Showing posts with label Hasta Mitra. Show all posts
Showing posts with label Hasta Mitra. Show all posts

Friday, July 23, 2010

Mencoba Memahami Soekarno sebagai “Dirinya Sendiri”

Seorang tokoh besar seperti Soekarno memang menjadi bahan kajian yang tidak pernah habis dan membosankan. Selalu ada unsur dan polemik baru yang lahir dari tokoh ini di sepanjang karier politiknya.


Karya Bob Hering tentang Soekarno ini mencoba memahami kembali Soekarno sebagai "Bapak Bangsa" dengan cara melakukan rekonstruksi atas berbagai realitas yang dialami Soekarno sendiri. Dengan begitu, ia mencoba mengurangi "subyektivisme" dan stereotip atas Soekarno sebagai sosok yang oleh Taufik Abdulah sering dianggap sebagai sosok "eksotis dari Timur" oleh para peneliti Barat.

Edisi bahasa Indonesia karya Hering diterbitkan oleh Hasta Mitra dengan kata pengantar dari Joesoef Isak. Menurut Joesoef, banyak karya tentang Soekarno tidak menggambarkan siapa itu Soekarno secara utuh, "Obyeknya memang Soekarno, tetapi pertama-tama stempel selera dan warna-politik penulis sendirilah yang dapat kita detect, dapat langsung kita lihat belang penulisnya" (hal viii). Dalam semangat ini Hering mencoba melihat watak Soekarno menurut pengalaman Soekarno sendiri. Dengan dukungan data yang sangat detail, karya ini mengajak pembaca agar memahami tentang Soekarno sebagai "dirinya sendiri". Seperti dikatakan oleh Joesoef, "dia bebas dari kontaminasi abstraksi-abstraksi kerekayasaan yang bermaksud mematahkan dan menghitamkan Soekarno" (hal xxi).

Pesan penting dari buku ini adalah bahwa benang merah paling penting dari sejarah politik Soekarno adalah perjuangannya yang konsisten untuk mencapai Indonesia merdeka. Untuk tujuan tersebut ia "melakukan berbagai cara yang dimungkinkan" untuk terus membawa kapal politik gerakan menuju satu tujuan bersama, Indonesia merdeka. Oleh karena itu, pantas bila Soekarno dijuluki "Bapak Indonesia Merdeka". Sebuah peran besar yang tidak boleh "dikecilkan" oleh analisis akademis dan penelitian tentang diri Soekarno, di balik segala kontroversi yang mengiringinya.

Menyusuri ideologi Soekarno muda

"Masa pendidikan politik" Soekarno, menurut Hering, dibentuk di dua kota berbeda, yang mengenalkannya pada dua ideologi modern yaitu sosialisme dan nasionalisme. Di kota Surabaya Soekarno mengaku pertama kali mengenal Marxisme melalui Alimin ketika ia tinggal di asrama. Di asrama ini ia juga mengenal Moeso, Semaun, dan Darsono, orang- orang kiri yang kelak mendirikan Partai Komunis Indonesia. Dari orang-orang sosialis radikal ini Soekarno juga mulai mendengarkan berbagai propaganda sosialis yang dilakukan oleh orang Eropa seperti Baars, Reeser, dan Hartogh. Pengaruh kaum sosialis ini sangat kuat pada analisis Soekarno tentang imperialisme, kapitalisme, dan kolonialisme sehingga kalaupun ia nanti menjadi seorang nasionalis, ia menjadi seorang nasionalis yang cenderung antikapitalisme.

Namun, dalam perkembangannya Soekarno tidak memilih sosialisme radikal. Menurut Hering, ada dua orang yang memengaruhi perubahan "sosialisme" Soekarno. Pengaruh pertama datang dari tokoh karismatis Sarekat Islam, Tjokroaminoto, yang mempunyai basis kuat di Surabaya dan seorang penganjur "kapitalisme yang bermoral" dan dasar religius bagi sosialisme. Tjokro "secara berangsur memberikan tugas- tugas dan tanggung jawab politik kepada Soekarno yang dengan senang dilaksanakannya" (hal 104-105).

Pengaruh kedua datang dari Karl Kautsky melalui karyanya Sozialismus und Kolonialpolitik Eine Auseinandersetzung yang ia baca ringkasannya dalam Het Vrije Woord di tahun 1919. Kaustsky membawa Soekarno kepada pentingnya sebuah parlemen yang kuat daripada sebuah kediktatoran proletariat. Seperti ditulis Hering, "Hal ini memberikan pengaruh agak kuat pada Soekarno yang telah lebih matang" (hal 107).

Kepindahan Soekarno ke Bandung pada bulan Juni 1921 untuk masuk ke Technische Hoogeschool membawa Soekarno berkenalan dan menyerap nasionalisme radikal dari Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker. Tjipto tampaknya mendapatkan tempat khusus dalam diriSoekarno. Menurut Hering, "Soekarno mengakui bahwa ia mendapatkan pengaruh politik terbesar dari trio pengurus IP (Indische Partij) kemudian SH/NIP (Sarekat Hindia/Nationaal-Indische Partij)" (hal 128). Soekarno menyebut Tjipto dengan "saudara Tjipto-mychief". Kebetulan Tjipto dan Douwes Dekker tinggal tidak jauh dari tempat tinggal Soekarno di Bandung. "Mereka itu yang mempengaruhi pandangan politik radikal Soekarno yang kian matang, terutama Tjipto yang sama-sama priyayi" (hal 129). Selama di Bandung ini "Tjipto terus-menerus mendorong Soekarno menjadi seorang nasionalis yang meyakinkan" (hal 129).

Pergumulannya dengan sosialisme dan nasionalisme radikal membuat Soekarno mencoba merumuskan "sebuah ideologi nasional" yang akan ia gunakan hingga akhir hayat, yaitu Marhaenisme. Nama ini didapat ketika ia sedang berjalan di sebelah selatan Bandung dan bertemu dengan seorang petani bernama Marhaen. Seorang petani kecil, tani sieur, memiliki sepetak tanah dengan peralatan kerja untuk bercocok tanam, sekadar bisa bertahan hidup bersama keluarga. Konsep Marhaen ini kemudian ia identikkan secara lebih luas dengan orang yang miskin dan hidup kekurangan, seperti buruh miskin, nelayan miskin, klerek miskin, pedagang keliling miskin, tukang sado miskin, atau sopir miskin. "Menurut Soekarno, mereka semua adalah marhaen, dan marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek" (hal 126). Dengan begitu, Soekarno muda sudah menemukan suatu "ideologi nasional" yang dianggap cocok dengan situasi rakyat negerinya. "Pada waktu itu, ia memandang bahwa konsep marhaenisme lebih cocok sebagai ideologi nasional daripada pengertian kelas proletariat" (hal 126).

Soekarno mencoba mencari strategi realistis bahwa tujuan ideologis atas nama Islam atau sosialisme sebetulnya harus melewati sebuah proses yang sama, yaitu Indonesia merdeka. Tujuan "mencapai kemerdekaan" ini yang menurut Hering konsisten dilaksanakan oleh Soekarno dengan taktik yang berbeda, nonkooperasi di zaman rezim kolonial Belanda dan kooperasi di bawah rezim fasis Jepang.

Pada tahun 1926 didirikan Comite Persatuan Indonesia (CPI) di Bandung.

CPI mengeluarkan terbitan berkala bulanan yang bernama Indonesia Moeda (IM). Dalam IM ini Soekarno mengeluarkan formula politik "klasiknya" tentang "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme". Tulisan ini dimuat tiga nomor berturut- turut. "Dengan begitu Soekarno melakukan ajakan dan prakarsa dramatis kepada tiga ideologi dominan yang menjiwai keberadaan dan bertahannya organisasi-organisasi utama di Tanah Air" (hal 136). Persatuan ini ditujukan pada satu muara, yaitu "untuk melakukan perlawanan bersama terhadap musuh bersama" (hal 136).

