Showing posts with label Mangunwijaya. Show all posts
Showing posts with label Mangunwijaya. Show all posts

Thursday, July 22, 2010

LUSI LINDRI (Buku III Trilogi Rara Mendut)

Dalam buku ke tiga ini Romo Mangun mengangkat kisah abdi Lusi Lindri, anak semata wayang Genduk Duku. Dengan berlatar belakang sejarah pemerintahan Susuhunan Amangkurat yang kejam dan tiran, kembali keserakahan dan kekejaman demi penurutan ambisi dan nafsu sebagian kalangan ningrat digambarkan secara apik dan dramatis.


Sepeninggal Slamet, sang suami, Genduk Duku mengabdikan diri kepada Bendara Pahitmadu di pesanggrahannya. Bendara yang satu ini memang selama masa hidupnya tidak pernah memiliki pendamping hidup. Dengan demikian keberadaan Duku dan si kecil Lusi merupakan kebahagian sebagai penuntas rasa kesepian di hari tuanya. Duku sudah dianggap seperti anaknya sendiri, dan Lusi tentu saja menjadi cucu kinasihnya.

Kasih sayang Bendara putri yang satu ini memang tulus dan suci. Sikap agung demikian memang sangat berlawanan dengan adiknya, Wiraguna. Di senja hari hidupnya, di tengah deraan sakit tua yang kian parah, berkunjunglah beberapa kerabat dan pejabat kalangan istana. Pada saat Wiraguna dan Tumenggung Singaranu berkunjung, terucaplah wasiatnya melalui Putri Arumardi. Diamanatkannya bahwa Genduk Duku diberinya warisan sebidang tanah di daerah Tempuran wilayah dataran Kedu. Dan kepada Putri Arumardi dipintanya untuk mengasuh Lusi Lindri dengan baik, dan kelak jika sudah remaja agar Lusi dititipkan untuk mengabdi kepada Nyai Pinundhi, istri Tumenggung bijak Singaranu di Puri Jagaraga.

Roda hidup memang senantiasa berputar sebagaimana menjadi titah Gusti Allah. Merenung dalam atas kelakuan putra mahkota Raden Mas Jibus membuat kesehatan Sinuwun Susuhunan Adiprabu Hanyakrakusuma surut. Dan memang takdir tak dapat ditolak ketika sang malaikat maut menjemput raja Mataram teragung tersebut menuju alam kasedan jati. Sultan Agung yang mendapatkan gelar sultan dari Mekah mangkat di tengah kegalauan hatinya memikirkan masa depan negaranya ini, kemudian dimakamkan di pemakaman yang beliau bangun sendiri di bukit Imogiri.

Sepeninggal Sultan Agung maka secara otomatis Raden Mas Jibus sebagai putra mahkota bergelar Pangeran Aria Mataram ditasbihkan menduduki tahta Mataram. Berbeda dengan kakek dan ayahandanya yang menyandang gelar Hanyakrawati dan Hanyakrakusuma, maka raja yang baru ini, dengan segala ambisi dan kesombongannya memilih Hamangkurat. Bumi dan jagad semesta ingin dipangkunya sebagaimana kegemarannya memangku wanita-wanita yang dirampasnya dari suami-suami dan orang tua mereka.

Kelompok kecil yang sebenarnya lebih menyukai Pangeran Alit, terutama para adipati petinggi dari brang wetan seperti Surabaya dan Madura menjadi berkecil hati atas sikap raja mereka yang baru. Ada desas-desus di kalangan dalam bahwa mereka satu per satu akan disingkirkan. Suasana demikian menjadikan Pangeran Alit bergejolak panas jiwa remajanya, hingga di suatu senja ia ingin melabrak istana sang raja. Situasi ini sebenarnya merupakan taktik Jibus untuk memancing emosi Pangeran Alit, hingga ia mempunyai alasan kuat untuk menyingkirkan duri dalam dagingnya.

Dan memang senja itu menjadi demikian sangat mencekam. Pangeran Alit remaja belia itu segera berhadapan dengan pengawal dalem. Dengan kemarahan yang tiada terkendali berhasil ditikamnya beberapa pejabat. Melihat gelagat demikian Adipati Sampang segera menerjang, dan hanya dalam beberapa gebrakan berhasil ditikamkannya keris pusakanya tepat mengenai leher sang Pangeran Alit. Senja itu telah menjadi saksi sejarah untuk pertama kalinya terjadi darah tumpah diantara anak cucu Panembahan Senapati.

Beberapa kalangan pejabat yang sangat setia kepada ayahandanya, namun berseberangan dengan kebiasaan jahatnya disingkirkan Amangkurat satu persatu. Diantara mereka adalah Tumenggung Dipayuda dan tentu saja sang Manggala Yudha Wiraguna. Wiraguna terutama, dianggap telah mempermalukan dirinya di muka Sultan Agung terkait peristiwa Tejarukmi. Dengan taktik menggempur Blambangan, keduanya dikirim memimpin pasukan perang Mataram. Bahkan dengan kelicikan Amangkurat, diperintahkanlah seorang pembunuh khusus untuk meracun Wiraguna dengan racun tikus.

Tidak hanya sang panglima yang ditumpas habis, segenap keluarga, para istri, selir, bahkan semua abdi harus dibantai sesuai titah raja. Demikian kejam hukum kerajaan dengan titah sang raja adalah takdir wali Tuhan di muka bumi. Tak lepas semua anggota Puri Wiragunapun akan dipenggal massal satu per satu.

Saat perintah demikian dititahkan, Tumenggung setia Singaranu mengutus Lusi yang sebagaimana ibunya sangat mahir menunggang kuda, untuk memberikan surat khusus kepada Putri Arumardi. Dengan bantuan Lusi akhirnya Putri Arumardi berhasil meloloskan diri sebelum pasukan khusus yang bertugas melaksanakan pembantaian tiba. Putri Arumardi kemudian melarikan diri ke arah barat hingga mencapai Kali Progo. Dari sana ia menyusur ke utara untuk tinggal bersama Genduk Duku di Tempuran, wilayah Kedu di selatan Gunung Tidar.

