Showing posts with label Artikel. Show all posts
Showing posts with label Artikel. Show all posts

Friday, July 23, 2010

Soermarsono, Golongan Kiri, dan Pergolakan Seputar Proklamasi

I

MESKI berjuang habis-habisan di pertempuran Surabaya pada 1945, Soemarsono, tokoh utama peristiwa 10 November itu, sebenarnya putra Temanggung, Jawa Tengah. Ayahnya seorang pemeluk Islam yang taat. Bahkan, punya surau di pekarangan rumahnya. Dia anak dari istri kedua bapaknya, pegawai mantri cacar di zaman Belanda itu. Saat waktunya masuk HIS (setingkat SD), dia ditolak karena ayahnya sudah pensiun. Dianggap sudah bukan lagi pegawai Belanda.

Itu berarti, sejak kecil Soemarsono sudah mendapat pengalaman jiwa yang kurang enak kepada Belanda. Ketika akhirnya bisa ditampung di sekolah Kristen yang juga berbahasa Belanda, dia kembali punya pengalaman kejiwaan yang berat: memergoki kepala sekolahnya yang Belanda sedang memangku murid wanita dalam keadaan yang tidak pantas diceritakan. Dia langsung jadi pendiam beberapa hari. Meski terus menolak menceritakan penyebabnya, akhirnya tidak ada jalan menghindar. Anak kecil selalu saja tidak bisa menyimpan kepolosan jiwanya.

Cerita itu meluas ke keluarga si gadis. Jadinya heboh. Soemarsono ditekan di sekolah. Padahal, sudah waktunya penentuan nilai kelulusan. Dia diberi nilai jelek dan dipukul. Bahkan, karena begitu marahnya si Belanda, ijazah Soemarsono yang hari itu sudah siap diserahkan bernasib tragis. Ketika Soemarsono sudah berjalan ke depan kelas untuk mendapat giliran menerima ijasah, si Belanda tidak menyerahkannya, melainkan merobek-robeknya.

Dengan kejiwaan seperti itu, Soemarsono remaja kemudian ke Jakarta, ikut salah seorang kakaknya. Dia dikursuskan di berbagai bidang dan akhirnya dapat bekerja di bagian arsip kantor keuangan.

Selama tumbuh dewasa di di Jakarta itulah, Soemarsono bergaul dengan anak-anak muda dari golongan kiri. Pergaulannya lama-lama meluas dan akhirnya kenal dengan tokoh-tokoh kiri. Hanya disebut "kiri" karena saat itu PKI (Partai Komunis Indonesia) secara resmi dilarang. Yakni sejak pemberontakan PKI pada 1926. "Kalau dengan Mr Amir Syarifudin, saya bertemunya di gereja," ujar Soemarsono. Amir adalah tokoh sentral golongan kiri. Ketua PKI ilegal. Sebab, Musso (pimpinan PKI) menyingkirkan diri ke Rusia untuk menghindari kejaran Belanda. Tan Malaka, tokoh utama kiri lainnya, sudah dipecat karena dianggap tidak sejalan dengan garis partai.

Soemarsono memang aktif ke gereja. Di situlah dia didoktrin oleh Amir bahwa seorang Kristen harus aktif di pergerakan perjuangan menentang penjajahan Belanda.

Maka, ketika di kemudian hari dalam pertempuran Surabaya dia lebih tunduk kepada Amir daripada kepada Bung Karno, memang riwayatnya panjang seperti itu. Demikian juga mengapa Soemarsono menjadi tokoh utama peristiwa Madiun. Juga karena dia harus tunduk kepada Amir. Saat itu Amir bersama-sama dengan Muso memegang jabatan pimpinan puncak golongan kiri di Indonesia.

Memang harus diakui, di zaman menjelang kemerdekaan pada 1945 itu para pemuda dari golongan kiri sangat radikal melawan Belanda -dan kemudian Jepang. Mereka bergerak di bawah tanah. Mereka juga berseberangan dengan taktik yang dijalankan Bung Karno. Bahkan, mereka kesal kepada Bung Karno yang selalu bekerja sama dengan penjajah Jepang.

Waktu itu yang disebut golongan kiri bukan hanya PKI ilegal. Ada semacam "kiri luar", "kiri tengah", sampai "kiri dalam". Sjahrir (yang kemudian jadi perdana menteri di awal kemerdekaan), Djohan Syahruzah, dan lain-lain termasuk golongan kiri luar yang di kemudian hari meninggalkan kelompok kiri mendirikan partai sendiri: Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ada kelompok Chairul Saleh, Adam Malik, dan lain-lain yang tergolong kiri tengah yang kemudian juga meninggalkan barisan kiri dengan mendirikan Partai Murba. Lalu, ada kelompok Wikana, Aidit, Musso, dan lain-lain (termasuk Soemarsono yang tergolong masih paling kecil) tetap di jalur kiri dalam dan kemudian tergabung dalam PKI resmi. Lalu, ada lagi kiri lepas yang mencakup nama seperti Tan Malaka dan teman-temannya.

Semua golongan kiri itu ada kalanya bersatu, tapi ada kalanya bermusuhan. Posisi Bung Karno sungguh sulit. Apalagi di luar golongan kiri masih banyak golongan lain yang juga mengaku peranannya besar. Tambah lagi golongan ini pun juga terdiri atas banyak posisi: ada "kanan dalam", "kanan luar", dan "kanan tengah". Suasana politik waktu itu memang sangat rumit. Tidak ada kelompok tengah yang dominan yang membuat pemerintahan bisa stabil. Bung Karno ada di antara kiri dan kanan yang terus bersaing. Berbeda dengan sekarang di saat kelompok tengah sudah sangat dominan, meski juga masih tercecer di beberapa partai tengah seperti Partai Demokrat, Golkar, dan PDI-P. Kalau saja tiga partai ini bisa melebur dalam satu wadah, sejarah Indonesia akan sangat berubah. Setidaknya, kalau bisa dimulai dari embrionya dulu: bersatu dalam sebuah koalisi.

Saya baru tahu dari penuturan Soemarsono itu bahwa perpecahan Soekarno-Hatta ternyata sebenarnya berawal dari kasus dihukum matinya Amir Syarifudin dan 40 orang PKI di Magelang. Bung Karno tidak rela ada tindakan sekeras itu kepada orang-orang yang jasanya juga besar dalam memperjuangkan kemerdekaan. "Kepada anak-anak PKI waktu itu, Bung Karno itu tega larane gak tega patine", ujar Soemarsono. Maksudnya, tidak apalah kalau sekadar disakiti, tapi jangan dibunuh.

Bung Karno tentu mengetahui peranan golongan kiri dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tapi, Hatta punya pendapat lain. Para pejuang kiri itu dianggapnya hanya jadi pengacau yang menyulitkan pemerintah. Kemerdekaan Indonesia tidak segera diakui oleh negara-negara lain, menurut orang seperti Hatta, karena golongan kiri masih sangat kuat di Indonesia. Sedangkan negara-negara Barat yang diharapkan memberikan pengakuan dan bantuan kepada Indonesia umumnya negara-negara antikomunis. Misalnya, Belanda, Inggris, Australia, dan Amerika.

Saya bisa membayangkan sulitnya posisi Bung Karno. Apalagi Bung Karno itu, seperti dikemukakan Soemarsono, bisa jadi presiden karena jasa para pemuda golongan kiri. Yakni ketika para pejuang bawah tanah itu mulai mendengar bahwa Jepang sudah kalah perang di Asia Timur. Mereka memang aktif memonitor siaran radio luar negeri meski resminya penjajah Jepang melarang orang Indonesia mendengarkan siaran radio.

Saat itulah para pemuda golongan kiri dari berbagai posisi itu sepakat agar Indonesia segera menyatakan kemerdekaannya. Mumpung Jepang sudah kalah dan Belanda belum punya kesempatan kembali ke Indonesia. Hari-hari sekitar tanggal 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 Agustus ketika itu adalah hari-hari tidak jelas mengenai siapa yang berkuasa di Indonesia.

