Thursday, July 22, 2010

GENDUK DUKU (Buku II Trilogi Rara Mendut)

Sepeninggal Rara Mendut dan Pranacitra yang mengarungi samudra asmara dalam selaman kedalaman Laut Kidul setelah tertikam keris Sang Panglima Besar Wiraguna, Genduk Duku dan para punakawan Ntir-untir serta Bolu, para emban dan abdi setia sang terpidana melarikan kudanya menelusuri peisisir pantai ke arah barat. Seakan terbang mengawan di atas pasiran berbuih, mereka kesetanan menghindari kejaran pasukan Wiragunan yang tertinggal dua pal di belakang mereka. Dalam situasi serba gawat demikian nampaklah ketrengginasan Genduk Duku sebagai keturunan darah Bima yang sangat mahir olah katuranggan.


Sesuai dengan pesan petunjuk dari Putri Arumardi, sang selir Wiraguna, bahwa mereka bertiga diperintahkan mencari suaka kepada Bendara Pahitmadu di pesanggrahannya. Wanita utama bijaksana ini sebenarnyalah adalah kakak kandung Sang Manggala Yuda sendiri. Pada prinsipnya ia tidak sependapat dengan sikap adiknya yang memaksakan kehendak kepada gadis perawan dari Telukcikal, Rara Mendut. Ia mendengar kisah keteguhan Mendut dari surat yang disampikan putri Arumardi yang kemudian membuatnya sangat bersimpati sebagai sesama wanita utama.

Di kegelapan malam dengan bulan tersaput awan kelam, tiga kuda yang mereka tunggangi memasuki sebuah gerbang pelataran yang tertata rapi. Di depan pendopo joglo yang sedikit megah, dilihatnya seorang perempuan setengah baya terduduk anggun. Segera penunggang kuda turun dari pelananya dan menyampaikan sembah bakti juga sepucuk surat rahasia. Sejenak Bendara Pahitmadu membaca, “Hmmm, kalian aman sementara di sini. Wiraguna memang keterlaluan.”

Sementara di luar gerbang pesanggrahan prajurit Wirugunan yang mengejar tiga pelariaan majikannya hanya memandang untuk kemudian membalikkan kuda mereka menjauhi pesanggrahan Bendara Pahitmadu.

Menumpang beberapa hari di rumah Bendara Ayu tersebut, Genduk Duku kemudian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Pekalongan adalah tujuan mereka yang utama, karena warta asmara maut Pranacitra bagaimanapun pahitnya harus mereka sampaikan kepada Nyai Singabarong.

Demi menjaga keamana dari intaian para begundal Mataram yang berjaga di gerbang perbatasan Jagaraga di tepian Bogowonto, mereka memutuskan terus menyusuri pantai ke arah Pagelen. Perjalanan selanjutnya mereka rencanakan menyusuri sepanjang Urut Sewu ke utara melewati ketinggian puncak Dieng Wonosobo untuk kemudian turun di Candiroto. Dari sana tinggal turun lagi ke Weleri dan mengarah ke barat tepat ke Pekalongan.

Menjelang senja mereka telah melewati muara Bogowonto yang lembut mengantarkan alur keruh air gunungnya. Akhirnya diputuskanlah untuk menginap untuk sekedar melepas lelah agar segar bugar keesokan harinya. Melihat alam sekitar yang berawa penuh dengan buaya ganas dan ribuan nyamuk, serta auman berbagai penghuni hutan di kelebatan rimba Pagelen, mereka akhirnya memilih untuk menginap di rumah salah seorang penduduk Jali, dusun terdekat.

Tersebutlah Ki Legen dan Nyi Gendis suami istri yang kesehariannya bertani dan memetik buah nira sari kelapa untuk dibuat gula jawa. Di tempat para sepuh sederhana itulah akhirnya Duku dan para punakawannya menumpang berteduh. Atas saran Ki Legen, demi memastikan keamanan melintas arah utara, akhirnya mereka berketetapan untuk sedikit lebih mengulur waktu. Dan memang kesempatan tersebut ternyata sangat membahagiakan kedua kaki nini tersebut, yang memang sudah sekian lama ditinggalkan oleh anak cucunya, sehingga jadilah Genduk Duku dianggap sebagai anaknya sendiri.