Tidak berhenti sampai di situ, antek-antek Jibus menghembuskan warta bahwa para ulama dan kaum santri melakukan perongrongan tahta yang menjurus kepada tindakan makar. Maka di suatu malam yang kelam tiada berbintang, terjadilah juga pembantaian masal terhadap kaum santri tersebut. Sebanyak 6000 nyawa melayang dalam waktu sekejab. Sejak awal para ulama memang selalu menyampaikan kritik soal perilaku tak bermoral Jibus, bahkan sewaktu Sultan Agung masih sugeng.

Kebijakan licik demikian sebenarnya sangat menjadikan Pangeran Purbaya, sang pamanda, yang diamanati secara khusus oleh Sultan Agung untuk memangkukan tahta Mataram kepada Jibus, menjadi sangat terpukul dan sedih tiada tara. Ketika hal tersebut sengaja dipertanyakannya kepada Amangkurat, jawaban yang diterimanya bahwa sebuah pohon hanya dapat tumbuh dengan baik apabila tidak banyak ranting dan dahan pengganggu. Dengan demikian ranting dan dahan pengganggu memas harus dipangkas. Dan mengenai Pangeran Alit, hal itu memang sudah menjadi pesten, takdir Yang Kuasa.

Kejadian-kejadian tragis di awal pemerintahan Amangkurat sudah pasti menjadikan Kanjeng Ratu Ibu, sang ibunda meratap sedih mengingat kebesaran Sultan Agung almarhum. Namun bagaimanapun diamnya seorang ibu, adalah menjadi kewajibannya untuk selalu memberikan perlindungan kepada putranya. Bagaimanapun juga bagi seorang ibu, kehormatan harus tetap dijunjung tinggi meski dengan cara berstrategi menutupi kerendahan akhlak putranya. Munafik memang kelihatannya, namun demikianlah peran ibu sang pelindung sejati sepanjang masa.

Atas gagasan Kanjeng Ratu Ibulah kemudian dibentuk satuan pengawal dalam Trisat Kenya. Pasukan tersebut bertugas mengamankan keselamatan raja dalam lingkaran terdalamnya, bahkan dalam sisi kehidupan paling privasinya. Pasukan pengawal ini, sesuai dengan namanya, terdiri atas tiga puluh perawan pilihan yang dididik secara khusus dengan ketrampilan olah kanuragan tinggi. Tugas seorang Trisat Kenya secara otomatis akan berakhir manakala sang raja menitahkannya untuk dihadiahkan kepada pejabat negara atau para adipati bawahan. Dan memang kebanyakan anggota Trisat Kenya dinikahi oleh para bawahan raja sebagai hadiah.

Pada suatu ketika, berkuranglah seorang Trisat Kenya setelah dinikahkan dengan seorang pejabat di Madiun. Sedikit berbincang, Kanjeng Ratu Ibu mneyampaikan hal tersebut kepada Nyai Pinundhi pada saat berkunjung ke Puri Jagaraga. Dan ketika Lusi Lindri keluar menghidangkan sajian, tuan rumah mengisahkan mengenai siapa Lusi, anak dari Genduk Duku sang abdi Rara Mendut yang legendaris itu. Bahkan Kanjeng Ratu Ibu juga mengetahui mengenai kisah affair Wiraguna di masa lalu itu. Saat mendengar mengenai keahlian Lusi dalam olah katuranggan sebagaimana ibunya yang berdarah Bima, secara terkesan Kanjeng Ratu Ibu menginginkan agar Lusi dapat mengabdi sebagai Trisat Kenya. Keinginan seorang ibunda raja adalah titah dan hukum yang harus ditaati.

Begitu tahu akan ditugaskan di dalam benteng istana, sesaat Lusi merasa terampas dari kemerdekaannya. Bagaimanapun Lusi remaja ini baru saja mengenal rasa cinta terhadap makhluk yang bernama lelaki. Beberapa kali mendapatkan tugas memandikan kuda di tepian bendungan dekat randu lanang di samping puri Pangeran Tuban, sering dijumpainya seorang peranakan Londo yang memikat hatinya. Pemuda tersebut bernama Hans. Hanes adalah anak dari seorang tawanan dari Betawi yang mempunyai keahlian bidang permeriaman. Tresno jalaran soko kulino, begitulah kata para leluhur. Meski sadar akan perasaannya, namun bagaimanapun juga Lusi hanyalah seorang abdi yang harus senantiasa taat terhadap titah bendaranya.

Selain mengawal baginda raja dalam acara-acara resmi kenegaraan, Lusi seringkali mendapatkan tugas khusus yang langsung dari Kanjeng Ratu Ibu. Suatu ketika di puncak kemarahannya, Pangeran Purbaya tidak mau sowan dalam paseban agung yang diselenggarakan setiap minggu. Pisowanan tersebut merupakan acara resmi kenegaraan sebagai bukti kesetiaan terhadap raja. Pejabat negara yang tidak mau hadir bisa dianggap sebagai pemberontak, dan konsekuensinya adalah hukuman pancung.

Di tengah keruncingan hubungan anak dan pamannya, maka Kanjeng Ratu Ibu mempunyai cara terhormat untuk mendamaikan keduanya. Suatu malam diutuslah Lusi untuk menyampaikan surat rahasia kepada Pengaran Purbaya. Isi surat tersebut meminta kepada sang pangeran untuk bertirakat di makam Sultan Agung malam itu juga. Menerima titah yang berhubungan dengan Sultan Agung membuat Purbaya rela berangkat ke Imogiri, meski untuk menjaga segala kemungkinan murka raja dibawanya lima ratusan prajurit plihan.

Di sisi lain, Kanjeng Ratu Ibu meminta putranya Susuhunan Amangkurat untuk juga bertirakat di makam ayahandanya sesuai wangsit yang diterimanya di tengah mimpi. Dengan berat hati Jibus menyanggupi pergi ke Imogiri di keesokan harinya. Akhirnya tanpa sepengetahuan anak-paman yang sedang berseteru itu, keduanya bertemu muka di depan makam Sultan Agung, tokoh yang sama-sama mereka takuti dan hormati. Dan dalam pertemuan tersebut berhasillah keduanya didamaikan. Pangeran Purbaya tidak harus dihukum mati, dan rajapun tidak kehilangan muka karena tidak bisa menghukum sang paman. Bahkan dalam pertemuan itu, raja menetapkan bahwa Pangeran Purbaya tidak lagi diwajibkan untuk selalu hadir dalam setiap pisowanan agung, hanya sekali-sekali saja jika dipandang perlu.