Maka, perhatian para pemuda tersebut tertuju kepada siapa yang harus memproklamasikan kemerdekaan itu. Nama Soekarno, di mata mereka, sama sekali tidak masuk dalam daftar orang yang pantas menyatakan kemerdekaan Indonesia. Mereka sedang tidak menyukai Bung Karno yang mereka nilai sebagai antek Jepang.

Dengan cepat, mereka memilih Amir Syarifudin-lah yang akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

II
Ganti Proklamator Dua Kali, Merdeka Tertunda Dua Hari

Setelah para pemuda pejuang itu bulat memutuskan bahwa Amir Syarifuddin-lah tokoh yang akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, muncul pertanyaan: bagaimana caranya agar keinginan itu terwujud? Waktunya sudah mendesak. Saat itu sudah tanggal 14 Agustus. Amir tidak di Jakarta. Dia sedang mendekam di Penjara Lowok Waru, Malang. Amir harus menjalani hukuman yang dijatuhkan penjajah Jepang. Dia dijatuhi hukuman mati. Hanya berkat jasa Bung Karno yang memang dekat dengan Jepang, hukumannya diubah menjadi seumur hidup.

"Waktu itu tidak ada pilihan lain. Musso tidak masuk hitungan karena sudah lama tinggal di Rusia. Bung Karno tidak masuk hitungan karena sikapnya yang memihak Jepang," ujar Soemarsono yang hari-hari itu tergolong pejuang yang paling yunior di antara para pemuda tersebut. Soemarsono kini masih hidup segar dengan status warga negara Australia. Saya tidak menyangka bahwa dia (usianya hampir 88 tahun) masih sesegar itu. Masih bisa melayani wawancara saya hampir lima jam dengan semangat tinggi dan tidak kelihatan lelah.

Saat pergolakan menjelang kemerdekaan itu, Soemarsono, tokoh kelahiran Kutoarjo (bukan Temanggung seperti tertulis kemarin) tersebut, masih di Jakarta. Baru beberapa minggu kemudian, dia ditugasi untuk berjuang di Surabaya yang selanjutnya dalam pertempuran Surabaya menjadi salah satu tokoh utama.

Menurut Soemarsono, kala itu ada ide yang radikal agar Amir bisa memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus 1945.

Amir harus dikeluarkan dari Penjara Lowokwaru secara paksa. Caranya: menculik dia. Namun, risikonya memang besar. Jepang secara de facto masih berkuasa. Bisa menggagalkan rencana proklamasi itu sendiri.

Dengan pertimbangan itu, dicarilah tokoh proklamator lain sebagai pengganti. Mereka lantas memilih Sjahrir yang meski bukan dari golongan "kiri dalam", tapi masih berbau kiri. Tidak ada suara yang tidak setuju. Sjahrir, di mata mereka, juga tidak punya cacat. Satu-satunya kekurangan hanyalah: kurang kiri. Tapi, setidaknya, tidak seperti Bung Karno yang dianggap terlalu menghamba ke Jepang.

Delegasi pun dikirim ke rumah Sjahrir. Dalam pertemuan itu, Sjahrir menyatakan tidak bersedia. Perdebatan di antara mereka sangat keras. Terutama setelah Sjahrir bahkan mengajukan nama Bung Karno saja. Rekomendasi Sjahrir itu menimbulkan pro-kontra di kalangan pejuang bawah tanah tersebut. Tapi, Sjahrir terus meyakinkan mereka. Alasan utamanya, proklamasi tersebut juga harus mendapat dukungan penguasa waktu itu. Termasuk harus didukung birokrasi pemerintah yang masih dikuasai Jepang. Tidak mung kin membentuk pemerintah tanpa punya birokrasi. Tanpa birokrasi, bagaimana pemerintah yang sudah diproklamasikan itu akan dijalankan? Pikiran Sjahrir, sebagaimana yang ada dalam buku-buku sekitar peristiwa ini, Bung Karno memang dekat dengan Jepang.

Para pemuda bawah tanah itu tetap keberatan. Bung Karno di mata mereka penuh cacat. Apalagi ketika mereka ingat bahwa demi pengabdiannya ke penjajah Jepang, Bung Karno sampai mau mengerahkan romusa. Yakni petani-petani dari Jawa yang dikirim ke Sumatera Utara untuk kerja paksa yang jumlahnya sampai, kata mereka, jutaan.

Melihat kerasnya penentangan para pemuda terhadap Bung Karno itu, Sjahrir memberikan jalan keluar. Bung Karno hanya akan dijadikan presiden sementara. Hanya untuk satu-dua tahun. Setelah itu diganti. Toh yang penting segera bisa merdeka dulu. Mumpung Jepang lagi kalah. Penundaan atas proklamasi bisa mengakibatkan kegagalan.

Akhirnya, pendapat Sjahrir diterima. Catatannya: Bung Karno adalah "proklamator cadangan" yang diturunkan ke lapangan karena terpaksa.

Lantas, diutuslah delegasi menemui Bung Karno. Ternyata, Bung Karno juga menolak. Alasannya, menurut Soemarsono, Bung Karno belum percaya bahwa Jepang sudah kalah. Bung Karno memilih menunggu saja Jepang memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia sebagaimana yang telah berkali-kali dijanjikannya.

Tapi, para pemuda yang sangat radikal itu tidak pernah percaya terhadap janji Jepang. "Mana ada penjajah rela menyerahkan daerah jajahannya," ujar Soemarsono. Paling-paling, kita dijanjikan "nanti", lalu "kelak", lalu "kemudian", dan akhirnya "nanti kelak di kemudian hari".

Menghadapi penolakan Bung Karno itu, para tokoh pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, dan Wikana tentu sangat kesal. Pikir mereka, tokoh-tokoh itu diajak merdeka kok tidak mau. Padahal, ini sudah tanggal 15 Agustus. Padahal, kalau saja Bung Karno mau, maka pada tanggal 15 Agustus 1945 itu, proklamasi sudah bisa dibacakan.

Melihat Bung Karno tetap menolak, para pemuda tersebut membuat skenario politik: menculik Bung Karno dan Bung Hatta untuk "dipaksa" mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Karena itulah, pada malam tanggal 15 Agustus itu, Bung Karno dan Bung Hatta diculik para pemuda dan dibawa ke Desa Rengasdengklok di timur Bekasi.

Tahu Bung Karno hilang, pemerintah Jepang bingung. Tapi, Jepang punya intelijen bernama Ahmad Subardjo yang juga dekat dengan pemuda pergerakan itu. Maka, dengan mudah, Jepang mengetahui di mana Bung Karno berada. Saya baru tahu dari Soemarsono ini bahwa Ahmad Soebardjo itu intel Jepang. Buku sejarah yang pernah saya pelajari di sekolah tidak pernah mengungkap peran Ahmad Soebardjo sebagai intel Jepang.

Kejadian selanjutnya sama dengan buku sejarah: ada yang bilang di Rengasdengklok-lah teks proklamasi itu disusun, ada juga yang bilang dibuat setelah tiba kembali di Jakarta. Ada yang bilang Bung Hatta-lah yang membuat konsepnya, lalu Bung Karno yang menuliskannya, ada pula yang bilang Mr Moh. Yamin-lah yang membuat konsepnya. Ada yang bilang Bung Karno dikembalikan ke Jakarta karena sudah setuju untuk membacakan proklamasi, ada juga yang bilang karena Jepang sudah memberikan lampu hijau untuk pernyataan proklamasi itu.

Yang jelas, dua hari setelah peristiwa Rengasdengklok itu, proklamasi dibacakan Bung Karno pada 17 Agustus 1945.

III
Ekstrem Kanan Kiri Oke, tapi Tengah Memimpin

Cara memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 seperti itu memang sangat khas cara berpikir kita sampai sekarang: Yang penting merdeka dulu! Bagaimana rumitnya urusan setelah itu baru dipikirkan kemudian.

