Judul buku: Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan di Indonesia Masa Kolonial
Penulis: John Ingleson
Editor dan Penerjemah : Iskandar P Nugraha
Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta 2004
Tebal: xvii + 318 halaman
ISBN: 979-96201-6-8
Buku ini disajikan dengan judul "Tangan dan Kaki Terikat": Dinamika Buruh, Sarekat Buruh dan Perkotaan Masa Kolonial. Judul tersebut terasa pas untuk dipilih, karena menjadi semacam refleksi dan masalah perburuhan yang menjadi benang merah nasib perjalanan hidup mereka. Berbagai aspek yang diketengahkannya di dalam buku ini sengaja disusun sedapat mungkin secara kronologis, di samping penyajian aspek tematis untuk memberikan gambaran utuh dan detail mengenai dinamika dan nuansa gerakan buruh di Indonesia. Dalam buku ini juga didiskusikan mengenai dinamika kota yang memberikan suatu gambaran akan cikal bakal dari gerakan buruh yaitu kehidupan dan kondisi kerja di masa kolonial pada awal tahun 1910 dan 1920-an.
Buku mengenai sejarah perburuhan di Indonesia masa kolonial ini begitu penting karena telah lama ditunggu kehadirannya dalam historiografi Indonesia. Kontribusi utama sejarawan Australia, John Ingleson, lewat buku ini terutama sekali tampak pada keberhasilannya menempatkan kaum buruh masa kolonial di tempat yang lebih terhormat, bukan sebagai figuran, namun sebagai aktor sentral di panggung sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang selama ini terlupakan.
Kepeloporan Ingleson dalam penulisan sejarah pergerakan Indonesia memang tidak dapat diragukan lagi. Hasil risetnya mengenai gerakan nasionalis baik sekuler maupun non-sekuler pada paruh pertama abad lalu telah diindonesiakan dan menjadi bacaan klasik dalam studi Indonesia di dalam negeri. Sebut misalnya Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasional Indonesia Tahun 1927-1934 (1983), serta terjemahan atas disertasinya Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan (1993), yang kerap disitir dan diacu. Bahkan, temuannya atas dokumen permintaan pengampunan Soekarno kepada pemerintah kolonial dalam satu bukunya tersebut, sempat menimbulkan polemik hangat dan perdebatan kritis.
Tema perburuhan merupakan minat lanjutan yang ditekuninya sebagai hasil temuan baru atas aspek-aspek yang lebih mendalam atas sejarah pergerakan nasional tersebut. Di samping publikasinya yang telah diterbitkan, In Search of Justice Workers and Unions in Colonial Java 1908-1926 (1986), sesungguhnya ada delapan esai yang telah dihasilkannya dalam kurun waktu dua dekade terakhir, yang tersebar di sejumlah jurnal di luar negeri. Buku ini adalah kumpulan esai tersebut, dihadirkan ke hadapan khalayak pembaca Indonesia dengan harapan dapat mengisi kekosongan literature mengenai dinamika gerakan buruh di Indonesia sejak awal abad lalu hingga tahun 1927 (hal viii).
Ingleson berpendapat bahwa sejarah perburuhan, meski dititikberatkan pada buruh dan kelas bawah, tidak bisa dipisahkan dari sejarah sosial Indonesia, terutama ketika melihat hubungan yang terjalin antarkarakter dan kecenderungan ideologi pemimpin gerakan buruh, dan ketika gerakan itu berlangsung.
Namun, kaum buruh pada umumnya tidak meninggalkan banyak catatan sejarah dan Jarang ditulis/dilaporkan dalam arsip-arsip Pemerintah Kolonial Belanda, terkecuali bila bersinggungan dengan masalah politik serius. Oleh karena itu, nasib kaum buruh sebagai golongan yang tertindas ini memang sulit diketahui.