Kejadian besar tersebut dapat terjadi berkat kecakapan Lusi Lindri, kenya penunggang kuda trengginas yang harus selalu mendar-mandir menunggang kuda di tengah malam buta dari istana, Purbaya, Imogiri pulang pergi dalam waktu yang cepat. Di tengah kelelahannya, tanpa sadar Lusi tersesat jalan hingga di tepian Segarayasa. Danau buatan dari dibendungnya sungai Opak ini dibuat oleh raja terdahulu sebagai tempat rekreasi keluarga raja. Di sanalah Lusi kemudian bertemu dengan Pinaring, seorang duda beranak satu yang kelak menjadi pendamping hidupnya.

Tugas rahasia berbahaya lain dilakukan Lusi saat Amangkurat nandang wuyung, kasmaran dengan istri seorang dalang dari Pajang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa semenjak peristiwa Tejarukmi, Jibus tidak lagi dapat menunaikan tugas kelelakiannya. Hal ini dipercaya sebagai kutukan para santri yang dibantainya mencapai 6000 orang. Hanya saja konon memang rupa sang istri dalang sangat mirip Tejarukmi, hingga sang raja menjadi kasmaran.

Adalah inisiatif Kanjeng Ratu Ibu untuk menurutkan kehendak putranya. Maka lewat tangan Tumenggung Wiraprata sang penjilat setia raja, diaturlah suatu pembunuhan rahasia atas sang dalang. Lusi diperintahkan untuk menghadap Pangeran Selarong, adik Sultan Agung yang terkenal memiliki racun yang berasal dari tetesan darah manusia jin Ki Juru Taman. Namun demikian tak sembrangan, pangeran yang berperangai sableng dan suka mabuk-mabukan ini, mau menyerahkan racun mautnya. Maka membaca firasat jahat para penjilat raja, diberikanlah racun palsu yang dibawa oleh Lusi. Akhirnya dengan cara lain, sang dalang berhasil disingkirkan untuk selamanya.

Tugas Lusi kemudian menjemput sang janda kembang. Dengan dua anggota Trisat Kenya yang lain, dibawalah janda tersebut dengan sebuah kereta. Untuk mengurangi kecurigaan, maka sang janda kemudian sengaja disembunyikan di pondok Peparing, di tepian Segarayasa. Akhirnya pada hari yang tepat diboyonglah sang janda ke istana. Dan memang kemudian kegilaan Amangkurat dapat terobati, janda itupun kemudian dinikahinya dan diberinya gelar Kanjeng Ratu Malang. Malang memang esuai dengan nasibnya yang kehilangan suami tanpa sepengetahuannya, dan suami barunyalah sebenarnya otak di balik pembunuhan keji.

Merasa jenuh dengan rutinitas kesehariannya, dan sebenarnya lebih dari itu, Lusi sudah sangat muak dengan kemunafikan dan kekejaman para kaum ningrat di selingkaran raja keji Amangkurat. Ia kemudian megajukan diri untuk berlibur cuti mengunjungi ibunya di Tempuran. Saat tengah masa bebas tugas tersebutlah, berdua dengan ibunya ditengoklah Ki Legen dan Nyi Gendis di Jali.

Pada saat tiba di Jali, dilihatnya serombongan prajurit begundal Amangkurat yang diam-diam kemudian sangat dibencinya, tengah menyiksa Ki Legen. Pada saat itu raja tengah selesai menjalani masa tirakat, hingga kemudian ia berpotong rambut. Maka sudah menjadi hukum negara bahwa seluruh rakyat Matarampun harus mengikuti potong rambut. Melawan titah raja berarti hukuman mati balasannya. Dan celakanya Ki Legen tua lupa akan perintah yang disampaikan oleh tetua dukuhnya.

Menjumpai tindakan kesewanangan di depan mata, nurani Lusi berontak. Dengan membabi buta, diserangnya prajurit penyiksa tersebut. Terjadilah pertempuran sembunyi lari di perkebunan kelapa, hingga akhirnya satu per satu regu prajurit tersebut binasa di tangan seorang Trisat Kenya pembelot.

Saat kembali ke pondok Ki Legen, dijumpainya kakek tua tersebut telah tewas karena kepalanya dimasukkan ke dalam ketel berisi air legen mendidih, dan tergeletak disampingnya Nyi Gendis kaku memeluk suaminya. Ia rupanya terkena serangan jantung ketika melihat suaminya meradang nyawa. Dua kakek nenek dewa penolong bagi Genduk Duku telah tiada, dan mulai detik itu menggeloralah kebencian kepada sang Jibus Amangkurat.

Akhirnya dengan bergegas karena menyadari diri mereka telah menjadi buronan musuh negara, Duku dan anaknya kembali ke Tempuran. Mereka sangat sadar bahwa Tempuranpun tidak lagi aman bagi keselamatannya, hingga diputuskannya untuk meminta suaka kepada Tumenggung Singaranu dan Pangeran Selarong yang tengah dibuang di hutan Waladana.

Untuk menghindari perjumpaan dengan prajurit Mataram, mereka sengaja mengambil jalur memutar melewati celah Merapi Merbabu. Saat pendakian di Merapi, berjumpalah mereka dengan serombongan putra Wanawangsa. Wanawangsa adalah anak cucu keturunan Ki Ageng Gribig. Mereka sejak awal berdirinya Mataram sebenarnya telah menyimpan ketidaksukaan kepada keturunan Ki Pemanahan yang telah merengguk degan wahyu gagak emprit yang telah didapatkan oleh Ki Ageng Gribig. Meski telah ada kesepakatan bahwa kelak setelah keturunan ke tujuh, wahyu kedaton akan pindah lagi kepada keturunan Gribig, namun putra Wanawangsa memilih menyingkir di tanah Gunung Kidul yang tandus. Maka sejak saat itu bergabunglah Lusi dengan para “pembrontak” kaum Tepasangin dari Gunung Kidul tersebut.