Cara berpikir begitu juga terlihat ketika terjadi reformasi pada 1997/1998. Pokoknya reformasi dulu. Urusan rumit setelah itu dipikir kemudian. Karena itu, pikiran lain yang dilontarkan tokoh seperti Dr Nurcholish Madjid tidak laku. Maklum, waktu itu gelora untuk melakukan reformasi luar biasa besarnya. Bukan hanya gerakan bawah tanah sebagaimana yang terjadi menjelang proklamasi kemerdekaan RI, tapi sampai ke gerakan demo besar-besaran secara terang-terangan: Reformasi sekarang!

Padahal, sekitar seminggu sebelum Presiden Soeharto memutuskan untuk meletakkan jabatan, Cak Nur (begitu panggilan akrabnya) mengemukakan gagasan penting: Bagaimana kalau Pak Harto sendiri yang memimpin jalannya reformasi. Kita, kata Cak Nur, bisa memberi waktu dua tahun kepada Pak Harto untuk menyelesaikan proses reformasi itu. Selama proses itu, kita percaya penuh kepada Pak Harto.

Dengan pikiran seperti itu, menurut Cak Nur, reformasi akan berjalan secara terencana. Tentu tidak perlu terjadi huru-hara. Tidak sampai meletus peristiwa Mei 1998.

Tapi, pikiran seperti itu, pada masa yang penuh gelora menentang Pak Harto, dianggap pikirannya orang yang lembek. Soeharto harus segera turun takhta. Sekarang! Terlalu enak orang seperti Soeharto diberi waktu dua tahun.

Dua tahun itu lama sekali. Bisa-bisa Soeharto lupa tugasnya untuk melakukan reformasi. Ini sangat khas pola pergerakan revolusioner. Seperti juga sikap para pemuda menjelang proklamasi kemerdekaan dulu. Tidak sabar menunggu Jepang sendiri saja yang memerdekakan kita.

Bahkan, saking tidak percayanya, kata-kata Jepang yang menjanjikan kemerdekaan ''kelak'' dibuat pelesetan di rapat-rapat umum waktu itu, juga di pertunjukan-pertunjukan ludruk: Kita tidak percaya ''kelak'', kita hanya percaya ''kolak''! Kolak adalah makanan khas Surabaya, yang terbuat dari pisang yang direbus bersama santan dan gula.

Yang selalu terpikir dalam suasana yang revolusioner adalah takut kehilangan momentum. Ini juga yang mewarnai revolusi Madiun 1948 dan G 30 S/PKI tahun 1965. Dalam pikiran revolusioner seperti itu, yang terbayang adalah keindahan melulu: Setelah proklamasi pastilah rakyat makmur. Setelah reformasi pastilah rakyat makmur.

Tidak terbayangkan bahwa setelah proklamasi luar biasa sulitnya. Perasaan telah merdeka ternyata membuat semua orang merasa punya hak yang sama. Lalu, merasa pula berhak melakukan apa saja sesuai dengan keinginan dan aliran politiknya. Ekstremitas terjadi di mana-mana dengan segala bentuk dan latar belakangnya. Yang aliran kanan mengkristal ke Negara Islam Indonesia. Yang kiri mengkristal menjadi peristiwa Madiun.

Suasana setelah reformasi kurang lebih sama. Bukan main juga hebohnya. Negara menjadi lemah, pemerintah kehilangan keyakinan, pertentangan muncul dan kerusuhan di mana-mana. Semua orang seperti boleh melakukan apa saja. Dalam proses ini, yang kiri juga mengkristal, meski belum sampai menampakkan wujud formalnya. Yang kanan mengkristal dalam bentuk terorisme sekarang ini.

Tidak terasa reformasi sudah berumur 11 tahun. Kalau tujuan reformasi kini sudah dianggap mulai berhasil, waktu yang diperlukan ternyata begitu lama. Orang-orang yang dulu merasa tidak sabar dengan konsep dua tahunnya Cak Nur pun ternyata harus dipaksa sabar untuk menjalani masa yang berat yang jauh lebih lama: selama delapan tahun lebih!

Tidak ada yang perlu disesali. Baik reformasi maupun proklamasi. Jalannya sejarah memang harus begitu. Mimpi-mimpi indah sebelum proklamasi ternyata harus menemukan kenyataan beratnya persoalan yang dihadapi setelah proklamasi: Tidak ada negara yang segera mengakui kemerdekaan itu.

Belanda masih menguasai beberapa wilayah penting dan tidak tahu bagaimana cara mengusirnya, pertentangan antarpartai dan aliran luar biasa kerasnya, para pejuang bersenjata yang sudah bertahun-tahun hidup dalam suasana perang ngamuk karena tiba-tiba dinyatakan tidak memenuhi syarat masuk TNI dengan syarat-syarat yang profesional, yang aliran kanan mau terus ke kanan sambil memusuhi yang kiri. Aliran kiri terus ke kiri sambil memusuhi yang kanan.

Tidak terdapat golongan tengah yang cukup besar. Suasananya memang tidak memungkinkan segera terwujudnya golongan tengah yang besar. Persis suasana setelah reformasi: Golongan tengah yang dominan yang dibuat Pak Harto secara paksa, Golkar, runtuh. Belum muncul penggantinya.

Pak Harto mencoba menghilangkan golongan yang paling kiri dengan cara membasmi PKI secara kejam. Yakni, setelah G 30 S/PKI. Demikian juga, Pak Harto menghilangkan golongan yang paling kanan, juga secara kejam. Yakni, dengan jalan memancing mereka masuk ke Komando Jihad, lalu dengan operasi khusus (opsus) membasmikannya.

Pak Harto sadar golongan yang sangat kiri dan sangat kanan harus tidak boleh hidup. Pertentangan keduanya terlalu tajam. Bisa menyeret pertentangan-pertentangan yang lebih luas. Langkah menghapus golongan paling kiri dan paling kanan itu berhasil dilakukan Pak Harto: negara stabil dan pembangunan bisa berjalan. Tapi, Pak Harto melakukannya dengan cara paksa, keras dan kejam. Kestabilan yang terlihat pun sebenarnya kestabilan semu.

Kini, setelah 64 tahun proklamasi dan 11 tahun reformasi, kita tetap harus membentuk golongan tengah yang besar. Agar negara stabil dan pembangunan bisa berjalan. Hanya caranya yang harus kita lakukan secara demokratis. Golongan tengah yang besar yang terbentuk secara demokratis akan membuat Indonesia jaya.

Tinggal kita belum tahu caranya: Apakah salah satu saja di antara tiga partai besar sekarang itu yang terus kita besarkan (boleh yang mana saja), atau mereka bertiga sendiri sepakat untuk bergabung saja. Di alam demokrasi sekarang, kita bisa mewujudkan mimpi itu lima tahun ke depan!

Kalau saja kita bisa mewujudkan semua itu untuk kurun pembangunan selama 20 tahun lagi, maka setelah itu terserah saja. Indonesia saat itu nanti sudah telanjur sangat makmur dan maju. Golongan yang paling kiri atau paling kanan pun sudah bisa diperbolehkan untuk hidup lagi secara legal. Toh, mereka sudah tidak akan diterima masyarakat kita yang wujudnya sudah sangat berbeda dengan masyarakat kita sekarang ini. Minimal saya sudah tidak bisa menulis lagi! (*)

Dahlan Iskan, JAWAPOS, 14, 15, 16 Agustus 2009

Beberapa Catatan Untuk Diskusi Peristiwa Madiun 1948

Teater Utan Kayu, Jumat, 24 Juli 2009

Buku Soemarsono ini penting bukan hanya untuk meninjau ulang narasi utama dari negara (pemerintah orba atau tentara) tentang Peristiwa Madiun 1948, tapi juga mengkritisi ‘narasi resmi’ dai PKI, partainya sendiri menyangkut peristiwa 1948.Buku Soemarsono ini unik karena dia secara terus terang berani keluar dari sikap resmi patainya tekait dengan kejadian tersebut.