Akhirnya setelah keadaaan aman, diteruskanlah perjalanan sesuai dengan rencana semula. Setibanya di Pekalongan, betapa Nyai Singobarong sangat berduka atas gugurnya satu-satunya anak penerus langkah hidupnya. Ia begitu terharu menyimak kisah Rara Mendut, meski belum pernah dijumpainya namun keyakinannya mengatakan pastilah bukan wanita sembarangan yang bisa meruntuhkan hati putra tercintanya. Dan bagaimanapun seakan Rara Menduk melekat dekat di lubuk terdalam hati tuanya.

Meski Nyai Singobarong mengasihi Duku selayaknya putri kandungnya, namun tekad Duku akan kembali ke Telukcikal sekedar memberikan warta nyata mengenai puannya kepada siwa kakung putri sang nelayan miskin. Atas saran Nyai dan untuk memastikan keselamatan Duku, dititipkanlah ia pada seorang nelayan Pati yang kebetulan singgah untuk membeli layar dan peralatan melaut baru.

Sama-sama tidak percaya Nyai dan Duku melihat pemuda Pati yang sungguh sigar mayang mirip dengan Pranacitra. Hanya memang pelaut yang satu ini sedikit lebih hitam dan nampak kekar badannya. Rupanya Si Slametlah, nelayan muda yang datang tersebut. Ia adalah anak yatim yang selama ini juga ikut ngenger belajar melaut kepada siwa nelayan.

Kesedihan memenuhi relung hati siwa berdua begitu mendengar kisah duka cucunda terkasih. Namun bagi kawula alit semacam mereka, semua kejadian hanyalah sekedar nglakoni kersaning Kang Hakarya Jagad, dan semua itu harus diterima dengan sikap sumarah lan pasrah.

Atas nasehat siwa kakung putri, Slamet dan Duku diperjodohkan untuk meneruskan garis para elang laut pantai Pati yang gagah berani. Dua pasang musim berlalu mengingatkan Duku untuk mencari tempat yang dirasa paling aman bagi pelarian Mataram, yang senantiasa tiada pernah dapat mengenyam angin kebebasan sepenuhnya. Secara nalar negeri yang berseberangan haluan, bahkan barangkali secara politik sebagai musuh Mataram tentu akan aman bagi Duku.

Akhirnya diputuskan pasangan suami istri pelaut tersebut akan berlayar menuju ke tanah Gunung Jati Cirebon. Namun untuk memastikan dimana tempat tujuan yang pasti di Cirebon nantinya, Slamet memerlukan untuk mampir di Jepara menanyakan kepada kawannya.

Akhirnya perjalanan itupun dimulai. Sayang seribu sayang, Jepara sebagai gerbang utama Mataram di pantai utara saat ini tengah dilanda ketegangan dengan kapal dagang Pe-O-Se. Jadilah mereka harus sangat hati-hati, karena perondaan dari pihak Mataram sangat ketat.

Dengan susah payah akhirnya berhasillah biduk Slamet mendarat di tepian pantai Jepara agak pinggiran. Perjalanan sengaja akan dilanjutkan dengan jalan kaki demi keamanan yang lebih pasti. Namun sekali lagi nasib keberuntungan meninggalkan pasangan suami istri tersebut. Dengan dalih sebagai warga suatu kampung, pak dukuh menangkap mereka untuk dikaryakan sebagai tenaga logistik yang ikut mengawal rombongan tawanan Londo dari Betawi.