Perserikatan Nasional Indonesia dan represi

Pada bulan Juli 1926 Soekarno mengadakan sebuah pertemuan dan mengambil kesepakatan tentang perlunya mendirikan sebuah partai nasionalis baru yang "sama sekali berlainan dengan PKI". Disepakati untuk membentuk Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dengan Soekarno sebagai ketua. Partai ini menolak taktik kekerasan, tetapi memilih sikap nonkooperasi atas penguasa kolonial. PNI juga mengambil taktik aksi massa atau rapat umum untuk mendesakkan kebangkitan kesadaran rakyat. Kelahiran PNI ini juga menjadi titik awal rivalitas politik yang panjang antara Soekarno dan Hatta dan Syahrir.

Kelahiran PNI ini telah membentuk "jiwa politik Soekarno" untuk menjalin suatu "keterikatan emosional" dengan "kerumunan massa" yang terpukau oleh orasinya. Kehadirannya menjadi kunci dari mobilisasi politik yang diikuti oleh ribuan orang di berbagai tempat di Pulau Jawa. Rezim kolonial mulai khawatir dengan perkembangan ini. Akibatnya, ruang gerak PNI mulai dibatasi dengan berbagai pembatalan acara dan represi. Bahkan, di Semarang pidato Soekarno dihentikan oleh polisi ketika berbicara tentang kemerdekaan. Soekarno mulai menjadi target utama polisi, intel rezim kolonial. Bahkan polisi bertindak lebih jauh lagi dengan melarang penggunaan kata "merdeka" dalam pertemuan PNI dan pidato Soekarno. Bahkan beredar desas-desus bahwa Soekarno sudah masuk dalam daftar aktivis yang akan ditangkap dan dibuang.

Merespons isu tersebut Hatta sudah menyiapkan sebuah perjalanan bagi Soekarno untuk tinggal sementara di negeri Belanda. Namun, menurut Hering, selain motif untuk menghindari represi atas PNI dan Soekarno, Hatta tampaknya juga berambisi hendak mengambil alih kepemimpinan politik. "Ketika PNI ditinggalkan sendirian, maka Hatta akan mendapatkan peluang nyata bagi peran dirinya sendiri" (hal 185). Dan langkah selanjutnya adalah "mendapatkan kesempatan agar kepemimpinan PNI jatuh ke tangan mereka yang kurang flamboyan dan lebih berhati- hati yang kemudian lebih menerima arahan dan gagasannya sendiri" (hal 185). Anjuran ini ditolak oleh Soekarno, yang menurut Hering, "Hatta tidak memahami suatu fakta penting bahwa Soekarno mendapatkan kepuasan luar biasa dengan menggunturkan protes dan klaimnya di depan kerumunan besar massa rakyat pribumi yang mendengarkan pidatonya" (hal 186).

Tanggal 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dengan tuduhan akan adanya pemberontakan, "agar ada alasan memukul PNI sekali dan untuk selamanya" (hal 203). Selanjutnya, Soekarno ditahan di Penjara Bantjeuj. Ketika Soekarno di penjara, rezim kolonial terus melakukan represi atas PNI dengan melakukan penggeledahan dan pelarangan berbagai kegiatan. Akhirnya para pimpinan PNI membekukan organisasi ini pada 11 November 1930.

Pengadilan atas Seokarno dilangsungkan sepanjang tahun 1930 dan ia dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Soekarno lalu ditahan di Penjara Soekamiskin di Bandung bersama dua pemimpin PNI lainnya, Gatot dan Maskoen. Proses persidangan Soekarno menjadi media propaganda dan pendidikan politik yang menarik perhatian luas, seperti dikatakan Hering, "Dengan segala keterampilannya sebagai orator, ia menyampaikan pembelaan maraton yang piawai, penuh dengan data resmi tak terbantah dalam membeberkan pesannya dengan istilah-istilah yang penuh tenaga" (hal 213-214).

Dipenjarakannya Soekarno tetap tidak dapat menghasilkan "kepemimpinan politik baru". Hatta dan Syahrir yang mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) pada tahun 1932 gagal menggantikan peran Soekarno dan PNI lamanya. Menurut Hering, akhirnya Syahrir bersikap jauh lebih realistis atas Soekarno. "Kami tak dapat menyingkirkan dia (Soekarno). Telah beberapa tahun lamanya rakyat terpesona olehnya sampai kini" (hal 237-238). Akibatnya, menurut Hering, "secara mendasar mereka gagal untuk dapat melaksanakan cetak biru pandangan Barat secara lengkap" (hal 240).

Bebasnya Soekarno pada Januari 1932 membuat Partindo yang didirikan untuk menggantikan PNI dengan cepat mendorong kembali radikalisme kaum pergerakan. Cabangnya berkembang hingga 43 cabang dengan anggota mencapai 20.000 anggota. Untuk memberikan panduan politik, Soekarno menerbitkan pamflet Menuju Indonesia Merdeka (MIM). Hering tidak melihat keluarnya pamphlet MIM sebagai reaksi dari pamflet Hatta yang keluar sebelumnya dengan judul Ke arah Indonesia Merdeka (KIM) seperti ditulis Mavis Rose dalam Biografi Politik Mohammad Hatta (Jakarta, Gramedia 1991, hal 111).

Pada 31 Juli 1933 Soekarno kembali ditangkap karena pamfletnya tersebut. Dalam proses interogasi inilah dunia pergerakan kembali dibuat geger oleh Soekarno dengan dipublikasikannya empat surat Soekarno yang mengungkapkan penyesalan politiknya dan berjanji akan keluar dari politik dan selanjutnya mengabdikan diri sepenuhnya dalam kehidupan sebagai warga biasa sesuai dengan kemampuan akademiknya.

Hering sendiri tampaknya mencoba keluar dari polemic sensitif di sekitar surat ini dengan melihat konteks mengapa bisa keluar surat semacam ini. Pertama, ia menduga ada tekanan atas Soekarno selama diinterogasi dan ditahan, "Kunci masalahnya mungkin sekali berada di tangan Jongmans yang menekan Soekarno dengan memaksanya menulis surat kepada Jaksa Agung" (hal 258). Kedua, ia hendak mengatakan bahwa Soekarno adalah juga manusia biasa, apalagi saat itu ibunya sedang sakit, "Di sini ia dalam keadaan pantas dikasihani, memohon dirinya dibebaskan, serta menerima usul yang bermaksud baik untuk memperbaiki jalan hidupnya" (hal 258-259). Terakhir, rezim colonial melanggar kesepakatan yang telah dibuat untuk tidak mengumumkan surat-surat tersebut. Rezim colonial tampaknya sadar, "Diterbitkannya surat itu akan merupakan 'pernyataan kematian sosialnya yang pasti' dan menyebabkan 'masyarakat Indonesia akan mengutuk dan meludahi dirinya'" (hal 259).

Selanjutnya, Soekarno harus menjalani hukuman panjang dalam "sewindu semadi dan refleksi" di Ende dan Bengkulu. Dari pembuangannya di Bengkulu Soekarno terus mengikuti perkembangan dunia dan mulai menulis serangkaian artikel tentang bahaya fasisme, "Semangat kita adalah semangat demokrasi, sedang semangat fasis adalah tirani". Perkembangan ini disadari Soekarno "akan mempunyai kaitan langsung atau tidak dengan kepentingan Indonesia sendiri" (hal 295).

Pada 1941 Soekarno dibebaskan dan diminta untuk membentuk Penolong Korban Perang. Seperti ditulis Hering, "Bagi Soekarno ini merupakan pertanda bahwa serangan Jepang sudah mendekat" (hal 301). Analisis Soekarno itu terbukti benar. Bulan Maret 1942 tentara fasis Jepang sudah behasil mengambil alih Hindia Belanda dari rezim kolonial Belanda.