Kewenangan dan kekejaman Amangkurat dalam memerintah Mataram menjadikan banyak para adipati di daerah membelot dari kekuasaan pusat. Di antara kelompok yang terkenal adalah para adipati brang wetan di bawah Trunojoyo, Pangeran Kajoran di Wedi, bahkan sang putra mahkotanya sendiri.

Kelaliman sikap Jibus sebagaimana dikhawatirkan oleh para pendahulunya benar-benar melemahkan citra kekuatan Mataram. Intrik dan kelicikan untuk menurutkan nafsu kuasa benar-benar menghantarkan Mataram menuju ke senjakalaning negari. Dan puncaknya adalah pada saat gelombang pasukan Trunojoyo berhasil mendobrak benteng kotaraja Plered yang sebenarnya telah kosong ditinggal lari oleh Amangkurat. Amangkurat memang raja pengecut yang tidak memiliki jiwa satria sedikitpun. Demi keselamatan sendiri, ia memilih tinggal glanggang colong playu.

Dalam novel ini sangat tergambar jelas kekejaman seorang Amangkurat, yang kemudian di sepanjang masa dikenang sebagai raja jawa paling kejam. Romo Mangun kembali mengangkat kisah kaum yang tertindas atas nama penguasa tahta. Mereka sebenarnya adalah kaum abdi yang sangat setia, namun demi membela kesetiaannya terhadap raja, mereka dijadikan tumbal kelanggengan nafsu kuasa. Apakah memang selamanya nasib rakyat hanya akan menjadi komoditas bagi sebagian elit untuk berkuasa dan mementingkan diri sendiri? Kembali kita diajak untuk belajar dari sejarah.

Sumber: (http://sangnanang.dagdigdug.com/2009/02/16/lusi-lindri/)

GENDUK DUKU (Buku II Trilogi Rara Mendut)

Sepeninggal Rara Mendut dan Pranacitra yang mengarungi samudra asmara dalam selaman kedalaman Laut Kidul setelah tertikam keris Sang Panglima Besar Wiraguna, Genduk Duku dan para punakawan Ntir-untir serta Bolu, para emban dan abdi setia sang terpidana melarikan kudanya menelusuri peisisir pantai ke arah barat. Seakan terbang mengawan di atas pasiran berbuih, mereka kesetanan menghindari kejaran pasukan Wiragunan yang tertinggal dua pal di belakang mereka. Dalam situasi serba gawat demikian nampaklah ketrengginasan Genduk Duku sebagai keturunan darah Bima yang sangat mahir olah katuranggan.


Sesuai dengan pesan petunjuk dari Putri Arumardi, sang selir Wiraguna, bahwa mereka bertiga diperintahkan mencari suaka kepada Bendara Pahitmadu di pesanggrahannya. Wanita utama bijaksana ini sebenarnyalah adalah kakak kandung Sang Manggala Yuda sendiri. Pada prinsipnya ia tidak sependapat dengan sikap adiknya yang memaksakan kehendak kepada gadis perawan dari Telukcikal, Rara Mendut. Ia mendengar kisah keteguhan Mendut dari surat yang disampikan putri Arumardi yang kemudian membuatnya sangat bersimpati sebagai sesama wanita utama.

Di kegelapan malam dengan bulan tersaput awan kelam, tiga kuda yang mereka tunggangi memasuki sebuah gerbang pelataran yang tertata rapi. Di depan pendopo joglo yang sedikit megah, dilihatnya seorang perempuan setengah baya terduduk anggun. Segera penunggang kuda turun dari pelananya dan menyampaikan sembah bakti juga sepucuk surat rahasia. Sejenak Bendara Pahitmadu membaca, “Hmmm, kalian aman sementara di sini. Wiraguna memang keterlaluan.”

Sementara di luar gerbang pesanggrahan prajurit Wirugunan yang mengejar tiga pelariaan majikannya hanya memandang untuk kemudian membalikkan kuda mereka menjauhi pesanggrahan Bendara Pahitmadu.

Menumpang beberapa hari di rumah Bendara Ayu tersebut, Genduk Duku kemudian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Pekalongan adalah tujuan mereka yang utama, karena warta asmara maut Pranacitra bagaimanapun pahitnya harus mereka sampaikan kepada Nyai Singabarong.

Demi menjaga keamana dari intaian para begundal Mataram yang berjaga di gerbang perbatasan Jagaraga di tepian Bogowonto, mereka memutuskan terus menyusuri pantai ke arah Pagelen. Perjalanan selanjutnya mereka rencanakan menyusuri sepanjang Urut Sewu ke utara melewati ketinggian puncak Dieng Wonosobo untuk kemudian turun di Candiroto. Dari sana tinggal turun lagi ke Weleri dan mengarah ke barat tepat ke Pekalongan.

Menjelang senja mereka telah melewati muara Bogowonto yang lembut mengantarkan alur keruh air gunungnya. Akhirnya diputuskanlah untuk menginap untuk sekedar melepas lelah agar segar bugar keesokan harinya. Melihat alam sekitar yang berawa penuh dengan buaya ganas dan ribuan nyamuk, serta auman berbagai penghuni hutan di kelebatan rimba Pagelen, mereka akhirnya memilih untuk menginap di rumah salah seorang penduduk Jali, dusun terdekat.

Tersebutlah Ki Legen dan Nyi Gendis suami istri yang kesehariannya bertani dan memetik buah nira sari kelapa untuk dibuat gula jawa. Di tempat para sepuh sederhana itulah akhirnya Duku dan para punakawannya menumpang berteduh. Atas saran Ki Legen, demi memastikan keamanan melintas arah utara, akhirnya mereka berketetapan untuk sedikit lebih mengulur waktu. Dan memang kesempatan tersebut ternyata sangat membahagiakan kedua kaki nini tersebut, yang memang sudah sekian lama ditinggalkan oleh anak cucunya, sehingga jadilah Genduk Duku dianggap sebagai anaknya sendiri.

Akhirnya setelah keadaaan aman, diteruskanlah perjalanan sesuai dengan rencana semula. Setibanya di Pekalongan, betapa Nyai Singobarong sangat berduka atas gugurnya satu-satunya anak penerus langkah hidupnya. Ia begitu terharu menyimak kisah Rara Mendut, meski belum pernah dijumpainya namun keyakinannya mengatakan pastilah bukan wanita sembarangan yang bisa meruntuhkan hati putra tercintanya. Dan bagaimanapun seakan Rara Menduk melekat dekat di lubuk terdalam hati tuanya.