Di sinilah letak kehebatan penulisnya karena dengan keuletannya menggunakan arsip-arsip politikrahasia dari bekas Kementerian Jajahan yang tersimpan di Belanda, ia mampu menunjukkan bahwa mereka adalah juga bagian penting masyarakat Indonesia, yang harus dihargai dan ditempatkan selayaknya, tidak saja karena kegigihan dalam memperjuangkan nasib buruk mereka, namun juga karena turut dalam usaha memenangkan perjuangan pergerakan nasional secara keseluruhan.
GAMBARAN atas dinamika buruh terutama di perkotaan Jawa masa kolonial, tidak saja terlihat begitu jelas di buku ini, namun juga dipaparkan secara komprehensif, runtut, dan saling kait-mengait. Hal ini tak lain karena kumpulan esai tersebut disajikan dengan piawai baik secara kronologis maupuntematis sehingga tidak saja dapat dibaca sendiri-sendiri sesuai aspeknya, namun juga hadir sebagai satu analisis utuh atas perjuangan buruh pada tiga dekade awal abad lalu itu. Dengan pendekatan humanis dan kesabaran berurusan dengan kejadian-kejadian secara kronologis itulah penulis mampu mengilustrasikan dinamika kemunculan, perkembangan, dan kemunduran gerakan buruh tersebut.
Berbeda dengan tulisan sarjana Barat lainnya seperti Ruth McVey, the Social Roots of Indonesian Communism (1970) dan Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1812-1926 (1990) yang menyediakan gambaran umum perjuangan kaum pekerja, Ingleson tampaknya ingin lebih menunjukkan fenomena tarik-menarik antara persoalan fundamental yang dihadapi oleh pemimpin serikat buruh saat itu: apakah hanya membatasi aktivitas pada urusan industrial belaka untuk mengurangi risiko tekanan kekuasaan kolonial, ataukah juga mencari upaya mengintegrasikan gerakan buruh ke dalam gerakan nasionalis yang lebih kuat lewat penitikberatan pada konteks strategi dan taktik. Pada waktu itu, secara prinsip semua memang setuju bahwa aktivitas buruh dan politik merupakan dua sisi tak terpisahkan: suatu perdebatan yang muncul dalam konteks pencarian upaya membangun gerakan buruh yang aman terlebih setelah kegagalan pemogokan buruh kereta api (VSTP) tahun 1923, yang membawa banyak korban, serta ditumpasnya PKI tahun 1926-1927 yang diikuti dengan berbagai represi terhadap kaum pergerakan.
Setelah mendiskusikan kondisi kerja buruh pelabuhan tahun 1910 yang memberikan gambaran awal kemunculan militanisme dalam gerakan buruh, bagian selanjutnya memaparkan soal pemogokan buruh kereta api, penyediaan jaminan sosial, fenomena buruh terampil, serta kesadaran buruh dalam gerakan Sarekat Buruh. Sebelum ditutup dengan esai terakhir di bagian delapan yang Merekonstruksikan pelbagai upaya mengorganisasikan kembali Sarekat Buruh sesudah tahun 1926, terdapat juga diskusi menarik mengenai warisan gerakan buruh masa kolonial tersebut (hal 237-266).
Di dalam buku ini tampak jelas dinamika perjuangan tiada henti Sarekat Buruh, Sebagaimana diperlihatkan dalam usaha penggalangan solidaritas sosial dan politik (misalnya pembentukan dana perjuangan, dana pendidikan, komite kemanusiaan, dan lain-lain). Untuk segala perjuangan dan pengorbanan tersebut, Ingleson menunjukkan bahwa kaum buruh telah membayarnya dengan harga mahal: siap dikurangi gajinya, dipecat majikan, dituduh Komunis, bahkan dipenjarakan. (hal 255). "Tangan dan kaki terikat", sebagaimana dipakai sebagai frase judul kumpulan esai ini, bagaimanapun merupakan ungkapan yang paling cocok melukiskan kondisi kaum buruh masa kolonial yang mengenaskan tersebut. Ketiadaan waktu dan energi yang cukup dalam memperjuangkan hak buruh dalam konteks politik dan ideologi itu telah diwariskan kepada gerakan buruh masa kontemporer.