Zaman Jepang dan proklamasi kemerdekaan

Tidak banyak yang memahami bahwa taktik kolaborasi dalam zaman pendudukan militer Jepang dilakukan Soekarno dalam kerangka "mencari segala cara" untuk membawa Indonesia merdeka. Tampaknya penulis ingin membuktikan bahwa dalam ruang politik yang begitu sempit, Soekarno berhasil memaksakan berbagai konsesi politik kepada rezim Fasis Jepang. Dalam "penafsiran seperti ini" Hering ingin menunjukan bahwa Soekarno tidak berubah dengan cita-citanya, hanya taktiknya yang berubah. Oleh karena itu, strategi Soekarno tersebut tidak bisa disamakan dengan kolaborasi terhadap naziisme atau fasisme di Eropa.

Pada bulan Juni 1942 Soekarno kembali ke Jawa dari pembuangannya. Ia lalu terlibat dalam pertemuan politik dengan Asmara Hadi, Hatta, dan Syahrir untuk merespons situasi terbaru di bawah pendudukan militer Jepang. "Mereka berempat merundingkan kesempatan kerja sama dengan pihak Jepang dalam usaha untuk membangun kembali gerakan" (hal 338). Dengan alasan strategis itu Soekarno menerima penunjukannya untuk berkolaborasi guna mengurangi dampak politik penindasan pemerintah terhadap rakyat.

Dengan taktik itu Soekarno menerima tawaran Jenderal Imamura, penguasa militer Jepang, untuk duduk sebagai penasihat dalam Departemen Urusan Dalam Negeri. Posisi ini memberikan "ruang dan kesempatan" kepada Soekarno untuk kembali bicara di hadapan ribuan rakyat, "tempat ia selalu mendapatkan ilham kekuatan" (hal 341), setelah sembilan tahun diasingkan. Pada tanggal 8 Desember 1942 Soekarno mengumumkan berdirinya Pusat Tenaga Rakyat (Putera).

Soekarno memanfaatkan Putera untuk melakukan berbagai rapat umum di berbagai tempat dan mendesakkan berbagai konsesi politik. Sebuah rapat umum Putera yang dihadiri lebih dari 100.000 orang di Bandung akhirnya membuat "Pemerintah Jepang memberikan sejumlah konsesi" (hal 356) dengan "mengizinkan penduduk Jawa melakukan partisipasi politik" (hal 356). Realisasi perluasan partisipasi politik itu adalah dengan pembentukan Chuo Sangiin (Dewan Penasihat Pusat), Shu Sangikai di tingkat karesidenan dan Tokubetsushi Sangikai khusus di Jakarta.

Dalam Chuo Sangiin Soekarno terus menuntut konsesi politik yang lebih luas bahkan sudah berani menuntut kemerdekaan dalam pidato pertama pembukaan dewan. Menurut Hering, "Chuo Sangiin yang diketuai oleh Soekarno telah berkembang ke arah lain daripada yang dimaksudkan oleh pihak Jepang" (hal 359-360).

Kebutuhan akan mobilisasi perang membuat pihak Jepang membentuk Pembela Tanah Air (Peta) yang diketuai oleh tokoh PNI, Gatot Mangkoepradja. Namun, organisasi ini berhasil digerakkan ke arah tujuan lain. Hering menulis, "Kaum nasionalis Indonesia memandang Peta berbeda karena tujuan berkelanjutan Soekarno, Hatta, dan para pemimpin Putera lain yang terus menerus mengindoktrinasi para anggota Peta dengan arah pandangan pro Indonesia, hanya keluar terlihat pro Jepang dan antisekutu" (hal 365).

Tanda-tanda Jepang mulai kelelahan dengan perang mulai tampak dari janji PM Koiso untuk memberikan masa depan kemerdekaan bagi Indonesia pada bulan Juli 1944. Pada tanggal 1 Maret 1945 secara mengejutkan pemerintah Jepang membentuk Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan yang dipimpin oleh Dr Radjiman.

Setelah Nazi takluk pada sekutu pada bulan Mei 1945, Mayjen Yamamoto Moichiro secara mengejutkan mulai berbicara tentang "membangun Indonesia merdeka". Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan mengadakan sidang 1 Juni 1945 "untuk bersama-sama mencari dasar filosofis bersama" (hal 401). Dalam sidang ini Soekarno merumuskan konsepnya yang dikenal sampai sekarang dengan Pancasila.

Pada tanggal 10 Agustus 1945 Syahrir menyebarkan kabar peledakan bom atom di Jepang dan ultimatum sekutu agar bala tentara Jepang menyerah. Ia menyebarkan kabar ini kepada berbagai kelompok pemuda dan menemui Hatta "untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia" (hal 413).

Polemik yang muncul kemudian adalah, apakah proklamasi dilakukan karena "penculikan" yang dilakukan oleh kelompok yang didorong oleh "scenario mereka sendiri, atau setidaknya scenario Syahrir" (hal 415) ataukah memang karena inisiatif Soekarno-Hatta sendiri? Adam Malik menganggap telah terjadi kesepakatan antara pemuda dan keduanya setelah dipaksa. Hatta menganggap kesepakatan itu cuma mitos belaka. Kenyataannya adalah bahwa naskah proklamasi dikerjakan di Jalan Imam Bonjol, di rumah Laksamana Maeda, di mana Hatta berperan besar dalam menuliskan naskah proklamasi. Pada jam 10 pagi di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan 56, "Soekarno dengan didampingi Hatta di depan ratusan hadirin membacakan proklamasi" (hal 423). Berita ini lalu disebarluaskan dengan menggunakan fasilitas kantor berita Domei ke seluruh pelosok Indonesia dan dunia.

Selanjutnya PPKI diubah menjadi Komite Nasional Indonesia "untuk menghindarkan kesan sebagai bikinan Jepang". Dan Soekarno menjadi presiden bersama wakilnya Hatta dengan dewan penasihat sementara Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada tanggal 7 Oktober Syahrir dan 40 orang anggota KNIP membuat petisi yang menuntut kabinet bertanggung jawab pada legislative (KNIP), bukan pada presiden.

Petisi ini menunjukkan terbukanya kembali rivalitas perebutan kepemimpinan politik di antara Syahrir-Hatta versus Soekarno. Petisi tesebut adalah alat dari Syahrir-Hatta untuk "memangkas peran politik Soekarno". Kejadian ini adalah "kudeta diam-diam dalam arti dilakukan dengan pintar, tenang dan damai" (hal 429). Dan Soekarno diletakan perannya tak lebih sebagai "simbol".

Penutup

Buku ini adalah upaya seorang "peneliti Barat" yang mencoba memahami Soekarno dari pengalaman dan fakta yang mengitarinya. Upaya ini tampak dari kerja keras penulis untuk menelusuri berbagai dokumen yang mengikuti karier politik Soekarno muda secara detail.

Tentu saja subyektivisme "seorang pengagum Soekarno" juga terasa, khususnya dalam perseteruan politik Soekarno dengan Hatta dan Syahrir. Membaca karya Hering, kita justru menjadi "realistis" bahwa "dwi-tunggal Soekarno-Hatta" sebenarnya lebih tepat sebuah mitos, bukan kenyataan.

Karya "akbar" ini menurut Bob Hering akan dilanjutkan dengan penerbitan jilid II, yaitu masa perjalanan politik Soekarno antara tahun 1945 hingga 1965. Kita patut menunggunya karena rivalitas antara Hatta-Sjahrir dan Soekarno akan mencapai puncaknya dengan penangkapan Syahrir dan mundurnya Hatta sebagai Wapres. Namun, rivalitas itu tampaknya hanya sekunder karena munculnya rivalitas baru antara dua pendatang politik baru yang sangat penting yaitu PKI dan Angkatan Darat (baca: ABRI). Dua kekuatan politik yang nantinya akan coba diimbangi oleh Soekarno dengan menggunakan berbagai konsep "soekarno muda", yang akhirnya gagal karena Angkatan Darat bergerak dengan motif politik yang lain yaitu motif ideologis Perang Dingin.

WILSON, Alumnus Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, Peneliti di Litbang Lembaga Kajian PRAXIS.