Akhirnya perjalan nestapa ke kotaraja Mataram di Kerta harus terulang dijalani oleh Genduk Duku. Namun berbeda dengan perjalanan yang dulu sebagai putri boyongan yang serba enak ditandu, kali ini Duku adalah tawanan bahkan budak Mataram. Perjalanan yang berat menjadikan Duku sakit-sakitan dan tidak dapat mengerjakan tugas dengan baik, sehingga atas kebijakan penghulu prajurit suami istri Slamet-Duku ditinggalkan di Taji, gerbang timur kotaraja.

Beberapa saat tinggal di Taji untuk sekedar menyembuhkan sakitnya, Duku kemudian menyusup ke puri Wiragunan menjumpai Putri Arumardi. Perjumpaan dua sahabat lama itupun diwarnai dengan isak tangis pilu nan menyanyat bagi yang mendengarnya. Atas nasehat sang putri, Duku diperintahkan untuk sowan saja kepada Bendara Pahitmadu di pesanggrahannya, dan bila mungkin minta saja mengabdi di sana. Jika Duku mengabdi kepada Bendara Pahitmadu, sudah pastilah suaka keamanan akan didapatkannya atas jaminan bendaranya.

Akhirnya demikianlah yang dijalani Duku, kedatangannya di pesanggrahan membuat hati Bendara Pahitmadu girang bukan kepalang dan seakan berjumpa kembali dengan anak gadisnya sendiri. Meski status hanyalah sekedar sebagai abdi, namun dalam kenyataannya bendara bijak yang satu ini memang menganggap Duku lebih dari sekedar anak kandungnya sendiri.

Di belahan kotaraja Karta yang lain, terkisahlah ndalem beteng kedaton yang sering digegerkan oleh ulah putra mahkota Raden Mas Jibus, alias Raden Mas Sayidin, alias Raden Mas Rangkah. Melebihi Pangeran Alit dari segi bibit, bobot, dan bebet  karena dilahirkan dari Permaisuri Kanjeng Ratu Ibu, putri dari Batang, menjadikan Jibuslah yang ditetapkan sebagai Pangeran Aria Mataram. Meskipun sesungguhnya para sesepuh dan penasehat raja menyayangkan akhlak sang putra mahkota.

 Calon pewaris tahta ini seakan bertolak belakang sifat dengan ayahandanya Susuhunan Adiprabu Hanyakrakusuma. Semenjak menginjak usia remaja, gejolak kenakalannya telah melampaui batas kesusilaan. Kemana-kemana tahunya hanya bersenang-senang dan main perempuan. Hal ini barangkali tak lepas dari kedekatan sang pangeran bergaul dengan para tawanan Pe-O-Se yang serba bebas tidak kenal aturan moral.

Adalah Panglima Wiraguna yang sepeninggal Rara Mendut belum juga sadar akan kegemarannya memetik daun muda. Untuk kali ini perawan yang diinginkannya bernama Tejarukmi, putri seorang pengulu di Imogiri. Karena usia masih remaja, maka sengaja gadis tersebut diperlihara di puri Wiragunan sambil menunggu usia layak untuk dipersunting.

Pada suatu hari Jibus datang ke Wiragunan dan sempat melihat Tejarukmi. Dari mata turun ke kaki, terpatrilah niat jahat untuk merebut Tejarukmi dari si tua Wiraguna. Mengetahui gelagat kurang menguntungkan tersebut, Tejarukmi kemudian disembunyikan di pesanggrahan peristirahatan Putri Arumardi di tepian Bogowonto. Bukanlah Jibus jika tidak memiliki kaki tangan dan telik sandi yang dapat melacak keberadaan putri idamanannya.

Pada suatu senja yang temaram, secara mendadak menyerbulah serombongan orang berkuda ke pesanggrahan Arumardi. Tejarukmi sempat diculik secara paksa. Atas kebijakan Bendara Pahit Madu, Duku dan suaminya diperintahkan untuk menyelamatkan Tejarukmi dengan menyegat para penculik di pos Jagaraga. Dan dengan bantuan pengawal puri, Duku berhasil menyelamatkan Tejarukmi.