Meski Nyai Singobarong mengasihi Duku selayaknya putri kandungnya, namun tekad Duku akan kembali ke Telukcikal sekedar memberikan warta nyata mengenai puannya kepada siwa kakung putri sang nelayan miskin. Atas saran Nyai dan untuk memastikan keselamatan Duku, dititipkanlah ia pada seorang nelayan Pati yang kebetulan singgah untuk membeli layar dan peralatan melaut baru.

Sama-sama tidak percaya Nyai dan Duku melihat pemuda Pati yang sungguh sigar mayang mirip dengan Pranacitra. Hanya memang pelaut yang satu ini sedikit lebih hitam dan nampak kekar badannya. Rupanya Si Slametlah, nelayan muda yang datang tersebut. Ia adalah anak yatim yang selama ini juga ikut ngenger belajar melaut kepada siwa nelayan.

Kesedihan memenuhi relung hati siwa berdua begitu mendengar kisah duka cucunda terkasih. Namun bagi kawula alit semacam mereka, semua kejadian hanyalah sekedar nglakoni kersaning Kang Hakarya Jagad, dan semua itu harus diterima dengan sikap sumarah lan pasrah.

Atas nasehat siwa kakung putri, Slamet dan Duku diperjodohkan untuk meneruskan garis para elang laut pantai Pati yang gagah berani. Dua pasang musim berlalu mengingatkan Duku untuk mencari tempat yang dirasa paling aman bagi pelarian Mataram, yang senantiasa tiada pernah dapat mengenyam angin kebebasan sepenuhnya. Secara nalar negeri yang berseberangan haluan, bahkan barangkali secara politik sebagai musuh Mataram tentu akan aman bagi Duku.

Akhirnya diputuskan pasangan suami istri pelaut tersebut akan berlayar menuju ke tanah Gunung Jati Cirebon. Namun untuk memastikan dimana tempat tujuan yang pasti di Cirebon nantinya, Slamet memerlukan untuk mampir di Jepara menanyakan kepada kawannya.

Akhirnya perjalanan itupun dimulai. Sayang seribu sayang, Jepara sebagai gerbang utama Mataram di pantai utara saat ini tengah dilanda ketegangan dengan kapal dagang Pe-O-Se. Jadilah mereka harus sangat hati-hati, karena perondaan dari pihak Mataram sangat ketat.

Dengan susah payah akhirnya berhasillah biduk Slamet mendarat di tepian pantai Jepara agak pinggiran. Perjalanan sengaja akan dilanjutkan dengan jalan kaki demi keamanan yang lebih pasti. Namun sekali lagi nasib keberuntungan meninggalkan pasangan suami istri tersebut. Dengan dalih sebagai warga suatu kampung, pak dukuh menangkap mereka untuk dikaryakan sebagai tenaga logistik yang ikut mengawal rombongan tawanan Londo dari Betawi.

Akhirnya perjalan nestapa ke kotaraja Mataram di Kerta harus terulang dijalani oleh Genduk Duku. Namun berbeda dengan perjalanan yang dulu sebagai putri boyongan yang serba enak ditandu, kali ini Duku adalah tawanan bahkan budak Mataram. Perjalanan yang berat menjadikan Duku sakit-sakitan dan tidak dapat mengerjakan tugas dengan baik, sehingga atas kebijakan penghulu prajurit suami istri Slamet-Duku ditinggalkan di Taji, gerbang timur kotaraja.

Beberapa saat tinggal di Taji untuk sekedar menyembuhkan sakitnya, Duku kemudian menyusup ke puri Wiragunan menjumpai Putri Arumardi. Perjumpaan dua sahabat lama itupun diwarnai dengan isak tangis pilu nan menyanyat bagi yang mendengarnya. Atas nasehat sang putri, Duku diperintahkan untuk sowan saja kepada Bendara Pahitmadu di pesanggrahannya, dan bila mungkin minta saja mengabdi di sana. Jika Duku mengabdi kepada Bendara Pahitmadu, sudah pastilah suaka keamanan akan didapatkannya atas jaminan bendaranya.

Akhirnya demikianlah yang dijalani Duku, kedatangannya di pesanggrahan membuat hati Bendara Pahitmadu girang bukan kepalang dan seakan berjumpa kembali dengan anak gadisnya sendiri. Meski status hanyalah sekedar sebagai abdi, namun dalam kenyataannya bendara bijak yang satu ini memang menganggap Duku lebih dari sekedar anak kandungnya sendiri.

Di belahan kotaraja Karta yang lain, terkisahlah ndalem beteng kedaton yang sering digegerkan oleh ulah putra mahkota Raden Mas Jibus, alias Raden Mas Sayidin, alias Raden Mas Rangkah. Melebihi Pangeran Alit dari segi bibit, bobot, dan bebet  karena dilahirkan dari Permaisuri Kanjeng Ratu Ibu, putri dari Batang, menjadikan Jibuslah yang ditetapkan sebagai Pangeran Aria Mataram. Meskipun sesungguhnya para sesepuh dan penasehat raja menyayangkan akhlak sang putra mahkota.

 Calon pewaris tahta ini seakan bertolak belakang sifat dengan ayahandanya Susuhunan Adiprabu Hanyakrakusuma. Semenjak menginjak usia remaja, gejolak kenakalannya telah melampaui batas kesusilaan. Kemana-kemana tahunya hanya bersenang-senang dan main perempuan. Hal ini barangkali tak lepas dari kedekatan sang pangeran bergaul dengan para tawanan Pe-O-Se yang serba bebas tidak kenal aturan moral.

Adalah Panglima Wiraguna yang sepeninggal Rara Mendut belum juga sadar akan kegemarannya memetik daun muda. Untuk kali ini perawan yang diinginkannya bernama Tejarukmi, putri seorang pengulu di Imogiri. Karena usia masih remaja, maka sengaja gadis tersebut diperlihara di puri Wiragunan sambil menunggu usia layak untuk dipersunting.

