Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Desember 2009
Tebal: x + 437 halaman
ISBN: 978-979-454-6
Didi Kwartanada, Kompas, Senin, 22 Februari 2010.
Minggu pagi, 19 Desember 1948, ketenangan suasana ibu kota Yogyakarta terusik dengan ingar-bingarnya raungan sejumlah pesawat terbang. Tak lama kemudian, pasukan payung tampak diterjunkan di sekitar lapangan terbang Maguwo. Inilah operasi airborne pertama Belanda yang dimaksudkan sebagai serangan kilat (blitzkrieg) untuk menghancurkan Republik Indonesia.
Pada hari yang kelam tersebut dalam waktu singkat ibu kota bisa diduduki dan pemimpin tertinggi RI jatuh ke tangan musuh. Tindakan Belanda diambil tanpa memedulikan hukum internasional. Saat itu sesungguhnya perundingan bilateral masih berlangsung. Bahkan, para pengamat mancanegara dari Komisi Tiga Negara (KTN) bersama wartawan asing masih berada di Yogyakarta.
Situasi perundingan Indonesia-Belanda yang alot membuat pihak Belanda, yang ingin kembali menegakkan kekuasannya di Indonesia, merasa frustrasi. Maka, di kalangan ”penganjur perang” (hawkish), seperti Louis Beel, Wakil Tinggi Mahkota di Batavia, dan Letjen Simon Spoor, Panglima Angkatan Bersenjata Hindia Belanda/KNIL, perang adalah satu-satunya jalan yang dianggap bakal melancarkan kebuntuan. Namun, efek yang tercipta malah sebaliknya, semakin menambah keruwetan. Sejarawan Anthony Reid (1996) menilai, ”Belanda dengan gegabah menantang opini dunia dalam suatu sikap bunuh diri.”
Karya Julius Pour ini memberikan uraian yang kaya dan mengalir dengan bahasa yang renyah tentang Agresi Militer II, yang dibuat yel-yel serdadu Belanda sebagai ”Doorstoot naar Djokja” (Menembus Maju ke Djokja) serta dampak yang ditimbulkan, baik bagi Indonesia maupun Belanda. Dalam membangun narasinya, penulis mendasarkan uraiannya pada berbagai memoar para pelaku (Soekarno, Mohammad Hatta, Mohamad Roem, dan lain lain) dan kajian para sejarawan dari berbagai negara (George McTurnan Kahin, Leirissa, Heijbouer, dan lain lain).
Penulis menunjukkan bahwa demi memuluskan agresinya, kalangan diplomatik Belanda merekayasa keterlambatan nota penting dari pihak Indonesia (hlm 10-12) sehingga seolah posisi Belanda terancam dan mereka berhak melakukan apa yang di akhir abad XX disebut sebagai ”pre-emptive strike”. Letjen Spoor begitu percaya diri, dan seperti dalam kutipan dialog di atas (hlm 12) merasa mampu menghancurkan RI dalam waktu kurang dari tiga bulan. Para hawkish Belanda yakin bahwa suatu serangan yang mematikan akan membuat dunia melihat bahwa RI tidak memiliki kedaulatan dan kekurangan angkatan perang yang memadai. Namun, rupanya agresi itu malah menjadi bumerang. Bahkan, perwakilan AS di PBB mengatakan kepada rekannya dari Belanda bahwa agresi itu adalah ”kesalahan terbesar yang pernah dilakukan Belanda sepanjang sejarahnya” (the biggest mistake by the Netherlands in its entire history) (Monfries 2008).
Mantan wartawan Kompas yang kemudian menjadi salah satu penulis buku biografi terkemuka ini memberi subjudul bukunya Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer. Konflik ini muncul karena para pemimpin sipil, khususnya Presiden Soekarno, yang sebelumnya berjanji akan bergerilya kalau Belanda menyerbu, pada detik-detik terakhir ternyata tidak konsisten dengan janjinya. Saat dikepung, presiden memerintahkan pengibaran bendera putih dan membiarkan dirinya ditangkap (hlm 340-341). Menariknya, konflik sipil-militer juga muncul di pihak Belanda (hlm 334-336). Konflik-konflik ini bisa diuraikan dengan baik oleh penulis.
Dalam historiografi Indonesia, penafsiran atas peristiwa jatuhnya ibu kota Yogyakarta sering kali berbeda, tergantung pada rezim yang sedang berkuasa. Buku Sejarah Nasional Indonesia (edisi ke-4, 1993), yang dipakai sebagai ”babon” penulisan sejarah pada masa Orde Baru, dalam jilid VI secara jelas menegaskan, ”Selama 7 bulan Jenderal Soedirman menjadi pegangan bagi seluruh rakyat yang melaksanakan pergulatan dahsyat untuk kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia. Dalam saat-saat yang paling gelap dalam perjuangan bangsa, Soedirman merupakan obor yang memancarkan sinar ke sekelilingnya.” Buku yang disunting oleh Nugroho Notosusanto ini tampak jelas kemiliterannya.