Kompas, 21 Agustus 2004

Arok Dedes

Judul : Arok Dedes
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra
Tempat : Jakarta
Waktu Terbit : 1999
Tebal : x + 418 halaman


TUMAPEL

Ia takkan dapat lupakan peristiwa itu pertama kali ia sadar dari pingsan. Tubuhnya dibopong diturunkan dari kuda, dibawah masuk ke ruangan besar ini juga. Ia digeletakan di atas peraduan, dan orang yang menggotongnya itu, Tunggul Ametung, berdiri mengawasinya. 

Ia tengkurapkan diri di atas peraduan dan menangis. Orang itu tak juga pergi. Dan ia tidak diperkenankan meninggalkan bilik besar ini. Gede Mirah menyediakan untuknya air, tempat membuat kotoran dan makanan. Matahari belum terbit. Lampu-lampu suram menerangi bilik besar itu. Begitu matahari muncul masuk ke dalam seorang tua mengenakan tanda-tanda brahmana. Ia tak mau turun dari peraduan. Tetapi Tunggul Ametung membopongnya lagi, mendudukkannya disebuah bangku yang diberi bertilam permadani. Ia tutup mukunya dengan tangan. 

Tunggul Ametung duduk di sampingnya. Orang dengan tanda-tanda brahmana itu telah menikahkannya. Hanya Gede Mirah bertindak sebagai saksi. Kemudian Tunggul Ametung meninggalkan bilik bersama brahmana itu. Sejak itu ia tidak diperkenankan keluar dari bilik besar ini. Semua berlangsung secara rahasia. Empat puluh hari telah lewat. Sekarang ini Gede Mirah meriasnya. Ia telah sampai pada riasan terakhir. Ia ingin kerja rias ini tiada kan berakhir. Dalam empat puluh hari ia telah bermohon pada Mahadewa agar melepaskannya dari kungkungan ini, mengembalikannya pada ayahnya tercinta di desa. Semua sia-sia. Hari yang ke empat puluh adalah hari selesainya wadad pengantin. Ia menggigil membayangkan seorang lelaki sebentar nanti akan membawanya ke peraduan. Dan ayahnya tak juga datang untuk membenarkan perkawinan ini. Ia sendiri juga tidak membenarkan. "Perawan terayu diseluruh negeri," bisik Gede Mirah. "Tanpa riasan sahaya pun tiada orang lain bisa menandingi." Bedak telah menutupi sebagian dari kepucatannya. Sekali lagi air mata merusakkan rias itu. "Jangan menangis. Berterimakasihlah kepada para dewa. Tak ada seorang wanita yang telah ditempatkan pada satu kedudukan oleh Yang Mulia Tunggul Ametung. Tak pernah Yang Mulia melakukan wadad kecuali hanya untukmu. Pernikahan itu takkan dapat dibatalkan. Yang Suci Belakangka adalah juga seorang brahmana sebagai ayahmu. Mantra-mantrannya sama mengikat dengan yang diucapkan oleh ayahmu." Dedes masih juga belum membuka mulut dalam empat puluh hari ini. Ia selalu terkenang pada ayahnya. Tanpa pembenaran dan restunya, semua hanya akan menuju pada bencana. Dan sebagai gadis yang terdidik untuk menjadi brahmani, ia tahu Tunggul Ametung hanya seorang penjahat dan pendekar yang diangkat untuk jabatan itu oleh Sri Kretajaya untuk menjamin arus upeti ke Kediri. Semua brahmana termasuk ayahnya, membencinya. Dua puluh tahun sebagai Tunggul Ametung pekerjaan pokoknya adalah melakukan perampasan terhadap semua terbaik milik rakyat Tumapel: kuda terbaik, burung terbaik, perawan tercantik. "Mari, Dara," dan ditariknya perawan itu berdiri dari duduknya. Dedes tetap tak bicara. Bedak dan mangir itu tak dapat menyembunyikan kepucatannya. Dada telanjangnya mulai ditutup dengan sutra terawang tenunan Mesir tipis laksana selaput kabut menyapu gunung kembar. Peniti pada seutas tali emas membikin sutra terawang itu menyangsang pada lehernya, sebagian menutup rambut. Dan tali emas itu sendiri kemudian dilibatkan tiga kali pada leher untuk kemudian jatuh pada perutnya. Selembar sutra berselang-seling benang emas dan perak terkaitkan pada kondai dengan tusuk kondai, jatuh melalui kuping kiri ke atas pundak "Mari, Dara," katanya lagi dan dipimpinnya Dedes sang cantik, sang ayu, sang segala pujian itu hendak meninggalkan bilik. Gedung pekuwuan itu dalam segala hal meniru istana Kediri, malahan nampak berusaha hendak mengatasi. Juga tatacara yang berlaku. Sepuluh tahun yang lalu Tumapel masih berupa desa sama dengan desa-desa lain. Kini gedung-gedung bermunculan seperti dari perut bumi. Tumapel berubah menjadi kota dan beratus desa bawahannya berubah jadi kumpulan gubuk dan pondok bobrok. Tunggul Ametung Tumapel melambung naik jadi raja kecil, dengan kekuasaan tanpa batas, hanya takluk pada Kediri. Dua orang pengawal, mendengar gerincing giring-giring, membuka tabir berat dari potongan rantung bambu petung, menghentakkan pangkal tangkai tombak sebagai penghormatan, membungkuk tanpa memandang pada Dedes. Gede Mirah menyerahkannya pada rombongan wanita pengiring yang langsung menyerahkannya pada Yang Suci Belakangka, Pandita Negeri Tumapel. Semua menunduk mengikatkan pandang pada lantai. Juga Dedes. Hanya Sang Suci mengangkat muka, memimpin semua meninggalkan keputrian menuju ke pendopo pekuwuan. Iringan itu merupakan permainan warna dalam siraman sinar matahari sore. De depan sendiri Dedes dalam intan baiduri gemerlapan. Rambutnya dimahkotai dengan pita emas dengan matahari intan bertaburan pada kening. Kulit tubuhnya yang dimangir kuning muncul dari balik terawang sutra Mesir dengan sepasang buahdada seperti hendak bertanding dengan matahari. Yang Suci Belakangka mengenakan jubah hitam berkalung lempengan emas dengan hiasan dudul bergambar lambang serba Wysnu: cakra dan sangkakala. Kalung jabatan itu diberati dengan patung garuda. Juga dari emas. Semua berkilat-kilat memuntahkan pantulan api dari dalamnya. Di belakang barisan dara pengiring, berselendang aneka warna dengan buahdada penuh menggagahi pemandangan, dengan gelang dan binggal perak dan suasa mengangakan mulut naga. Iringan itu berjalan selangkah dan selangkah seperti takut bumi jadi rengkah terinjak. Tetap tinggal Yang Suci yang tiada menunduk dengan jubah gemersik pada setiap langkah. Delapan puluh langkah keluar dari keputrian iringan sampai di pendopo istana sang Akuwu. Empat orang prajurit berbarengan meniup sangkakala. Dan keluarlah Tunggul Ametung dengan pakaian kebesaran, menandingi pakaian Sri Kretajaya. Ia diapit oleh barisan narapraja, kemudian diiringkan oleh pasukan pengawal, yang mendadak keluar dari samping-menyamping istana, menaikkan tombak dan menghentakkan pangkalnya ke lantai. Sangkakala berhenti berseru-seru. Akuwu Tumapel turun dari pendopo menyambut pengantinnya, menggandengnya. Dua orang prajurut datang membawa dua ekor kuda dengan hiasan serba perak. Mereka mengangkat sembah kemudian mempersembahkan kuda mereka. Tunggul Ametung menolong Dedes naik ke atas kuda yang seekor. Ia sendiri menaikkan yang lain. Dan iringan itu mengikuti dari belakang berjalan kaki, meninggalkan pekuwuan, langsung menuju ke alun-alun. Dua orang prajurit itu menuntun kuda pengantin. Juga turun dari kuda Tunggul Ametung sendiri menolong pengantinnya., membimbingnya mendaki tangga panggung. Janur kuning dan daun beringin menyambut kedatangan mereka. Dan rakyat yang menonton di sekitar alun-alun itu hening tanpa sorak-sorai. Para narapraja ikut naik ke panggung. Para pengiring berbaris bersila di bawah. Yang Suci Belakangka berdiri di hadapan pengantin, memberi hormat menyingkir ke samping menghadap rakyat. Ia angkat tongkat sucinya. Keadaan semakin hening. Mendadak menderum genderang dari belakang para penonton.. dengan tangan kanan Yang Suci mengangkat giring-giring emas dan menggerincingkannya tiga kali. Berpuluh pendita dari seluruh negri Tumaprl, yang didatangkan dari kota dan desa dan diturunkan dari gunung-gunung Arjuna, Welirang, Kawi dan Hanung, berbaris seorang-seorang dengan jubah aneka warna dan destar sesuai dengan warna jubahnya. Di tangan mereka terangkat umbul-umbul kecil. Semua berjumlah empat puluh, empat puluh pandita empat puluh hari pengantin telah mematuhi wadad perkawinan agung tatacara para raja dari jauh di masa silam yang sudah tak dapat diingat lagi kapan. Di belakangnya lagi sebarisan dara belasan tahun menari irama gamelan. Pemimpinnya membawa bendera sutra merah, besar, pertanda darah perawan pengantin diharapkan. Pakaian mereka kain batik, tanpa selembarpun baju, dengan perhiasan dan mahkota bunga-bungaan. Waktu sebarisan kepala desa menyusul, memikul patung dewa yang sedang duduk di atas punggung garuda seluruhnya terbuat dari anyaman rontal, penonton bersorak-sorai, kemudian mengangkat sembah. Hanya para brahmana dan brahmani, yang berada di antara penonton dan menyembunyikan kepercayaannya selama ini, dalam kediamannya masih dapat mengenal, patung itu sama sekali bukan seorang dewa, hanya seorang raja yang diperdewakan: Erlangga. Sesampai di depan panggung semua barisan berjalan miring menjauh memasuki tenga-tengah alun-alun. Hanya barisan patung di atas garuda itu tetap berhenti di depan panggung. Tunggul Ametung berdiri, menggandeng pengantinnya, dan memimpinnya berlutut kemudian mengangkat sembah. Para narapraja di belakang pengantin agung juga mengangkat sembah. Yang Suci melihat tangan Dedes gemetar dalam sembahnya. Dan ia lihat air matanya titik. Kemudian tangan itu jatuh lunglai di atas pangkuan. Belakangka membantunya mengangkat tangan itu dan memperbaiki sembahnya. Berbisik menindas : "Dewa Sang Akuwu sekarang juga dewamu." Tetapi tak dapat lebih lama Yang Suci menunjang sembah Dedes. Ia harus memimpin upacara selesai wadad itu. Sembah pengantin itu jatuh lagi di pangkuan. Belakangka berdiri, mengangkat tongkat sucinya dan giring-giringnya pun gemerincing. Angin pancaroba meniup keras, berpusing di tengah lapangan, membawa debu, membubung tinggi kemudian membuyar, melarut dalam udara sore. Yang Suci mengucapkan mantra restu, ditutup dengan suara seratus sangkakala. Barisan wanita dari semua biara negeri Tumapel yang diakui muncul dalam pakaian warna-warni, mengambil alih pemikulan patung rontal, membawanya ke tengah alun-alun, menenggelamkannya dalam luapan api. Kemudian barisan pandita dengan abu patung dalam bokor emas mempersembahkannya pada Tunggul Ametung yang telah duduk kembali. Upacara penutupan brahmacarya telah selesai. Tunggul Ametung berdiri berseru kepada rakyatnya: "Demi Hyang Wisynu, pada hari penutupan brahmacarya ini, kami umumkan pada semua yang mendengar, pengantin kami ini Dedes, kami angkat jadi Peramesywari, untuk menurunkan anak yang kelak akan menggantikan kami." Belakangka mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Terdengar sorak bersambut-sambutan.