Mengkritisi “Narasi Resmi” PKI

Ada dua hal Fakta penting menyangkut penerbitan buku ini terkait dengan sikap resmi PKI atas Peristiwa Madiun;

Pertama; Sepertinya sikap resmi PKI atas Peristiwa Madiun 1948 yang ditulis oleh DN Aidit, tidak melibatkan Soemarsono, Gubernur Militer yang dianggap memimpin ”pemberontakan” tapi lolos dari eksekusi ilegal yang dilakukan oleh Kolonel Gatot Subroto. Bukankah saat itu dia segar bugar dan PKI sedang tumbuh berkembang menjadi partai besar?

Jawaban Soemarsono bahwa dia tak punya bakat dan kemampuan menulis jelas tak cukup untuk menjawab pertanyaan diatas. Tampaknya misteri ini ada kaitannya dengan ’pengasingan politik’ yang dilakukan oleh partai (atau mungkin DN Aidit?) atas dirinya paska peristiwa Madiun ke Pematang Siantar di Sumatera Utara hampir 14 tahun lamanya. ’ Pengasingan politik” ini ditambah lagi dengan aturan bahwa ia tak boleh melakukan aktivitas politik dan mengaku sebagai anggota PKI. Dengan batasan seperti ini Soemarsono betul-betul tak punya ’ruang’ untuk memberi pertanggungjawaban atas peristiwa madiun kepada partainya ataupun kepada publik. Terlepas dari kesamaan analisa atas Peristiwa Madiun yang menghubungkannya dengan rencana besar perang dingin Amerika Serikat dibawah skenario ’red drive proposal”.

Kedua; Analisa politik Soemarsono mengaitkan peristiwa Madiun dengan skenario besar perang dingin ’red drive proposal’, persis sama dengan sikap resmi partai. Namun ada satu fakta yang dia nyatakan di buku ini, tapi tidak dinyatakan dalam sikap resmi PKI, yaitu tanggung jawab ’keterlibatan Soekarno’ dalam peristiwa tersebut akibat pidato politiknya. Kita tahu malam tgl 19 September Soekarno membuat pidato di radio yang menyatakan telah terjadi “perampasan kekuasaan di Madiun”, “pemerintah Soviet di bawah pimpinan Musso”, dan “coup yang terjadi di Madiun”. Dalam pidatonya Soekarno juga menyerukan “tindakan korektif” di bagian awal, lalu diakhiri dengan seruan “marilah kita basmi bersama”

Soemarsono mengagumi Soekarno dan mengaku sebagai muridnya, “tapi saya tidak fanatik kepada Soekarno”. Soemarsono menyebut “Soekarno ada positifnya, tapi juga ada negatifnya” .Menurutnya, Soekarno itu juga manusia yang mempunyai “segi baik-buruknya”, karena itu “dia bisa saja berbuat salah”. Ia mengatakan bahwa Soekarno berpihak pada Hatta untuk mendukung “Red Drive Proposal” karena ingin kemerdekaan Indonesia diakui oleh negara-negara Barat, “meskipun itu harus mengorbankan golongan kiri” karena itu “dalam Peristiwa Madiun, Bung Karno ya terlibat”.

Soemarsono tampak kecewa terhadap isi pidato Soekarno yang diakhiri dengan kata “mari kita basmi bersama” untuk mengatasi peristiwa Madiun. Dan menurut DC Anderson, “Akibat dari pidato presiden atas kelompok FDR-PKI di Madiun benar-benar mematikan”

Hal ini membuat kita bertanya kepada misteri baru, mengapa sikap resmi PKI tidak menjadikan ”Soekarno’ sebagai salah satu pihak yang juga dituntut pertanggungjawabanaya atas peristiwa Madiun, secara politik Soekarno tetap mempunyai pengaruh, meskipun Hatta menjadi PM dalam sistem parlementer. Mungkinkah ’lolosnya’ Soekarno berkait dengan strategi partai yang sedang ’berakrab ria’ dengan sang presiden dan menghasilkan simbiosis mutualisma diantara keduanya.

Namun, Peristiwa Madiun tampaknya menjadi ‘duka tersembunyi’ Bung Karno. Di tahun 1960-an, pelukis terkenal S. Sudjojono bertemu dengan Soekarno dan mereka berbicara tidak hanya soal lukisan. Kita tahu bahwa Soekarno penggila seni dan terutama, lukisan, sehingga Istana Merdeka penuh dengan koleksi lukisan yang berkualitas dan bernilai tinggi. Tiba-tiba S Sudjojono bertanya.

“Bung Karno apa masih seorang Marxist?”
Soekarno terhenyak mendengar pertanyaan tersebut dan memandang heran ke arah Sudjojono.
“Tentu saja saya masih seorang Marxist, Bung. Ada apa kok Bung menanyakan itu?”
“ Kalau Bung seorang Marxis, kenapa Bung diam saja ketika Amir dan kawan-kawan dieksekusi di Madiun?” tanya Sudjojono
Soekarno terdiam, lalu butir-butir air mata mengalir di kedua pelupuk matanya.

Konsolidasi Tentara ”Dwi Fungsi TNI”

Peristiwa Madiun juga dapat dipandang sebagai momentum politik dari kekutan militer pengusung konsep ”Dwi Fungsi TNI” dibawah pengaruh Jendral Nasution untuk membersihkan tidak saja seluruh ‘tentara kiri’ dan unsur “laskar rakyat” tapi juga penggagas utama dari gagasan TNI diluar “Dwi Fungsi” yaitu AMIR SJARIFUDDIN.

Pemikiran-pemikiran militer Amir merupakan hal yang jarang dimiliki pemimpin politisi sipil. Kebanyakan pemikiran militer dikembangkan oleh para perwira militer itu sendiri, atau kalaupun ada intelektual sipil yang dilibatkan ia hanya sebagai pelengkap.

Mungkin karena gagasan militernya tersebut, Amir menjadi politisi sipil yang paling dibenci para perwira militer yang berlatar belakang (KNIL) dan (PETA) yang memajukan konsep tentara profesional dan kemudian kebablasan menjadi Dwi Fungsi TNI (Tentara Nasional Indonesia), yang menempatkan TNI sebagai kekuatan ‘supra rakyat’ yang mengendalikan rakyat, bukan bagian dari rakyat itu sendiri.

Pemikiran Amir dalam militer ini, saya duga, menjadi salah satu faktor mengapa Amir ‘dihabisi’ oleh Kolonel Gatot Subroto pada 1948, dalam kerangka ”memusnahkan’ konseptor tentra diluar definisi Dwi Fungsi TNI.

Gagasan tentara rakyat Amir khas, tak mirip dengan konsep revolusioner Tentara Merah ala Bolshevik-Rusia atau Tentara Rakyat ala Mao Tse Tung. Kedua konsep tentara rakyat klasik tersebut menjadikan partai revolusioner sebagai pemimpin gerakan dan mengandalkan rakyat sebagai kekuatan pokok revolusi.

Konsep Amir berdasarkan kondisi kemiliteran Indonesia yang unik di masa kemerdekaan. Di satu sisi ada kesatuan militer formal yang merupakan warisan KNIL dan PETA serta mempunyai hirarki teritorial dan organisasi yang dinamakan TNI. Di sisi lain, ada organisasi laskar rakyat yang militan dan menjadi pejuang terdepan dalam mempertahankan Republik Indonesia dari Agresi Belanda I dan II serta berbagai pertempuran heroik seperti di Surabaya di bulan November 1945.

Badan Pendidikan Tentara (BPT) dalam tubuh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk pada November 1945. Di bulan Februari 1946 badan ini berhasil membuat kurikulum yang meliputi lima bidang, yakni politik, agama, kejiwaan, sosial dan pengetahuan umum. BPT dipimpin Soekono Djojopratigno. Pada Mei 1946 BPT berada di bawah Kementerian Pertahanan yang dipimpin Amir Sjarifuddin dan namanya berubah jadi Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Amir juga menyatakan dengan tegas bahwa Pepoloit tidak mengabdi pada satu partai atau pandangan politik tertentu, tapi mengabdi kepada UUD 1945. Pendidikan agama Islam di Pepolit membuat lembaga ini memperoleh dukungan dari Masjumi.