Lalu muncul pertanyaan, siapa yang berperan dalam mengusir Belanda: kekuatan senjata atau diplomasi? Penulis tidak memberi jawaban tegas, kecuali mengutip pendapat Kepala Staf TNI saat itu, TB Simatoepang, bahwa ”kombinasi antara diplomasi dan kekuatan senjata” adalah hal krusial dalam kesuksesan perjuangan kita (hlm 376-375).
Buku ini memunculkan tiga orang pahlawan: Soedirman, Soeharto, dan Sultan Hamengkoe Boewono (HB) IX. Namun, entah mengapa, penulis tidak banyak memberikan kredit kepada figur ketiga. Tidak ada foto HB IX, sementara foto kedua tokoh lainnya muncul lebih dari satu kali. Penulis juga ”mengingatkan kembali” peran penting Soeharto selaku tokoh kunci dalam periode ini (hlm 358-59, 360, 366-69). Mungkin ini karena penulis juga pernah menulis buku tentang tokoh utama Orde Baru tersebut.
Tidak banyaknya uraian tentang HB IX bisa diatasi apabila penulis mengacu pada hasil studi terbaru John Monfries (2008) tentang peran Sultan HB IX dalam revolusi. Memoar yang belum lama terbit dari George McTurnan Kahin, yang disertasinya banyak dikutip penulis, juga akan lebih memperkaya buku ini.
Kekurangan lain adalah minimnya uraian penulis (misalnya di hlm 365) tentang Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), yang walaupun penting artinya bagi legalitas eksistensi RI, sering diabaikan dalam sejarah.
Membaca buku ini membuat pembaca menyadari bahwa masa lalu selalu aktual dan tetap relevan bagi masa kini. Setidaknya ada tiga hal yang bisa disimpulkan.
Pertama, negara-negara dengan persenjataan yang lebih kuat cenderung mengikuti doktrin klasik Romawi Si vis pacem para bellum (Bila Anda menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang), kalau perlu dengan berbagai rekayasa untuk pembenaran. Pre-emptive strike sekutu ke Afghanistan dan Irak sebenarnya adalah pengulangan Doorstoot naar Djokja. Maka hasilnya bisa ditebak: mudah dimulai, sukar sekali diselesaikan. Akhirnya AS menanggung akibat perbuatan Presiden Bush dan geng hawkish-nya sehingga dewasa ini ekonominya mengalami krisis.
Kedua, menarik sekali bahwa penulis sudah mengambil analogi kelompok yang memilih perang (Rajawali/hawkish) dan yang menyukai diplomasi (Merpati), yang diambil dari Perang Teluk II sehingga buku ini terasa relevan dengan situasi politik internasional dewasa ini.
Ketiga, dalam konflik bersenjata, akhirnya rakyat sipil yang menjadi korban. Buku ini memberikan contoh-contoh ketika Belanda menderita kerugian nyawa akibat serangan gerilya dan tidak mampu membalas, mereka melampiaskan kemarahannya kepada penduduk yang tidak bersenjata, seperti di Malang (hlm 323-24) dan Surakarta (hlm 384).
Komprehensif
Buku ini dilengkapi dengan indeks yang komprehensif sehingga membantu penelusuran subjek yang dikehendaki pembaca. Namun, tidak ada karya yang sempurna. Uraian yang bersifat human interest, misalnya anekdot tentang Wiranto (hlm 159) ataupun Goentoer Soekarno (hlm 209) yang pada waktu itu masih kanak-kanak, bisa lebih diperkaya dari sudut pandang anak-anak yang mengabadikan pengalaman mereka mengenai Agresi II tersebut. Ketika pasukan Belanda mendesak maju, pelukis Dullah merekrut lima muridnya untuk melukis on the spot perang yang sedang terjadi. Kelima pelukis cilik ini dipimpin oleh Mohamad Toha yang masih berusia 11 tahun. Hasil karya mereka kemudian dipamerkan di Indonesia dan Belanda serta terbit sebagai Karya dalam Peperangan dan Revolusi (1983).
Beberapa kesalahan cetak terdapat dalam buku ini, khususnya mengenai istilah Bahasa Belanda (misal hlm 110, 115) dan editorial. Nama PM Belanda Drees kadang ditulis Dress (hlm 253, 254, 320). Kutipan panjang dalam bahasa Inggris (hlm 233-239) hendaknya diberikan terjemahan. Namun, hal-hal tersebut tidak mengurangi nilai sumbangan buku ini bagi kepustakaan mengenai revolusi Indonesia dan ketahanan nasional.
Didi Kwartanada, Kompas, Senin, 22 Februari 2010.
No comments:
Post a Comment