Dengan didahului oleh abu patung dalam bokor di atas talam ditangan seorang pandita, Akuwu Tumapel dan pengantinnya menurunin panggung, berjalan kaki menuju ke istananya. Para narapraja tinggal di pendopo, duduk bersimpuh. Akuwu dan pengantinnya dalam iringan Yang Suci, dan seorang pandita membawa bokor abu Erlangga menuju ke Bilik Agung yang terletak di balik pendopo. Mereka dapatkan Gede Mirah menyambut di dalam. Diterimanya bokor emas itu dari tangan pandita dan menaruhnya di atas meja, kemudian menyembahnya. Dedes berjalan tanpa kemauan. Ia dengar sekali lagi Yang Suci berbisik menindas: "Basuhlah kaki Yang Mulia." Dara itu masih juga tak dapat membendung air matanya dan menangis tersedan-sedan. Ia memprotes entah pada siapa: seorang brahmani yang harus mencuci kaki seorang sudra yang disatriakan oleh Kediri. "Yang Mulia Akuwu Tumapel," Yang Suci mulai memimpin upacara, "kaki Yang Mulia." Tunggul Ametung dalam berdiri itu mengangkat kaki kanan pada Dedes yang telah dipaksa berlutut oleh Yang Suci. Air bunga dalam jamban itu bergerak-gerak kecil. "Bukankah Yang Mulia Akuwu sudah cukup memuliakan kau, Dedes? Paramesywari Tumapel? Telah mengangkat naik kau dalam perkawinan kebesaran ini?" tindas Yang Suci. Melihat Dedes tak juga mencuci kaki Tunggul Ametung, ia sandarkan tongkat sucinya pada meja, menangkap tangan lembut Dedes dan memaksanya membasuh kaki kanan suaminya, kemudian yang kiri. Dedes tak juga bangkit dari berlutut. Kembali Yang Suci juga yang memimpinnya berdiri, membisikkan pada ubun-ubunnya, memberkahinya dengan restu kebahagiaan serta seorang putra calon pemangku Tumapel hendaknya segera dilahirkannya. Upacara selesai dan malampun jatuh.