Tampaknya militer tidak menyukai intervensi sipil dalam proses pendidikan mereka. Isu politik pun dihembuskan. Pepolit disebut-sebut sebagai alat kaum sosialis meluaskan pengaruhnya. Karena itu tentara mulai melancarkan penolakan terhadap Pepolit. Salah seorang yang paling keras menentang pepolit adalah Kolonel Gatot Subroto, yang kelak memerintahkan eksekusi atas Amir Sjarifuddin. Gatot bahkan menolak Pepolit di kesatuannya. Ketegangan-ketegangan awal antara militer dengan sipil di Kementerian Pertahanan mulai terbuka dan akan terus meruncing seiring dengan dinamika politik masa revolusi. Inilah untuk pertama kalinya terlihat kecenderungan tentara menolak supremasi sipil.

Pada Mei 1946 Amir Sjarifuddin sebagai menteri pertahanan membentuk sebuah badan baru bernama Biro Perjuangan (BP). Tugas biro ini mengkoordinasikan laskar-laskar dan badan perjuangan yang didirikan partai politik. Pada Juni 1946, sehubungan dengan penculikan atas Perdana Menteri Sjahrir, negara mengeluarkan undang-undang dalam keadaan bahaya dan pembentukan Dewan Pertahanan Negara (DPN) dan Dewan Pertahanan Daerah (DPD).

DPN mengeluarkan aturan yang mengakui keberadaan laskar-laskar rakyat dalam organisasi militer di luar tentara resmi dan dibiayai oleh pemerintah. BP lalu membentuk inspektorat di daerah-daerah, yang kemudian dianggap sebagai rival oleh struktur tentara resmi dan menolak keberadaannya. Padahal BP dibentuk untuk membantu menyelesaikan masalah yang terjadi di kalangan tentara. BP hendak mereorganisasi dan mengkoordinasikan laskar-laskar rakyat agar tak bertindak menurut tujuan politik dan kepentingan kelompoknya sendiri atau saling berseteru dalam banyak kasus. Dengan kata lain, Amir hendak menciptakan semacam stabilitas politik dengan mengadopsi kepentingan laskar rakyat di bawah kepemimpinan Kementerian Pertahanan dan membuat program-program pemerintah bisa berjalan. Pada Juli 1947 BP dibubarkan dan melebur dalam TNI.

Amir belum menyerah. Di bulan Agustus 1947 Kementerian Pertahanan kembali membentuk badan baru bernama TNI Bagian Masyarakat (TNI Masyarakat). Badan ini adalah penjabaran Amir atas konsep pertahanan rakyat semesta, yang berkaitan dengan situasi republik yang rawan dari agresi pihak luar.

Badan ini akhirnya dibubarkan ketika Hatta menjabat perdana menteri menggantikan Amir dan mencanangkan rasionalisasi. Konsep rasionalisasi di tubuh militer ini merupakan pembalikan dari semua gagasan Amir. Penerapannya berlanjut pada apa yang kita kenal sebagai Dwi Fungsi TNI di masa Orde Baru, yang selama kekuasaan Soeharto menjadi pondasi untuk membungkam demokrasi.

Pihak tentara tampaknya berhasil ’bermain di air keruh” peristiwa madiun dan mendapatkan keuntungan maksimal dengan menghabisi Amir Sjarifuddik dkk dengan menumpang dari ”pidato Soekarno” dan ‘peristiwa madiun”, tapi menterjemahkan pidato tersebut dengan tujuan-tujuan politik tentara sendiri. Seperti dikatakan oleh sejarawan D. C Anderson bahwa partai-partai politik bisa saja melakukan aliansi taktis dengan kelompok militer, baik di pusat maupun di regional, namun partai-partai politik tersebut tidak dalam posisi yang menentukan “aturan main” di lapangan.

Hatta sendiri tampaknya juga tidak dapat mengendalikan operasi militer di Madiun agar diakhiri dengan cara politik dan jalur hukum. Seperti ditulis oleh DC Anderson bahwa “perencanaan secara terperinci atas operasi penumpasan keseluruhan berada di tangan Nasution dan Gatot Subroto”.

Ketakberdayaan ‘keputusan politik pusat’ atas pimpinan militer dilapangan tampak dari instruksi Hatta yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan kepada Gatot Subroto, gubernur militer Surakarta, agar menahan para pemimpin yang terkait peristiwa Madiun dan membawanya ke pengadilan. Namun kita tahu, Gatot Subroto melakukan eksekusi atas Amir Syarifuddin dan kawan-kawan tanpa ada proses pengadilan. Hatta menganggap keputusan itu diambil sendiri oleh Gatot Subroto. Namun, menurut Mavis Rose, penulis buku biografi politik Hatta, “Hatta tampaknya berusaha membersihkan namanya sendiri, karena Gatot pernah menyatakan bahwa ia melakukan eksekusi karena perintah Hatta agar mereka tidak melarikan diri dan dapat kembali berkuasa setelah agresi belanda kedua”.

Keterlibatan Soeharto

Salah satu fakta penting yang juga diungkap Soemarsono adalah keterlibatan almarhum mantan presiden Soeharto dalam Peristiwa Madiun. Soeharto adalah utusan resmi dari markas besar TNI yang dikirim untuk melakukan semacam investigasi atas kejadian ’clash’ antara kesatuan brigade 29 dan ’pasukan gelap’ yang ditengerai telah melakukan penculikan dan provokasi di Madiun.

Soemamasono langsung yang menemui Soeharto dan mengecek situasi dengan bekeliling Madiun, bahkan dia dipesilakan meninjau tahanan dan dan bertemu dengan ‘pasukan gelap’ yang ditangkap oleh ’brigade 29’. Setelah kunjungan berakhir, Soemarsono membantu membuat laporan tentang kondisi di Madiun yang dia tanda tanggani langsung. Laporan itu harusnya di bawa Soeharto ke pimpinan TNI di Yogyakarta.

Di sinilah missing link itu terejadi nampaknya. Tidak jelas apakah laporan pencarian fakta Soeharto sampai ketangan pimpinan TNI saat itu yaitu Jendral Soedirman atau tidak. Ada dugaan laporan itu tak pernah sampai, sehingga keputusan politik Soekarno-Hatta atas peristiwa madiun tidak berdasar laporan tersebut. Pertanyaannya adalah kalau Soeharto tidak menyampaikan laporan tersebut apa tujuannya? Kalau laporan itu sudah diberikan kepada pihak militer, lalu kenapa tindakan yang diambil justru operasi milier kupas tuntas? Ada juga rumor bahwa Soehrto saat itu adalah pendukung Tan Malaka. Kita tahu saat itu ada rivalitas antara FDR dengan pengikut Tan Malaka.

Peran Seoharto ini menurut saya harus ’diusut’ oleh sejarawan, karena sepertinya dia’ seperti ’selalu kebetulan’ muncul dalam berbagai krisis politik yang menghancurkan kaum kiri.

Selamat berdiskusi

Manggarai, 24 Juli 2009

Membaca buku Revolusi Agustus karya Soemarsono


Baskara T. Wardaya

DALAM mengkaji suatu peristiwa historis tertentu dengan bertolak pada kesaksian seorang pelaku sejarah, secara prinsip kita perlu memilah antara “apa yang terjadi” dengan “apa yang diingat oleh pelaku sejarah tentang apa yang terjadi”. Perlu dibedakan antara “peristiwa” dan “ingatan akan peristiwa”. Dalam kaitan dengan ini tak kalah penting adalah memilah antara tinjauan dan pemaparan yang sifatnya deskriptif-analitis yang dilakukan oleh seorang sejarawan atas apa-yang-terjadi dan pemaparan atas ingatan seorang pelaku sejarah tentang apa-yang-terjadi itu. Kombinasi narasi yang bertolak dari pemilahan macam itu diharapkan akan dapat membantu memahami suatu peristiwa masa lalu secara lebih utuh, dan mungkin lebih relevan untuk masa-masa selanjutnya.

