, pembakaran tebu, dan lain-lain. Hal ini merupakan gangguan keamanan yang meresahkan penyewa. Residen Surakarta dan Yogyakarta pun tidak pernah tidur nyenyak karena mendapat laporan tentang kecu hampir setiap malam. Rietbranden atau pembakaran tebu merupakan kejadian sepanjang tahun dan berpindah-pindah dari satu perkebunan ke perkebunan lain. Sayangnya, bentuk ketidakpuasan dan aspirasi wong cilik ini tidak mendapat eksplanasi secara luas di dalam buku ini.
Pada awalnya, karya Vincent Houben ini menjanjikan historiografi Indonesia gaya baru. Ia memakai pandangan Indonesia-centris, yang melihat dinamika sejarah masyarakat vorstenlanden “from within”. Namun kemudian, ia lupa dan terjebak dalam rutinitas historiografi kolonial dengan tidak menjelaskan secara memadai peran wong cilik yang dieksploitasi oleh perkebunan dan penguasa bumiputra. Dalam kenyataan saat itu, para wong cilik hanya mendapat uang harian yang tidak cukup untuk membayar keperluan harian. Akibatnya, sebagian besar jatuh ke tangan rentenir Cina karena upah yang mereka terima telah dimakan sebelum dibayar, alias terjadi indebtedness atau ngutang.
Para pangeran juga merasa tidak puas karena ketentuan para komisaris, di samping kondisi ekonomi mereka juga sangat menyedihkan. Oleh karena itu, banyak di antara mereka menyingkir ke pedesaan dan bergabung dengan wong cilik yang sama-sama mengharapkan zaman baru.
Gerakan besar seperti Mangkuwijaya di Klaten pada tahun 1865 dengan latar belakang perkebunan tebu mendapat gambaran secara luas, tetapi gerakan messianisme Iman Rejo dengan Srikatonnya di Gunung Girilayu (dekat Mangadeg), Tawangmangu, pada tahun 1888 dengan latar belakang perkebunan kopi tidak dijelaskan dalam buku ini. Penumpasan gerakan ini yang dilakukan gubermen, pengawal keraton, dan legiun Mangkunegaran menjadi bukti kuatnya kolusi PHB, penyewa tanah dengan penguasa kerajaan.
Pihak-pihak yang tersingkir dan tersungkur adalah para pangeran yang tidak setuju dengan politik kolonial dan politik kerajaan. Mereka bergabung dan menyingkir ke tempat-tempat keramat dengan mengangkat figur religius setempat sebagai Ratu Adil. Sang Ratu Adil akan menyejahterakan masyarakat dan mengembalikan situasi seperti sebelum kedatangan Belanda. Untuk merealisasikan tujuan ini, mereka menganggap Cina-Landa harus diusir dari Jawa. Ini semua adalah manifestasi dari tekanan politik, ekonomi, dan kultural kolonial. Tokoh-tokoh lokal akan menandinginya dengan mendirikan counter institution yang menjadi wadah gerakan massa petani yang diwujudkan dalam bentuk pesantren, perguruan, dan sejenisnya.
Buku ini merupakan karya akademik, tetapi masyarakat pun dapat membacanya guna menambah masukan mengenai cara kerja PHB mereduksi kekuasaan dan mengincar ekonomi lewat eksploitasi tanah yang dikelola oleh para penyewa tanah.
Pembaca tidak akan banyak mengalami kesulitan karena terjemahannya dalam bahasa Indonesia cukup lancar. Meski buku ini ditulis dengan paradigma baru yang lebih banyak memberikan peran kepada orang Jawa, tetapi penulis masih terjebak pada kemandekan karena tidak sampai pada dampak yang lebih luas dari orang Jawa yang terkena pengerdilan politik dan ekonomi. Meski demikian, corak dan warna buku ini menambah keragaman historiografi Indonesia.
Suhartono W Pranoto, Fakultas Ilmu Budaya UGM
Kompas, 24 Mei 2003
No comments:
Post a Comment