PESTA UNTUK rakyat, juga pesta di pekuwuan telah selesai. Tumapel mulai sunyi dalam tengah malam. Dan dingin pancaroba membikin orang lari di bawah selimut masing-masing. Dalam Bilik Agung Dedes berlutut menghadapi peraduan. Air matanya telah kering. Tapi dalam hatinya masih juga mengucur tiada henti. Gede Mirah dan Rimang tak mampu menghiburnya. Ia tahu pikirannya tidak kacau. Hatinya masih dapat menilai, mantra yang diucapkan oleh Belakangka dalam Sansakerta mengandung banyak kesalahan ucap dan bahasa. Lima tahun yang lalupun ia berumur sebelas waktu itu sudah mampu menyalahkan, apalagi sekarang. Ia tak bisa terima perkawinan semacam ini: seorang brahmani harus membasuh kaki seorang sudra yang disatriakan. Dan ayahnya, seorang brahmana terpelajar, merasa tidak perlu untuk menengok. Empat pulih hari ia telah membisu. Hanya itu yang ia bisa berbuat untuk melawan Tunggul Ametung. Menghadapi peraduan begini, dengan Gede Mirah dan Rimang terus juga mencoba menghiburnya, ia teringat pada suatu cerita pokok tentang perkawinan antara wanita kasta brahmana dengan seorang pria kasta satria.. ayahnya, Mpu Purwa, yang menceritakan padanya dalam suatu pelajaran tentang tata tertib triwangsa. Pada suatu kali ditahun 1107 Saka Sri Ratu Srengga Jayasaba dari Kediri mangkat. Pertentangan terjadi dalam istana siapa yang harus dinobatkan. Raden Dandang Gendis melarikan diri dari istana ke Gunung Wilis. Di sana ia jatuh cinta pada gadis anak brahmana Resi Brahmaraja bernama Amisani. Waktu itu Dedes menerimanya hanya sebagai pelajaran sejarah, sekarang ini ia baru mengerti, semua itu peringatan pada dirinya untuk tidak menerima lamaran dan suami seorang dari kasta satria. Ia sesali dirinya sendiri mengapa ia baru sekarang ini mengerti makna cerita itu. Dan bagaimana cerita itu selanjutnya. Resi Brahmaraja tidak menyetujui percintaan itu. Amisani ini, kata sang Resi, hanya gadis desa tidak layak mendampingi Tuan jadi Paramesywari, duduk di ssinggasana dikemudian hari. Tapi cinta telah membutakan Dandang Gendis : ia menjawab; Jika aku disuruh memilih antara Amisani dan mahkota sekarang juga aku dapat katakan, aku pilih Dewi Amisani. Resi Brahmaraja, yang mengenal betul kehidupan istana, meminta pada Dandang Gendis untuk memikirkannya kembali, jangan sampai hati tertutup oleh nafsu. Anakku, Tuan, aku tahu, dia lebih berbahagia hidup di Gunung Wilis ini daripada di istana. Dandang Gendis tak dapat dibelokkan kemauannya. Perkawinan dilangsungkan. Tiga tahun ia tinggal di padepokan Resi Brahmaraja. Pada suatu hari datang dari Kediri ke Gunung Wilis Mpu Tanakung dan adiknya sendiri, Mahisa Walungan. Mereka datang menjemputnya untuk dinobatkan jadi raja Kediri. Ini terjadi pada tahun 1110 Saka. Ia tidak lain daripada Sri Kretajaya yang memerintah Kediri sekarang. Di istana Amisani, si anak desa, tidak disukai oleh para putri istana. Orang pun memasang racun untuk membunuhnya, Amisani akbhirnya mati termakan racun itu… Dedes terbangun dari renungannya. Ia kini sedang mengulangi kisah hidup Amisani. . Ia mengerti di Tumapel tersedia banyak racun untuk melenyapkannya dari muka bumi. Aku tidak harus mati karena racun, ia yakinkan drinya sendiri, yang lain bisa, Dedes tidak! Ia harus hidup.

KUTARAJA, IBUKOTA Tumapel, tenggelam dalam dingin pancaroba. Di rumah-rumah penjagaan, para kemit masih sibuk memperbincangkan upacara selesai brahmacarya. Seluruh negeri baru tahu dari upacara itu, bahwa Paramesywari Tunggul Ametung adalah anak brahmana Mpu Parwa dari desa Panawijil. Semua orang tahu brahmana itu tidak mendapatkan pengakuan dari Yang Suci Belakangka, maka juga tidak dibenarkan menerima pelajar. Satu-satunya murid resmi adalah anak tunggalnya: Dedes. Barang siapa pada malam itu belum tidur, dia bertanya-tanya, apa sebabnya perkawinan itu dirahasiakan. Dan mengapa Tunggul Ametung hanya mengambil gadis desa. Bukankah di Kutaraja sendiri banyak gadis cantik yang patut di Paramesywarikan? Peristiwa itu mendesak berita hebat dari hampir dua bulan lalu yang menyebabkan penjagaan istana Tumapel dan seluruh Kutaraja diperketat. Berita itu adalah tentang Borang, seorang pemuda berperawakan kukuh, berani atau nekad, tanpa kegentaran. Ia muncul di tanah lapangan Bantar, setengah hari perjalanan di sebelah barat Kutaraja. Dan orang dengan diam-diam mengagungkan dan membenarkan Borang, bahkan menganggapnya sebagai titisan Hyang Wisynu sendiri. Bantar adalah sebuah dukuh di kaki Gunung Arjuna, di pinggir jalan negeri yang menghubungkan Tumapel dengan Kediri. Pembangun dukuh adalah Ki Bantar. Beberapa tahun yang lalu ladang Bantar tidak tanah lapang seperti sekarang, karena Ki Bantar setiap musim kemarau menanaminya dengan bawang merah. Seorang narapraja dalam perjalanan ke Kediri telah mengusirnya bersama semua keluarganya. Semua harta milik dan hartanya dirampas oleh desa. Di lapangan bantar ini dua bulan yang lalu Borang muncul dalam terang cahaya bulan. Anak buahnya telah mengerahkan seluruh penduduk untuk berkumpul dan melingkarinya. "Akulah Borang," ia memperkenalkan diri. "Mengapa kalian diam saja waktu Ki Bantar dan keluarganya diusir dari sini? Katakan padaku sekarang: siapa yang bersuka hati karena kepergiannya?" penduduk yang menjadi waspada tidak menjawab. Siapa Borang, orang tak tahu. Selama ini banyak perlawanan terhadap Tunggul Ametung, dan hampir semua telah dipatahkan. Boleh jadi Borang punggawa Tumapel, boleh jadi juga sebaliknya. "Mengapa kalian diam saja tidak menjawab? Sekarang tidak, waktu Ki Bantar diusir juga tidak. Apakah kalian kurang menyembah dan berkorban pada Hyang Wisynu, maka kurang keberanian dalam hati kalian?" "Bukankah kami tidak bersalah memuja dan mengkorbaninya, ya, Borang?" seseorang bertanya. "Pemujaan dan korban kalian tiada arti bila kalian tak dapatkan keberanian itu dari Hyang Wisynu." "Barangkali kau seorang pemuja Hyang Syiwa, Borang. Kalau demikian janganlah disinggung dengan ucapanmu dengan apa yang kami cintai, sembah dan korbani." "Apakah kekurangan Hyang Wisynu maka Ki Bantar sampai terusir dari desa dan kalian diam saja? Apakah dia kurang memuja dan mengkorbani? "Tidak, Borang, jangan salahkan juga kami. Tumapel terus-menerus menyalahkan kami. Kalau kau pun demikian apalah gunanya kau menggiring kami ke tengah tanah lapang ini?" "Kalian memuja Hyang Wisynu hanya karena Akuwu Tumapel juga melakukannya?" angin pancaroba yang dingin itu meniup tanpa mengindahkan puncak pepohonan yang membangkang. Dan yang berselimut kain biru dalam temaram cahaya bulan itu tiada menjawab. "Kekuasaan Akuwu Tumapel yang diberkahi oleh Hyang Wisynu telah membikin kalian mengidap kemiskinan tidak terkira. Dengan segala yang diambil dari kalian Akuwu Tumapel mendapat biaya untuk bercumbu dengan perawan-perawan kalian sampai lupa pada Hyang Wisynu. Dengan apa yang diambil dari kalian itu juga Sri Baginda Kretajaya di Kediri sana tak lebih baik perbuatannya. Sama sekali tak ada artinya dibandingkan dengan kemuliaan Hyang Wisynu," ia diam untuk memberi kesempatan pada penduduk Bantar untuk mengerti, ia bukan seorang narapraja, juga bukan penyokong Akuwu Tumapel, bahkan menempatkan diri sebagai lawannya. "nah, jawab sekarang. Adakah kalian setuju Ki Bantar dan keluarganya diusir?" Seorang bertubuh tinggi besar, juga berselimut gelap, menghampiri Borang, menetakkan tanya: "Siapa kau sesungguhnya?" "Jangan perhatikan siapa aku, dengarkan kata-kataku. Jangan kau kira Borang gentar karena yang datang padaku berperawakan tinggi dan besar. Kau sudah tak berdaya selama ini. Borang masih berdaya." "Siapa kau?" desak orang itu "Kalau kau narapraja dari Tumapel, kebetulan, biar semua orang lihat dan tahu siapa Borang. Apa maumu?" orang-orang dukuh Bantar, laki dan perempuan mulai mendesak mendekati. "Katakan berdepan-depan pada semua orang ini," si tinggi besar meneruskan, "Kau musuh Tumapel." "Aku bukan musuh Tumapel. Aku musuh Akuwu Tunggul Ametung. Apa perlu kuulangi?" "Katakan kau musuh Sri Baginda Kretajaya."