Legitimasi Kekuasaan

Bekal pemilahan demikian kiranya juga penting kalau kita ingin membaca dan mencermati buku Revolusi Agustus Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah (Hasta Mitra, 2008) yang merupakan penulisan kembali penuturan Soemarsono sebagai pelaku sejarah di seputar Peristiwa Madiun tahun 1948.

Sebelum membahas buku tersebut, perlulah kita melihat apa yang dikatakan oleh “narasi resmi” mengenai Peristiwa Madiun. Oleh narasi resmi, apa yang terjadi di Madiun pada tahun 1948 itu disebut sebagai sebuah “pemberontakan”. Menurut narasi ini, “pemberontakan” tersebut dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melawan pemerintah pusat RI. Selanjutnya dikatakan, “pemberontakan” itu dilancarkan karena para anggota partai tersebut ingin “merebut kekuasaan” dengan cara mendirikan “negara Soviet” di Madiun dan sekitarnya. Masih menurut narasi resmi, tentara pemerintah bereaksi dengan bergerak cepat guna memadamkan “pemberontakan” tersebut. Dalam waktu relatif singkat “pemberontakan” itupun dipadamkan, dan pemimpin-pemimpinnya dieksekusi.

Karena disampaikan oleh pihak “pemenang”, dengan mudah pemahaman menurut narasi resmi macam itu menyebar ke masyarakat sebagai narasi dominan dan cenderung dianggap sebagai kebenaran tunggal. Hal ini misalnya tercermin dalam penggambaran yang diberikan oleh salah satu situs populer, yakni situs Wikipedia edisi Indonesia (Wikipedia.com). Di situ apa yang terjadi di Madiun tahun 1948 dikatakan sebagai “sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948.” Selanjutnya dikatakan: “Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin …Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun …, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama….”

Masih menurut sumber yang sama, “pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskwa, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, a.l. Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll…. Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. … Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh…. Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ke 3 orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan.”

Apa yang dikatakan oleh situs ini menarik untuk disimak. Selain karena penggambarannya segaris dengan narasi resmi, juga karena situs populer macam itu sangat mudah diakses oleh publik sebagai sumber informasi maupun sebagai titik tolak wacana. Lagi, penjelasan demikian tentu masuk akal dan mudah dicerna, bahkan kalau beberapa bagiannya masih patut dipertanyakan.

Menarik untuk dicatat, sementara dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno apa yang terjadi pada tahun 1948 itu disebut sebagai “Peristiwa Madiun 1948”, oleh pemerintahan Orde Baru istilahnya telah diubah menjadi “Pemberontakan Madiun 1948”. Sebagai konsekuensinya, dalam pengertian yang coba disosialisasikan oleh Orde Baru itu tindakan eksekusi atas Amir Syarifuddin, mantan Perdana Menteri RI dan mantan Menteri Pertahanan RI—yang dituduh menjadi salah satu pemimpin “pemberontakan” tersebut—pada tanggal 19 Desember 1948 lantas menjadi suatu tindakan yang dipandang “logis”, “sah” dan mungkin bahkan “sudah seharusnya”. Sekaligus narasi resmi macam itu dipandang penting sebagai bagian dari perangkat legitimasi kekuasaan Orde Baru itu sendiri. Perlu disimak pula, dalam narasi resmi itu tekanan (atau pretensi?) diberikan pada “apa yang sesungguhnya terjadi” dan bukan mengenai ingatan akan apa-yang-terjadi.

Memahami Narasi

Hal itu tentu sangat berbeda dengan apa yang dapat kita baca dari buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah. Dalam buku ini yang mau ditekankan adalah ingatan seorang pelaku sejarah atas apa yang terjadi waktu itu. Sebagai salah seorang pelaku langsung dari apa yang terjadi di Madiun pada akhir tahun 1948 itu Soermarsono berusaha menuturkan kembali apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia alami sendiri. Buku ini disusun berdasarkan transkrip uraian lisan mengenai apa yang ia ingat dari rangkaian peristiwa yang terjadi, serta tanggapan dia atas peristiwa-peristiwa tersebut.

Bisa kita lihat dalam buku ini, betapa luar biasa kuatnya ingatan Soemarsono sebagai seorang pelaku sejarah. Ia tidak hanya mampu mengingat kembali dan bertutur mengenai apa yang terjadi pada tahun 1948 di Madiun, melainkan juga mengenai jatuh-bangun perjuangan dia dan kawan-kawannya dalam merebut dan mempertahankan Republik Indonesia di awal kemerdekaan. Dengan jelas dan dengan nuansa keterlibatan pribadi yang tinggi ia tuturkan kembali bagaimana ia berjuang sejak jaman Jepang, dalam Pertempuran Surabaya bulan November 1945, kegiatannya setelah itu, keikutsertaannya dalam pergolakan di seputar Peristiwa Madiun, serta apa yang terjadi dalam hidupnya kemudian.

Tak lupa ia ceritakan pula bagaimana atas keterlibatannya dalam berbagai peristiwa itu ia “diganjar” dengan masa pengasingan selama 14 tahun dan hukuman penjara Orde Baru selama 9 tahun. Bahkan setelah itu ia harus tinggal di negeri asing, hingga kini. Dari narasi Soemarsono terlihat dengan jelas semangat yang juga luar biasa dalam memperjuangkan dan membela kedaulatan rakyat Indonesia. Lepas dari apakah orang setuju atau tidak dengan cara-cara dan ideologi yang dipilih oleh penulisnya saat berjuang, dengan membaca buku ini kita akan menjadi bersikap hormat pada komitmen dan dedikasinya yang begitu mendalam demi kemerdekaan negeri ini.

Sebagaimana dikatakan dalam pengantar buku, ada dua argumentasi pokok yang muncul dari narasi Soemarsono. Pertama, peristiwa Madiun sama sekali bukan merupakan pemberontakan apalagi perebutan kekuasaan. Dengan tegas Soemarsono mengatakan bahwa pada tahun 1948 di Madiun tidak ada coup d’tat (perebutan pemerintahan nasional) maupun coup de la ville (perebutan pemerintahan kota). Pun tak ada maksud memisahkan diri dari pemerintahan RI di bawah Bung Karno. Soemarsono tetaplah seorang pengagum Presiden Sukarno sampai sekarang.

Bagi Soermarsono, apa yang terjadi di Madiun lebih merupakan reaksi saja atas provokasi-provokasi yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang ia sebut sebagai bagian dari “teror putih” yang sedang merajalela saat itu. Teror putih itu menurutnya sengaja dilancarkan dengan maksud untuk menggilas gerakan-gerakan kiri pro-rakyat, khususnya para pendukung Front Demokrasi Rakyat (FDR). Berbagai tindakan politis yang diambil oleh dia dan kawan-kawannya lebih merupakan langkah-langkah darurat guna membela diri serta upaya untuk menyelamatkan situasi. Hal ini terbukti dengan surat yang dikirim oleh para pemimpin di Madiun kepada pemerintah pusat di Yogyakarta dengan bunyi “meminta instruksi lebih lanjut.” Jika maunya berontak, kata Soemarsono, tentu tidak akan ada permintaan akan instruksi lebih lanjut ke pemerintah pusat seperti itu.

Kedua, Soemarsono memandang Peristiwa Madiun lebih merupakan akibat, daripada sebab. Ia menuturkan bahwa yang merupakan pangkal penyebab dari semua yang terjadi itu adalah apa yang disebut sebagai Red-Drive Proposal, sebuah dokumen rahasia yang disusun oleh para petinggi Pemerintahan Kabinet Hatta bersama wakil-wakil dari Amerika Serikat untuk menghabisi kekuatan kiri di Indonesia.