Pada suatu hari Jibus datang ke Wiragunan dan sempat melihat Tejarukmi. Dari mata turun ke kaki, terpatrilah niat jahat untuk merebut Tejarukmi dari si tua Wiraguna. Mengetahui gelagat kurang menguntungkan tersebut, Tejarukmi kemudian disembunyikan di pesanggrahan peristirahatan Putri Arumardi di tepian Bogowonto. Bukanlah Jibus jika tidak memiliki kaki tangan dan telik sandi yang dapat melacak keberadaan putri idamanannya.

Pada suatu senja yang temaram, secara mendadak menyerbulah serombongan orang berkuda ke pesanggrahan Arumardi. Tejarukmi sempat diculik secara paksa. Atas kebijakan Bendara Pahit Madu, Duku dan suaminya diperintahkan untuk menyelamatkan Tejarukmi dengan menyegat para penculik di pos Jagaraga. Dan dengan bantuan pengawal puri, Duku berhasil menyelamatkan Tejarukmi.

Atas jasa Duku dan Slamet tersebut, juga atas saran Putri Arumardi maka ditemukanlah keduanya kepada Panglima Wiraguna. Dalam pertemuan bisu tanpa sepatah pembicaraan, akhirnya Wiraguna menyatakan penyesalannya atas kejadian Rara Mendut-Pranacitra dan menyampaikan terima kasih atas penggagalan penculikan Tejarukmi. Dan untuk selanjtnya, Duku dan Slamet diminta menjaga pesanggrahan Putri Arumardi.

Kegagalan atas usaha untuk menculik Tejarukmi tidak menjadikan Jibus jera. Dengan memanfaatkan peluang di saat malam jamuan seusai setonan, diculiklah Tejarukmi untuk kedua kalinya. Pucuk dicinta ulam tiba, karena sesungguhnya cinta buta sang pangeran sebenarnya tidak bertepuk sebelah tangan. Nyatanya memang bila harus memilih, Tejarukmi jelas tidak sudi disunting panglima tua bangka Wiraguna.

Atas kejadian tersebut, Wiraguna dengan menghasut Pangeran Alit kemudian melaporkan kejadian memalukan tersebut kepada Kanjeng Susuhunan Hanyakrakusuma. Betapa marah baginda mendengar kenyataan memalukan tersebut. Akhirnya atas titah baginda, dihukumlah putra mahkota tidak boleh keluar istana dan harus berguru tapa kepada Tumenggung Singaranu. Selama masa hukuman tersebut, baginda tidak sudi melihat muka Raden Jibus.

Adapun terhadap Tejarukmi, wanita terculik yang tidak mengelak untuk diculik dan atas dakwaan perzinaan titah Baginda memutuskan hukuman mati. Sebagai pelaksana hukuman tersebut tiada lain adalah “pemilik” Tejarukmi, sang Wiraguna. Dan pada saat kepulangan rombongan Tejarukmi dari ksatriaan Raden Mas Jibus, sekonyong-konyong Wiraguna menghunus keris maut dan segera menyeruduk ke arah iringan sang putri yang memang telah sengaja berpakaian serba putih bak sang calon mayat.

Demi menyelamatkan Tejarukmi, Slamet menghadang laju Wiraguna, dan memuncratlah darah dari dada suami Duku tersebut. Tidak puas sampai di situ, Wiraguna dengan membabi buta menyeruduk dan mengobat-abitkan kerisnya, dan memang akhirnya Tejarukmi tewas tertikam kerisnya.

Menjerit histeris Duku melihat suaminya tewa berlimbah darah. Seakan bangkit segala dendam kesumat atas kematian Rara Mendut ditikam keris Wiraguna, Dukupun berontak merangsek menerjang sang panglima tua. Namun dengan sigap para pengawal berhasil menangkap tubuh Duku yang terus meronta hingga akhirnya jatuh tidak tersadarkan diri. Jika beberapa tahun dulu ia kehilangan bendaranya, maka kali ini Duku kehilangan belahan jiwanya. Terasa sakitlah hati Genduk Duku.

Dengan berlatar masa surut pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, Romo Mangun kembali membangun kisah lanjutan petualangan Genduk Duku sang abdi emban Rara Mendut. Intrik-intrik licik kehidupan di njero beteng kembali mewarnai kisah yang diangkat dalam buku ini. Di masa tersebut telah mulai nampak tanda-tanda kemunduran kerajaan Mataram yang jaya.

Keputusan Sinuwun Susuhunan untuk mewariskan tahta kepada Raden Mas Rangkah nampaknya adalah kesalahan sejarah yang fatal dan senantiasa disesali sepanjang masa oleh peradaban manusia. Kesuraman langit Mataram sepeninggal Sultan Agung di bawah pemerintah Susuhunan Amangkurat akan berlanjut dalam buku ketiga yang berkisah mengenai Lusi Lindri, putri emban handal penunggang kuda Genduk Duku.

Sumber:  (http://sangnanang.dagdigdug.com/2009/02/11/genduk-duku/)

RARA MENDUT (Buku I Trilogi Rara Mendut)

Nun di kesunyian pantai Telukcikal di wilayah Kadipaten Pati tersohorlah kelincahan seorang putri duyung Rara Mendut. Ia seorang yatim piatu yang dipelihara hidupnya oleh siwa nelayan kakung putri. Adalah kebiasaan Sang Rara mengikuti siwanya mengembara menundukkan gelombang dan karang, juga badai topan. Jiwa pelaut yang mengalir melalui urat darahnya merupakan keanggunan alam liar yang sangat menantang bagi setiap petualang.

Mendengar kabar angin mengenai Sang Rara, tak kalah Adipati Pragola II yang berkuasa atas Kadipaten Pati ikut kesengsem dan berminat menjadikannya sebagai selir di dalam purinya. Akhirnya dengan pemaksaan kekuatan prajurit dirampaslah Rara Mendut dari siwa kakung putrinya.