Ia masih akan bersimpuh pada kaki ayahnya untuk memohon ampunannya karena tak mampu membela diri. Ia harus telan semua upacara penghinaan kaum Wisynu atas dirinya. Ia angkat dagu, dan : "Ayah, sekarang ini sahaya kalah menyerah. Dengarkan sumpah sahaya, sahaya akan keluar sebagai pemenang pada akhir kelaknya." Harum mangir pada kulitnya bersama harum dupa-setanggi memadati ruangan besar Bilik Agung itu. Hatinya sendiri semakin sempit terhimpit. Dara yang terasuh dengan cinta kasih seorang bapa ini tak punya kekuatan untuk melawan. Ilmu dan pengetahuan, yang ditungkan padanya oleh ayahnya, tidak berdaya menghadapi Sang Akuwu. "Akhir kelaknya sahaya yang menang, Ayah, Agunglah kau, puncak Triwangsa, kaum brahmana. Agunglah Hyang Mahadewa Syiwa!" Dan Tunggul Ametung hanya seorang jantan yang tahu memaksa, merusak, memerintah, membinasakan, merampas. Bahkan membaca ia tak pernah, karena memang tidak bisa. Menulis apalagi. Dedes tak tahu harus berbuat apa. Melawan ia tak mampu. Lari ia pun tak mampu. Meraung tak mungkin. Dua orang wanita itu tiba-tiba bersiap-siap, mengangkat sembah padanya dan meninggalkan Bilik Agung. Tanpa mengangkat pandang tanpa berpaling ia mengerti, Sang Akuwu telah meninggalkan pendopo dan memasuki ruang besar ini. Ia tetap berlutut menghadap ke peraduan. Ia dengar langkah kaki. Juga ia dengar suara terompah: Yang Suci Belakangka. Langkah-langkah itu semakin mendekat, menghampirinya. Ia tahu detik-detik ini adalah upacara menaiki peraduan pengantin. Ia menggigil. Dedes tak memberikan sesuatu reaksi waktu tangan Tunggul Ametung dengan hati-hati melepas sutra terawang Mesir dari peniti dan tali, dan menyusupkan pada tangannya. Menurut tata tertib yang deketahuinya, dengan sutra itu ia harus membasuh muka Tunggul Ametung, badan dan tangan sebagai awal upacara. Tangan Akuwu itu menariknya, dengan lembut memaksanya berdiri dan memimpinnya ke arah jambang air bunga. Tekanan paksa dari Belakangka menyebabkan ia mencelupkan sutra itu ke dalam jambang dan mulai membasuh muka bopeng bekas jerawat besar, kemudian dada dan dua belah tangannya yang berbulu. Sutra itu jatuh dari tangannya yang menggigil. Ia tetap menunduk di bawah tembusan pandang Sang Akuwu. Yang Suci mengambil sutra itu dan menggandengkan tangan Tunggul Ametung pada pengantinnya: "Yang Mulia, bawalah perempuan ini naik ke peraduan. Para dewa membenarkan. Pimpinlah dalam sanggama untuk mendapatkan karunianya, mendapatkan calon pemangku Tumapel," ia bunyikan giring-giringnya, kemudian meninggalkan Bilik Agung. Berdua mereka berdiri di depan peraduan, mengawasi lembaran kapas yang tergelar di atas tilam. Sinar empat damar disetiap pojok bilik itu menerangi seluruh ruangan. Dan bayang-bayang hampir-hampir tiada. Tunggul Ametung menoleh pada dua orang wanita yang duduk bersimpuh di pintu. Mereka mengangkat sembah dan pergi, hilang di balik tabir berat potongan-potongan ranting bambu petung. Tunggul Ametung merabai lembaran kapas itu dan menatap pengantinnya. Dan Dedes mengerti sepenuhnya: kapas itu akan menampung darah perawan yang sebentar lagi harus ia teteskan. Gigilannya semakin menjadi-jadi. Besok sebelum matahari terbit, kapas dengan bercak darah itu akan diambil dengan upacara oleh Gede Mirah. "Mengapa tak juga aku dengar suaramu, Permata?" ia letakkan tangan pada pundak pengantinnya, dan ia rasai gigilan itu. "Mengapa tak juga kau lepas seluruh pakaianmu? Bukankah kapas itu telah menunggu kesediaanmu?" dara itu tetap membisu. "Apakah perlu kupanggilkan Gede Mirah untuk membantumu?" Dedes menjawab dengan tangis. Tunggul Ametung menangkap muka isterinya dan diciumnya pada pipi dan lehernya: "Keayuan yang keramat ini para dewa semoga takkan merusakkannya. Jangan sampai susut keayuan ini. Dengar Dedes, aku panggilkan keabadian untuk kecantikanmu demi Wisynu Sang Pemelihara aku patrikan keayuanmu dalam keabadian dalam sebutan Ken. Diam kau, sekarang dengarkan suamimu." Ken Dedes kehilangan keseimbangan, jatuh berlutut di hadapan peraduan. Mendengar denting binggal yang bersintuhan tidak wajar Gede Mirah masuk lagi ke dalam, mengangkat sembah, dan: "Yang Mulia," ia mempersembahkan kehadirannya. Tanpa menunggu perintah Gede Mirah membuka ikat pinggang emas Ken Dedes, meletakkan dengan rapih pada bagian kaki peraduan, kemudian menarik tali pinggang, dan lolos semua pakaian pengantin itu, telanjang bulat seperti boneka. Gede Mirah mengangkatnya ke atas peraduan, tepat di atas lembaran kapas. Ken Dedes menutup matanya dengan tangan dan menangis tersengal-sengal, laksana boneka emas di atas lembaran perak. Bertahun ia telah mengimpikan saat ini, waktu datang ternyata ia takut dan jijik sekaligus. Dan Gede Mirah memindahkan tangan penutup mata itu ke samping dan memperbaiki rias, mengeringkan air mata, berbisik: "Bila Hyang Surya besok mengirimkan restunya, tubuh dan jiwa pengantin ini sudah sudah jadi sepenuh wanita." Ia tinggalkan Bilik Agung setelah mengangkat sembah. Tunggul Ametung memperhatikan tubuh isterinya yang indah tertelentang seperti kala dilahirkan a belaikan tangan pengasih pada pipi, leher, dada dan perut pengantinnya, kemudian ia sendiri naik ke atas peraduan dan menenggelamkan Dedes dalam pelukannya.

Buku Pramoedya Ananta Toer , Arok Dedes, merekonstruksi sejarah kudeta Arok atas Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Setting sejarah yang kuat dan premis dasar kudeta politik yang masuk akal membuat bangun karya ini kokoh sebagai sebuah "fiksi sejarah politik" yang tak sekedar novel biasa. Pram membuktikan kembali kepiawaiannya dan laku keras.

Pramoedya dikenal sebagai sastrawan yang bicara tentang sejarah. Sesudah karya masterpisnya, "Trilogi Pulau Buru", dia telah mengajukan sebuah versi sejarah. Kepiawaiannya adalah kemampuannya menilai sejarah dalam karya sastra. Apapun yang terjadi sebenarnya tidaklah penting, karena bagaimanapun juga, karyanya tetaplah sebuah karya sastra, bukan penelitian sejarah.

Dengan kebebasan yang sangat luas yang diberikan kesastraan, seorang pengarang lebih bebas menafsir sebuah sejarah. Apalagi sebuah sejarah politik yang umumnya sarat dengan kepentingan, data yang kabur, pengakuan bermakna ganda, dan gelapnya waktu itu sendiri. Namun, kekaburan itu akan jadi begitu terang benderangnya di mata seorang pengarang, tanpa mengabaikan kerumitan yang sesungguhnya tetap terkandung dalam pelbagai peristiwa sejarah.