Di mata Soemarsono, pidato Bung Karno pada tanggal 19 September 1948 malam memang keras dan emosional, tetapi hal itu terjadi karena menurutnya Bung Karno sedang “digunakan” oleh pemerintahan waktu itu, yang nota bene sangat anti-kiri dan sedang berniat untuk menghantam unsur-unsur kiri di tanah air. Pidato tanggapan dari Musso pada malam yang sama oleh Soemarsono juga dipandang sebagai keras dan emosional, tetapi hal itu dilakukan karena Musso sedang marah karena dituduh memberontak padahal tidak. Di tengah situasi demikian, menurut Soemarsono, sebenarnya pertentangan yang ada masih bisa diselesaikan dengan baik, yakni dengan pencarian suatu solusi politik yang damai. Apa boleh buat, sebelum solusi politik yang damai itu ditemukan sudah terlanjur ada pihak-pihak tertentu yang buru-buru ingin menggunakan kekerasan militer untuk menyelesaikan masalah.

Dikisahkan kembali oleh Soemarsono, di tengah ketegangan yang terjadi di Madiun itu Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat mengirim seorang utusan khusus dari Yogyakarta untuk menilik situasi di sana, dan sesampai di Madiun memang didapatinya bahwa tidak ada pemberontakan. Antara sang utusan dan Soemarsono juga berlangsung percakapan dan relasi yang sangat baik, karena keduanya memang telah lama saling mengenal. Apa boleh buat, entah mengapa sekembalinya dari Madiun ternyata utusan tersebut tidak memberi laporan yang sebenarnya kepada pihak yang mengutusnya. Akibatnya pemerintah pusat di Yogyakarta memandang apa yang terjadi di Madiun sebagai sebuah perebutan kekuasaan dan memutuskan untuk menggunakan kekerasan guna menguasi kembali Madiun, serta menangkap mereka yang dituduh telah memimpin suatu upaya perebutan kekuasaan di Madiun.

Oleh Soemarsono dikisahkan pula bahwa meskipun telah dituduh merebut kekuasaan, para pemimpin itu tetap ingin menunjukkan diri bahwa bagi mereka musuh utama bukan pemerintah RI atau saudara sebangsa, melainkan Belanda. Itulah sebabnya ketika dikejar-kejar oleh tentara pemerintah para pemimpin dari Madiun itu kemudian lari ke arah garis demarkasi dengan Belanda di Jawa Tengah bagian utara, dengan maksud untuk berperang melawan Belanda di sana. Termasuk di antara para pemimpin itu adalah Amir Sjarifuddin, mantan Perdana Menteri RI. Ironisnya, justru ketika sedang berada di garis depan dan menyiapkan diri untuk bertempur melawan Belanda inilah mereka ditangkap untuk kemudian dieksekusi tanpa ada proses hukum sebelumnya.

Dari kacamata narasi Soemarsono ini tampaklah bahwa eksekusi terhadap Amir Syarifuddin dan kawan-kawan merupakan sebuah tindakan keji sesama anak bangsa yang sama-sama sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman kekuatan asing. Apalagi tanpa proses hukum sedikitpun.

Menjembatani Keduanya

Ketika memaparkan narasinya (lebih dari 50 tahun setelah terjadinya peristiwa), tekanan yang disampaikan oleh Soemarsono adalah apa yang dia ingat mengenai peristiwa tersebut. Tekanan bukan terutama pada uraian mengenai apa yang terjadi menurut dia dengan maksud untuk melegitimasi kekuasaan, mendapat kedudukan politis tertentu, atau hal-hal lain semacam itu (usianya telah lebih dari 80 tahun ketika ia bercerita). Ia hanya bermaksud supaya ada narasi lain atas Peristiwa Madiun di luar narasi resmi, dan kita diundang untuk mendengarkannya. Berbeda dengan narasi resmi, apa yang diceritakan oleh Soemarsono ini merupakan ungkapan pandangan dari perspektif di luar kekuasaan, yakni perspektif mereka yang selama ini telah terbungkam dan terdominasi narasinya.

Menarik untuk disimak bahwa narasi yang disampaikan oleh Soemarsono ini sangat dekat dengan narasi para pemimpin PKI ketika melakukan pembelaan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Dan tampaknya Presiden Soekarno memahami narasi mereka itu, sehingga waktu itu pemerintah RI tak pernah secara resmi melarang PKI.

Guna memahami kedua narasi tersebut secara lebih utuh, perlulah kiranya kita melihat apa yang terjadi di Madiun itu di dalam konteks yang lebih luas, khususnya konteks Perang Dingin yang waktu itu sedang berkecamuk di panggung internasional. Sebagaimana kita ingat, segera setelah Perang Dunia Kedua usai, Amerika Serikat dan Uni Soviet yang sebelumnya merupakan sekutu, kini telah saling berseberangan dan saling bertentangan dalam sebuah ketegangan internasional yang disebut sebagai “Perang Dingin”. Lahirlah apa yang disebut sebgai “Blok Barat” di bawah Amerika Serikat dan “Blok Timur” di bawah Uni Soviet. Amerika Serikat yang berhaluan kapitalis dan Uni Soviet yang berhaluan komunis/sosialis sama-sama ingin mengembangkan sayap pengaruh mereka di berbagai wilayah dunia, termasuk di Indonesia.

Kita juga ingat, dalam konteks ketegangan Perang Dingin itu tahun 1948 merupakan tahun yang penuh gejolak. Tahun 1948, misalnya, merupakan tahun kedua setelah Presiden AS Harry S Truman mengumumkan kebijakan “pembendungan” (containment) atas ekspansi Uni Soviet di berbagai belahan bumi. Mulai tahun 1948 AS makin agresif dalam rangka menghadang hasrat ekspansif Uni Soviet, demikian pula sebaliknya. Pada tahun yang sama ketengangan antara AS dan Uni Soviet memuncak dalam tindakan Moskwa untuk menutup akses menuju bagian barat kota Berlin, sehingga penduduknya menderita kekurangan logistik. Tindakan ini mendorong AS untuk melancarkan program “Berlin Airlift” guna mensuplai penduduk dengan makanan dan obat-obatan. Ini adalah juga tahun di mana Yugoslavia di bawah Joseph Broz Tito memisahkan diri dari Uni Soviet dan mendorong Soviet untuk mencegah kemungkinan munculnya komunisme nasional ala Tito di tempat-tempat lain. Pada tahun 1948 juga pemerintah Inggris melancarkan serangan besar-besaran terhadap kelompok komunis di Semenanjung Malaka, dengan maksud untuk menghadang pengaruh Soviet yang dikhawatirkan akan masuk ke wilayah jajahannya itu melalui unsur-unsur komunis di sana. Singkat kata, pada tahun 1948 itu baik Amerika Serikat dan sekutunya maupun Uni Soviet dan para pendukungnya sedang berusaha keras untuk memperluas wilayah pengaruh (sphere of influence) masing-masing, sambil berusaha mencegat pelebaran sayap yang coba dilakukan oleh pihak lain.

Di Indonesia sendiri tahun 1948 adalah juga tahun penuh gejolak. Pada bulan Januari tahun itu Indonesia di bawah Perdana Menteri Amir Syarifudin menandatangani Perjanjian Renville dengan Belanda. Tetapi karena perjanjian itu dinilai merugikan, dua partai besar pendukung PM Amir, yakni PNI dan Masyumi, menarik dukungannya sehingga Amir harus mengundurkan diri dengan kecewa, dan kabinetnya diganti dengan Kabinet Hatta. Sementara itu, Belanda menggunakan Renville untuk mempersempit wilayah dan pengaruh Republik Indonesia, sambil menciptakan kekacauan di dalamnya. Misalnya melalui blokade ekonomi terhadap RI. Pada tahun ini juga terjadi ketegangan luar biasa dalam tubuh RI ketika Kabinet Hatta berencana melakukan program “Re-Ra”, yakni program Reorganisasi dan Rasionalisasi (pengurangan jumlah) angkatan bersenjata yang dinilai akan merugikan kekuatan-kekuatan laskar rakyat.