Di kala masa yang bersamaan sedang meruncinglah hubungan antara Sinuwun Ing Alaga Mataram dengan Sang Adipati yang tidak mau lagi atur bulu bekti ke pemerintah pusat di Kerta. Hal demikian membuat Mataram berencana nggecak perang ke Pati. Kesibukan untuk menyambut tantangan Panglima Besar Wiraguna Jaya Mataram, menyebabkan Sang Adipati tidak dapat langsung memetik keranuman buah Rara Mendut. Rara Mendut sengaja ditempatkan di keputren untuk menjalani didikan unggah-ungguh ndalem kedhaton di bawah asuhan abdi kinasih Ni Semangka dan emban kecil Genduk Duku.

Akhirnya benarlah terjadi hari naas kejatuhan Kadipaten Pati oleh serangan Mataram yang dipimpin Manggala Yuda Wiraguna. Sebagai bukti kemenangan Mataram adalah kepala Adipati Pragola yang terpenggal untuk dipersembahkan kepada Sinuwun Ing Alaga Mataram. Semua kerabat dan keluarga adipati dibantai habis sebagaimana hukum perang yang berlaku saat itu. Segala isi puri Patipun dijarah rayah, bahkan termasuk para putri dan garwa selir diambil paksa sebagai putri boyongan. Demikianlah nasib Rara Mendut bersama para emban dan abdi kinasih puri harus ikut boyong ke Mataram.

Perjalanan para tawanan perang menuju kotaraja itupun dimulai. Meski ditandu oleh prajurit dengan segala pelayanannya, namun tawanan tetaplah tawanan yang telah kehilangan kebebesan dan kemerdekaannya karena sudah menjadi titah dalem bahwa segala hal di dalam kukuban kekuasaan Sang Raja Binatara adalah menjadi milik raja, termasuk para wanita dan prawan-prawannya.

Perjalanan berat dengan ratusan ribu bregada prajurit menempuh jalur arah barat melewati Semarang untuk kemudian membelok ke selatan arah Rawa Pening. Selepas itu kelebatan hutan Boyolali diterabas hingga mencapai gerbang kotaraja di desa Taji. Sepanjang perjalanan umbul-umbul dan panji-panji dikibarkan dengan diiringi genderang kemenangan yang menggema yang selalu disambut meriah warga dusun. Panglima Besar Wiraguna memimpin barisan dengan gagah perkasa menunggah gajah yang tinggi besar sangat berwibawa.

Setelah menyambut kedatangan pasukan kebanggaannya Susuhunan Hanyakrakusuma menyampaikan titahnya. Dan adalah hak seorang raja besar terhadap semua harta pampasan perang dan termasuk semua putri boyongan, namun atas kemurahan dalem dihadiahkanlah Rara Mendut kepada sang Wiraguna. Hmmm…betapa mongkok dada
Manggala Yuda yang sudah berumur tujuh windu itu. Singkat cerita Rara Mendut akhirnya menjadi putri di puri Wiragunan.

Adalah lumrah hati wanita yang tak rela sepenuhnya apabila dirinya dimadu, meskipun adat di kala itu menempatkan wanita sebagai makhluk yang tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Wanita adalah milik raja, dan segala titah atas dirinya haruslah disendiko dawuhi. Namun Wiraguna memang panglima tua dengan istri segudang. Adalah Nyai Ajeng sang istri perdanapun adalah anugrah Susuhunan, ditambah lagi Putri Arumardi dari lereng Merapi, Putri Arimbi, Putri Sengsemwulan, Mawarwungu……kurang apa lagi? Pantaslah bila para pendamping pendahulu tersebut cemburu dan membenci Rara Mendut.

Namun bukanlah Wiraguna sang singa di medan laga, jika tidak menginginkan tandingan yang seimbang. Wanita dengan segala kelemahlembutan adalah hal biasa, dan itu semua sudah didapatkannya dari selir-selirnya. Namun wanita dengan naluri keliaran alam dan riak gelombang badai lautan, hanyalah Rara Mendut yang memilikinya.

Kegundahan sang senopati merasakan kegemasan hatinya karena tepukan tangannya yang tidak berbalas oleh Rara Mendut. Maka dengan cara licik atas desakan Nyai Ajeng, diwajibkannya Rara Mendut untuk membayar pajak kepadanya sebesar tiga real sehari. Jumlah uang tiga real bagi orang kebanyakan adalah jumlah yang sangat banyak, dan tidak terbayang oleh Rara Mendut beserta dayangnya bagaimana mendapatkan uang pajak tersebut.

Akhirnya dengan seijin Panglima Wiraguna, Rara Mendut berjualan rokok di muka pasar kotaraja. Berbeda dengan julan rokok kebanyakan, rokok yang dijual Rara berupa tegesan atau puntung rokok. Rokok utuh disulut lalu diisap oleh Rara, nah bekas isapan rokok tersebutlah yang diperebutkan para pembeli. Kok bisa laku?

Bagaimana tidak laku, tegesan yang telah basah dengan ludah sang putri cantik boyongan dari Pati, yang tersohor kecantikannya bagai Dewi Ratih. Namun demikian untuk tetap menjaga wibawa Wiraguna atas putri boyongannya, Rara Mendut hanya diperkenankan jualan rokok di balik tirai jambon hingga para pelanggannya tidak dapat melihatnya secara langsung. Justru tandu berbentuk bilik dengan tirai jambon yang senantiasa dijaga oleh pengawalan prajurit Wiragunan itulah yang menambah penasaran banyak orang untuk merasakan rokok Rara Mendut.

Adalah seorang pemuda putra Nyi Singobarong pedagang kaya dari Pekalongan yang bernama Pranacitra kebetulan ada urusan dagang di kotaraja. Ia sengaja ke kotaraja
Kerta dengan dikawal Ntir-untir dan Bolu abdi setianya. Mendengar kabar kedai rokok bertirai itupun mereka penasaran, dan ingin mengunjungi sekedar mencicipi rokok Rara Mendut.

Dengan siasat dan tipu daya para abdinya, Pranacitra tidak hanya membeli rokok semata, ia bahkan berhasil bertatap muka dengan sang Rara. Dan akhirnya jatuh cintalah kedua insan tersebut dalam pandangan pertama. Pertemuan-pertemuan sesaat itupun berlanjut.

Akhirnya pada Seloso Kliwon, saat dilaksanakan pertandingan adu jago di Prawirataman, berbondonganlah warga ingin menyaksikan pertunjukan hiburan meriah tersebut. Suasana kemeriahan dengan keruman banyak orang itu dimanfaatkan oleh Pranacitra untuk sedikit memancing kegaduhan hingga terjadilah ontran-ontran di kotaraja. Kerumunan massa menjadi panik, berlarian ke sana ke mari saling bertabrakan.