Atas jasa Duku dan Slamet tersebut, juga atas saran Putri Arumardi maka ditemukanlah keduanya kepada Panglima Wiraguna. Dalam pertemuan bisu tanpa sepatah pembicaraan, akhirnya Wiraguna menyatakan penyesalannya atas kejadian Rara Mendut-Pranacitra dan menyampaikan terima kasih atas penggagalan penculikan Tejarukmi. Dan untuk selanjtnya, Duku dan Slamet diminta menjaga pesanggrahan Putri Arumardi.

Kegagalan atas usaha untuk menculik Tejarukmi tidak menjadikan Jibus jera. Dengan memanfaatkan peluang di saat malam jamuan seusai setonan, diculiklah Tejarukmi untuk kedua kalinya. Pucuk dicinta ulam tiba, karena sesungguhnya cinta buta sang pangeran sebenarnya tidak bertepuk sebelah tangan. Nyatanya memang bila harus memilih, Tejarukmi jelas tidak sudi disunting panglima tua bangka Wiraguna.

Atas kejadian tersebut, Wiraguna dengan menghasut Pangeran Alit kemudian melaporkan kejadian memalukan tersebut kepada Kanjeng Susuhunan Hanyakrakusuma. Betapa marah baginda mendengar kenyataan memalukan tersebut. Akhirnya atas titah baginda, dihukumlah putra mahkota tidak boleh keluar istana dan harus berguru tapa kepada Tumenggung Singaranu. Selama masa hukuman tersebut, baginda tidak sudi melihat muka Raden Jibus.

Adapun terhadap Tejarukmi, wanita terculik yang tidak mengelak untuk diculik dan atas dakwaan perzinaan titah Baginda memutuskan hukuman mati. Sebagai pelaksana hukuman tersebut tiada lain adalah “pemilik” Tejarukmi, sang Wiraguna. Dan pada saat kepulangan rombongan Tejarukmi dari ksatriaan Raden Mas Jibus, sekonyong-konyong Wiraguna menghunus keris maut dan segera menyeruduk ke arah iringan sang putri yang memang telah sengaja berpakaian serba putih bak sang calon mayat.

Demi menyelamatkan Tejarukmi, Slamet menghadang laju Wiraguna, dan memuncratlah darah dari dada suami Duku tersebut. Tidak puas sampai di situ, Wiraguna dengan membabi buta menyeruduk dan mengobat-abitkan kerisnya, dan memang akhirnya Tejarukmi tewas tertikam kerisnya.

Menjerit histeris Duku melihat suaminya tewa berlimbah darah. Seakan bangkit segala dendam kesumat atas kematian Rara Mendut ditikam keris Wiraguna, Dukupun berontak merangsek menerjang sang panglima tua. Namun dengan sigap para pengawal berhasil menangkap tubuh Duku yang terus meronta hingga akhirnya jatuh tidak tersadarkan diri. Jika beberapa tahun dulu ia kehilangan bendaranya, maka kali ini Duku kehilangan belahan jiwanya. Terasa sakitlah hati Genduk Duku.

Dengan berlatar masa surut pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, Romo Mangun kembali membangun kisah lanjutan petualangan Genduk Duku sang abdi emban Rara Mendut. Intrik-intrik licik kehidupan di njero beteng kembali mewarnai kisah yang diangkat dalam buku ini. Di masa tersebut telah mulai nampak tanda-tanda kemunduran kerajaan Mataram yang jaya.

Keputusan Sinuwun Susuhunan untuk mewariskan tahta kepada Raden Mas Rangkah nampaknya adalah kesalahan sejarah yang fatal dan senantiasa disesali sepanjang masa oleh peradaban manusia. Kesuraman langit Mataram sepeninggal Sultan Agung di bawah pemerintah Susuhunan Amangkurat akan berlanjut dalam buku ketiga yang berkisah mengenai Lusi Lindri, putri emban handal penunggang kuda Genduk Duku.

Sumber:  (http://sangnanang.dagdigdug.com/2009/02/11/genduk-duku/)

No comments:

Post a Comment