Tentu saja bagi spesialis perburuhan ada tema-tema perburuhan yang kurang disoroti penulisnya untuk memberikan rekonstruksi gerakan perburuhan masa itu. Misalnya, mengenai peran Kantoor van Arbeid (kantor tenaga kerja yang dibentuk Pemerintah Kolonial tahun 1919 yang sesungguhnya perpanjangan tangan kolonialis Belanda dalam merepresi kaum buruh), atau bagaimana Sarekat Buruh bisa bertahan mengorganisasikan diri di masa depresi yang menghantam hebat Hindia tahun 1930-an.
Namun, kekurangan-kekurangan seperti itu bukan tanpa disadari atau diakui penulisnya. Dalam pengantarnya, Ingleson sudah jelas menyinggung bahwa masih banyak kajian yang harus dilakukan untuk dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan utuh, lebih-lebih ketika arsip bekas Kementerian Dalam Negeri Hindia Belanda (Binnenlaand Bestuur) yang tersimpan di Arsip Nasional Jakarta sudah benar-benar dapat digunakan.
Menurut dia, hal itu tidak saja akan memberikan gambaran yang mendalam mengenai perburuhan, namun juga akan menghasilkan suatu seri yang menarik atas sejarah-sejarah masyarakat perkotaan masa kolonial yang demikian penting itu. (hal xiv). Khusus mengenai absennya diskusi mengenai gerakan buruh Tionghoa, Ingleson pun telah mengakuinya di bagian lain buku ini.
KURANGNYA bahasan-bahasan yang disebut di atas bagaimanapun menunjukkan bahwa riset masalah perburuhan memang harus ditindaklanjuti. Buku ini jelas memberikan inspirasi baru bagi sejarawan untuk mulai menggunakan pendekatan baru dalam sejarah, yakni upaya memahami aktor sejarah dari arus bawah (sub-altern) seraya menempatkannya sebagai aktor utama. Buku ini menunjukkan bahwa cara itu cukup menjanjikan dalam usaha menjelaskan kompleksitas perjalanan Indonesia sebagai bangsa secara lebih komprehensif.
Untuk alasan-alasan tersebut di atas, adalah tidak berlebihan untuk menganggap buku ini penting dan wajib menjadi acuan buku sejarah perburuhan terutama di perguruan tinggi. Khususnya bagi kaum buruh, praktisi perburuhan maupun aktivis buruh, karya ini jelas mempunyai manfaat yang tidak saja inspiratif, namun juga edukatif. Betapa untuk perbaikan yang dicita-citakan mereka, kaum buruh di abad lalu hidup, gagal, mati, dan bangkit lagi dalam mengorganisasikan diri lewat metode dan cara yang lebih lengkap dan profesional bila misalnya dibandingkan dengan masa sekarang. Sejarah telah menunjukkan bahwa perjuangan buruh hanya berhasil bila dilakukan lewat kerja sama erat dan berkesinambungan dengan organisasi dan partai politik di samping konsolidasi di kalangan buruh itu sendiri.
Pendeknya, buku ini telah membuka pintu masuk bagi mereka yang tertarik pada masalah perburuhan di Indonesia, baik kalangan akademisi maupun kalangan buruh dan gerakan buruh itu sendiri. Usaha penerbit menerjemahkan dan mengumpulkan delapan esai tersebut perlu dipuji karena telah menyediakan wacana pemahaman baru atas sejarah dari orang-orang yang terpinggirkan, yang masih terus berkutat mencari upaya-upaya memperbaiki nasib buruk mereka.
Kristaniarsi, Pengajar Jurusan Sejarah Universitas Indonesia dan Mahasiswa Program Doktor Sejarah University of New South Wales, Sydney Australia
Kompas, 6 Juni 2004
No comments:
Post a Comment