Pada tahun 1948 juga Musso, tokoh komunis yang sudah 20 tahun beradi di luar negeri, kembali ke tanah air dan segera menjadi figur acuan dan pemimpin gerakan komunis di Indonesia. Konsep “Jalan Baru Republik Indonesia” untuk merebut kemerdekaan 100% dari Belanda yang dicanangkannya telah memompa semangat perjuangan kaum kiri di Indonesia untuk bertempur tanpa kompromi melawan Belanda. Oleh sementara pihak, kedatangan Musso bersama Suripno, yang baru pulang dari Praha untuk berunding dengan pihak Uni Soviet, dipandang sebagai bagian dari upaya pelebaran pengaruh Uni Soviet di Indonesia melalui kelompok-kelompok komunis. Pandangan macam itu membuat semakin meningkatnya kecurigaan kelompok anti-komunis terhadap kelompok-kelompok komunis di Indonesia, dan meruncingnya ketegangan politikpun tak terhindarkan lagi.

Sementara itu pada pertengahan tahun itu juga beredar informasi mengenai adanya Red Drive Proposal. Sebagaimana telah disinggung di depan, informasi ini mengaitkan Kabinet Hatta dengan pihak Amerika Serikat yang juga sedang berusaha mengeliminasi pengaruh komunis dan pengaruh Uni Soviet di Indonesia. Menurut informasi ini, pada tanggal 21 Juli 1948 telah terjadi pertemuan rahasia di Sarangan antara Bung Karno, Bung Hatta dan para pemimpin RI yang lain dengan wakil-wakil dari Amerika Serikat, khususnya Merle Cochran dan Gerarld Hopkins. Pertemuan itu menghasilkan sebuah dokumen rahasia berisi konsep kerjasama untuk menghabisi gerakan kiri di Indonesia. Dokumen itu katanya disebut sebagai Red Drive Proposal, dan Red Drive Proposal inilah yang pelaksanaannya nanti melahirkan Peristiwa Madiun.

Tinjauan dengan melibatkan konteks Perang Dingin macam ini penting, karena olehnya kita jadi terbantu untuk bisa melihat permasalahan secara lebih utuh dan kontekstual. Apalagi mengingat bahwa narasi resmi disampaikan dengan dorongan kepentingan kekuasaan, sementara narasi pelaku sejarah lebih merupakan tuturan atas apa yang terjadi di Madiun sejauh yang dialami oleh orang yang terlibat langsung dan masih perlu dilengkapi dengan kesaksian pelaku-pelaku lain. Konteks Perang Dingin membantu menjembatani keduanya. Berkaitan dengan ini, pada satu sisi sumber informasi bagi tuturan Soemarsono mengenai Red Drive Proposal itu masih sulit dipertanggung jawabkan (Swift 1989: 81-83), namun pada sisi lain jelas sekali bahwa dalam konteks Perang Dingin waktu itu Blok Barat di bawah pimpinan AS memang sedang berupaya menghancurkan kekuatan-kekuatan kiri di manapun juga, termasuk di Indonesia.

Komitmen dan Dedikasi

Apapun perspektif yang digunakan dalam melihat Peristiwa Madiun, dengan membaca buku Revolusi Agustus ini kita akan disadarkan kembali bahwa baik kelompok-kelompok “kanan” maupun kelompok-kelompok “kiri” sebenarnya sedang sama-sama ingin mengusir Belanda dari Indonesia dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa mereka. Kita disadarkan pula bahwa dalam rangka mempertahankan kemerdekaan itu masing-masing pihak ingin mendapat dukungan internasional. Bedanya, yang satu berharap dukungan itu datang dari Blok Barat, sedang kelompok lain ingin supaya dukungan itu datang dari Blok Timur. Namun demikian, entah dukungan itu nantinya datang dari Barat atau Timur, jelas sekali bahwa baik mereka yang berada di “kanan” maupun yang berada di “kiri” sedang sama-sama ingin memperjuangkan kepentingan rakyat banyak dan bukan kepentingan-kepentingan pribadi.

Peristiwa Madiun yang diakhiri dengan eksekusi para pemimpin tanpa pengadilan, termasuk Amir Syarifuddin (yang setidaknya bisa dilihat dengan dua kacamata yang berbeda), serta pertumpahan darah rakyat banyak, mendorong kita untuk berharap bahwa yang namanya perbedaan pandangan politik tidak seharusnya selalu diakhiri dengan kekerasan. Dibutuhkan kepiawaian para pemimpin dan warga masyarakat untuk mencari solusi-solusi politik yang lebih manusiawi dan bersifat non-kekerasan.

Berkaitan dengan adanya narasi-narasi yang berbeda, kita merasa perlu adanya wacana yang berkesinambungan antara: (a) narasi resmi, (b) narasi para pelaku dan saksi sejarah, serta (c) narasi para sejarawan yang ditulis berdasarkan konteks historis waktu itu.

Narasi resmi perlu dipelajari, karena meskipun sarat dengan kepentingan politis dan legitimasi kekuasaan, itulah narasi yang “terlanjur” beredar di ruang publik dan dipahami oleh masyarakat selama ini, bahkan sampai sekarang. Upaya untuk mengubah pemahaman yang sudah terlanjur beredar di masyarakat membutuhkan pengertian yang memadai atas apa yang telah terlanjur beredar itu.

Narasi dari para pelaku dan saksi mata seperti Soemarsono ini perlu didengarkan, karena meskipun berbeda dari narasi resmi yang selama ini beredar di masyarakat, apa yang mereka kisahkan merupakan ungkapan ingatan dari para saksi dan pelaku yang secara langsung mengalami dan terlibat dalam peristiwa sejarah saat peristiwa itu berlangsung. Bahwa kita setuju atau tidak setuju dengan apa yang mereka ingat dan ungkapkan, tentunya hal itu merupakan masalah lain.

Pada saat yang sama kita juga perlu mendengarkan narasi para sejarawan. Diharapkan, dalam meninjau sebuah peristiwa sejarah, para sejarawan tidak sekedar menggambarkan ulang apa yang terjadi dengan cara seakan-akan ia pernah mengalaminya sendiri, melainkan mendeskripsikan hasil “rekonstruksi” mereka berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku atas peristiwa tersebut, untuk kemudian menganalisisnya, mengekstrapolasinya, dan mengaitkannya dengan konteks yang lebih luas, termasuk kaitannya dengan masa kini. Uraian para sejarawan yang bersifat deskriptif-analitis diharapkan akan mampu menghasilkan suatu paparan yang lebih utuh, untuk kemudian diberi keterangan dan makna historis secara lebih proporsional.

Dengan demikian jika kita ingin secara sungguh-sungguh belajar dari Peristiwa Madiun kita perlu mempertimbangkan ketiga jenis narasi tersebut. Begitu pula kalau kita ingin memperlajari apa yang dialami oleh Mantan Perdana Menteri RI Amir Syarifuddin dan kawan-kawan dari Madiun. Dalam kaitan dengan ini tak boleh bahwa satu perspektif mendominasi apalagi meniadakan perspektif-perspektif lain. Lahirnya buku Revolusi Agustus memperkaya perspektif kita dalam meninjau kembali dan merefleksikan apa yang terjadi di Madiun pada tahun 1948 itu, berikut faktor-faktor pendorong dan dampaknya kemudian.

Satu hal yang kuat terasa ketika kita membaca buku Revolusi Agustus ini adalah tak dapat diragukannya komitmen dan dedikasi Soemarsono sebagai pelaku sejarah dalam usahanya memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsanya sejak muda hingga masa tuanya. Kiranya komitmen dan dedikasi serupa juga dimiliki oleh banyak orang lain dari generasinya Soemarsono, entah mereka yang berada di “persimpangan kiri” atau “persimpangan kanan” jalannya sejarah Indonesia. Kita berharap bahwa komitmen dan dedikasi yang sama juga akan lahir dari para pejuang rakyat pada generasi-generasi selanjutnya, termasuk generasi sekarang ini.***