Kesempatan segera dimanfaatkan Pranacitra untuk membawa Rara Mendut keluar menjauhi kotaraja. Jauh di batas kota, dua insan yang sedang mabuk kepayang dibuai dewa asmara itupun melampiaskan kerinduannya. Dunia serasa hanya milik mereka berdua.

Namun pada saat Pranacitra ingin mengajak Rara Mendut untuk sekalian lari dari Puri Wiragunan, ternyata Rara belum menyanggupinya. Rara masih berat hati karena belum sempat berpamitan dengan Putri Arumardi, sahabat sejatinya yang senantiasa mendengarkan curahan hatinya di saat-saat kesepian di dalam puri. Putri Arumardilah yang senantiasa menguatkan hati Rara, dan mereka telah bersumpah mengangkat saudara. Akhirnya dengan ditumpangkan pedati pak tani yang membawa hasil buminya ke kotaraja Rara Mendut kembali ke dalem Wiragunan.

Siasat untuk melarikan Rara Mendut kemudian diatur oleh Pranacitra dengan berpura-pura menjadi abdi di Wiragunan. Singkat kisah, karena ketekunan dan kerajinannya dalam menjalankan tugas sehari-hari, Pranacitra menjadi abdi kesayangan Sang Panglima Wiraguna. Hal ini jelas sangat menguntungkan untuk mencari celah saat yang tepat bagi pelariannya dengan Rara Mendut.

Akhirnya saat yang dinanti itupun tiba. Di tengah malam gelap kelam tanpa bulan dan bintang, suara burung uhuk seakan pertanda akan terjadinya peristiwa yang menggegerkan. Dan memang dengan menunggang kuda perkasa milik Sang Panglima, Pranacitra berhasil melarikan Rara Mendut. Adalah Nyai Ajeng yang di kemudian hari bersimpati atas nasib Rara Mendut yang tidak mau diperistri suaminya dibantu Putri Arumardi, turut merencakan pelarian tersebut.

Dan adalah Nyai Ajeng pula yang kemudian melaporkan bahwa telah terjadi penculikan terhadap Rara Mendut kepada suaminya. Geram Wiraguna merasa kebobolan. Diperintahkannya seluruh pasukan Wiragunan untuk mengejar kedua pelarian hidup atau mati. Kekalutan hati, rasa malu diperdaya dan kehilangan muka yang mendera Sang Panglima tua menjadikannya hilang kesadaran dan jatuh pingsan.

Di keesokan harinya, setelah sadar dari pingsan semalamannya, Wiraguna semakin muntab mendengar laporan pasukannya gagal menangkap Rara Mendut. Akhirnya diputuskannya untuk memimpin sendiri pengejaran.

Bukanlah pasukan Wiragunan jika hanya untuk mengejar dua orang pelarian tidak sanggup menangkap dengan cepat. Prajurit Wiragunan adalah inti pasukan Mataram nan perwira penakhluk Madiun, Surabaya, Pasuruan dan seluruh pesisir pantai utara.

Akhirnya berhasillah dikejar Rara Mendut dan Pranacitra di muara Kali Opak. Pranacitra sang pemuda yang tidak berbekal ilmu kanuragan apapun ditantang Panglima Wiraguna sang senopati perkasa. Seluruh pasukan dan warga yang mengerubungi mereka diperintahkan untuk menjauh dari tepian pasir pantai, hingga mereka hanya bisa melihat dari kejauhan tiga bayangan hitam di keremangan senja pantai selatan tersebut.

Tanpa basa-basi terjadilah perkelahian yang jelas tidak seimbang. Rara Mendut hanya bisa selalu berlindung di balik punggung sang kekasih pujaan hatinya. Akhirnya tak lebih dari sepuluh jurus, Wiraguna berhasil mendesak Pranacitra dan pada sabetan keris selanjutnya berhasillah ditikamnya dada sang Pranacitra. Bersamaan dengan itu Rara Mendut mendekap erat punggung Pranacitra, hingga keris yang menembus sang pangeran cinta ikut menembus dadanya juga.

Tewaslah seketika dua sejoli dengan senyum bahagia disambut dewa-dewi asmara yang sengaja menebarkan aroma wangi bunga surgawi. Sang Wiraguna bersila tertegun merasakan gemuruh dadanya yang sesak mengingat kejadian yang baru terjadi. Diberikanlah penghormatan terakhir sebagai sesama ksatria yang memegang teguh darma harga dirinya, sebelum akhirnya gelombang pantai Selatan menyambut kedatangan dua makhluk pecinta sejati tersebut.

Demikianlah sekilas kisah percintaan abadi Rara Mendut dan Pranacitra yang diabadikan oleh Rama Mangunwijaya dalam bentuk sebuah novel. Novel ini merupakan buku pertama dari Trilogi Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri yang dikarang di akhir tahun tujuh puluhan. Dengan penuturan yang runtut dan detail, serta gaya penulisan lugas yang sangat njawani menjadikan buku ini bisa dijadikan referensi novel sejarah juga.

Berlatar belakang masa keemasan Mataram di bawah Susuhunan Adiprabu Hanyakrakusuma Ing Alaga Sayidin Panatagama novel ini juga memberikan gambaran mengenai adat istiadat dan sistem hukum di kalangan para ningrat istana yang sangat sarat dengan konflik dan persekongkolan jahat. Hak rakyat di bawah sistem monarkhi absolut dimana raja adalah perwakilan Tuhan, adalah sebagai budak yang setiap saat harus menyerahkan segala miliknya, bahkan diri dan nyawanya apabila sang raja berkenan memintanya.

Romo Mangun berusaha mengangkat fakta intrik di balik tinggi tembok istana. Tak selamanya kaum ningrat memiliki derajat hati ningrat pula, namun satu hal yang pasti bahwa pergulatan antara kebenaran dan kebatilan tiada akan pernah berhenti selama jagad bumi masih berputar.

Sumber: (http://sangnanang.dagdigdug.com/2009/02/06/rara-mendut/)