Dalam "Arok Dedes" ini, Pram menafsir siapa sesungguhnya sosok seorang Ken Arok dan Ken Dedes yang terlanjur melegenda di masyarakat itu. Dengan referensi yang kuat, Pram bak seorang sejarawan yang sedang menyuguhkan sebuah disertasi tentang sejarah kudeta pertama di tanah Jawa yang diperankan oleh anak keturunan Sudra yang tak bernama dan tak juntrung asal usulnya, Arok.

Pram melukiskan bagaimana keberhasilan penggulingan kekuasaan seorang Akuwu Tumapel bisa terjadi tanpa menyandarkan diri pada daya-daya magis yang dimiliki seorang Arok seperti dikenal dalam legendanya. Kekuatan utama yang menjadi dasar keberhasilan kudeta Arok adalah dukungan yang kuat dari kaum Brahmana pemuja Wisnu yang pada masa itu telah tersingkirkan dalam peta politik tanah Jawa. Kekuatan lain adalah kecerdasannya yang luar biasa dalam menghapal naskah-naskah rontal yang dianggap suci dan bahasa Sansekerta yang dianggap bahasa para dewa.

Digambarkan juga bagaimana pertarungan kepentingan di tingkat elit politik masa itu, antara kepentingan kerajaan pusat Kediri, Gerakan Mpu Gandring yang berkoalisi dengan kasta satria, para resi Brahmana, dan Tunggul Ametung yang ingin mempertahankan status quonya. Semuanya berada di bawah bayang-banyang bangkitnya perlawanan rakyat pimpinan Arok. Dan ketika kaum Brahmana memihak Arok, gempuran pasukan Arok yang bergerilya di wilayah Tumapel tak tebendung lagi dan kudeta pun terjadi.

Pesan moral yang tampaknya ingin disampaikan dalam novel yang digarapnya sekitar tiga bulan (1 Oktober-24 Desember 1976) sewaktu ditahan di Pulau Buru ini adalah betapa kompleks sebenarnya sebuah kudeta terjadi, dan betapa licik para aktornya untuk bersegera mengambil kesempatan, memenangkannya, dan mengaburkan peristiwa sejarah yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, hingga halaman terakhir, tak begitu jelas, siapa pembunuh Tunggul Ametung sebenarnya, sementara Kebo Ijo yang jadi tertuduh menyanggah telah membunuhnya.

Demikianlah, Pram menggunakan sepenuhnya kelebihan yang diberikan kesusastraan dalam menafsir peristiwa sejarah yang tetap meninggalkan misteri itu.



Soemarsono: Revolusi Agustus

Catatan Penerbit

“Peristiwa Madiun” pada hakekatnya bukan konflik antara Soe karno dan Soemarsono-Amir Sjarifuddin, melainkan merupakan gelanggang pertunjukan aplikasi paradigma perang-dingin: adikuasa anti-komunis dengan darah dan kekuatan senjata menumpas kubu kaum kiri....


    Dia seorang tokoh kontroversial. Begitulah tanggapan yang bisa kita dengar dari pihak lawan maupun kawan Soemarsono sendiri. Dia sendiri tidak pernah menutup- nutupi, malah terbuka di hadap an publik mengatakan bahwa dia Kristen sekaligus Komunis, anggota PKI. Bersama seluruh keluarga, istri dan anak-anaknya dia taat pada kekristenannya dan berkunjung ke gereja. Secara pribadi Soemarsono loyal dan sepenuh hati mengabdi pada tanah air Indonesia dan kepada Partainya, sedangkan keluarganya sama sekali tidak berurusan dengan PKI.

     Sosoknya berkepribadian mandiri, kuat sikap kebebasan individualnya. Sesuai watak jawa­timuran, dia terbiasa ceplas-ceplos menggunakan kata-kata keras terhadap lawan bicaranya. Dia berbicara lantang tanpa basa-basi terhadap Suharto, tetapi sekaligus juga tanpa tedeng aling-aling mengkritik pimpinan partai, bahkan menuding kawan partainya sendiri sebagai pengkhianat. Sikap seperti itu boleh saja dianggap subjektif, tetapi begitulah konsekuensi seorang yang mandiri, seorang yang sudah terbiasa menggunakan kebebasan individunya tanpa niat bersikap tidak etis. Untuk itu dia sanggup dan bersedia mempertanggung-jawabkan pendapat dan segala ucapannya dalam forum apa pun.

     Kita angkat topi menghormati sikap Komisi Tulisan Soemarsono, sebuah Team di Eropa yang teliti mencatat segala ucapan Soemarsono tanpa mencampuri apalagi memanipulasi substansi apa yang diuraikan. Dengan menjunjung tinggi prinsip demokrasi, Team tersebut mengakui hak Soemarsono untuk bebas mempunyai pendapat dan bebas bersuara, dulu maupun sekarang. Penerbit Hasta Mitra pun menghormati pendapat Soemarsono dan meng endorse sepenuhnya sikap “Komisi Tulisan Soemarsono” di Eropa itu. Bebas berpendapat dan bebas bicara kita akui sebagai hak azasi manusia yang harus berlaku bagi segenap warganegara Indonesia tanpa kecuali. Yang tidak kita akui adalah hak monopoli berbicara, hak memonopoli kebenaran, apalagi hak menggunakan kekerasan untuk memberangus pihak- pihak lain yang berbeda pendapat. Sudah terlalu lama – lima-puluh tahun lebih – Soemarsono dibungkam tanpa diberi kesempatan membuka mulut atau menangkis segala fitnah dan tuduhan sepihak yang dilempar ke kepalanya.

     Ini kali Soemarsono bebas berbicara.

***

“Sejarah ditulis oleh Pihak Yang Menang”, oleh Pihak Yang Berkuasa. Adagium ini berjalan dalam praktek, walaupun sebenarnya tidak harus mutlak demikian. Seperti misalnya semasa Periode Bung Karno, dalam era Demokrasi Terpimpin yang serba mandiri, pihak yang kalah pun bisa ikut menulis sejarah, paling kurang masih bisa buka mulut. Contoh: “Peristiwa Madiun 1948”.

     Semasa Bung Karno, PKI sebagai pihak yang kalah, diwakili D.N. Aidit sebagai Ketua, bahkan bisa buka suara mempertahankan kebenaran me nurut versinya sendiri di forum resmi DPR, juga terbuka berargumentasi di mass-media dan menerbitkan Buku Putih. Sudah tentu, versi pihak yang menang bagaimana pun tetap dominan menguasai opini publik, dan prilaku masyarakat biasanya melahap versi resmi pemerintah sebagai versi yang benar. Itu tidak jadi soal, selama tidak berlaku kekerasan pembungkaman sepihak.

     Contoh sebaliknya: semasa rejim Golkar Suharto – adagium “Sejarah ditulis oleh Pihak Yang Menang” menjadi hukum-besi. Versi sejarah yang ditulis rejim Golkarnya Suharto sebagai pihak pemenang menjadi kebenaran mutlak satu-satunya yang wajib dipercaya, wajib diterima-baik oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali. Kita semua mengalami sendiri, hukum -besi jendral Suharto berlaku bagi versi “Peristiwa G30S/PKI” dalam buku-buku pelajaran maupun dalam versi filmnya, begitu pula mengenai versi “Peristiwa Madiun” sampai-sampai termasuk versi kisah heroik “Serangan Yogya”, dan berbagai legenda kepahlawanan kreasi benak sang pemenang sendiri. Berpikiran lain daripada pendapat Yang Berkuasa akan menghadapi risiko diberangus atau dipenjara. Pendapat berbeda disumbat sebungkam-bungkamnya, tidak ada tolerasi polemik bagi pemikiran lain, titik! Begitulah tatatertib jaman orbanya Golkar.

     Penyeragaman berpikir menjadi kebijakan sistematis yang diterapkan pada anak-anak bangsa meliputi dua generasi. Pembodohan dilegitimasi dengan undang-undang yang berlaku selama tigapuluh tahun lebih dan berlanjut sampai hari ini. Sekarang ini dalam “era-reformasi” pun, Penguasa tetap mendominasi opini publik dan mendikte apa yang boleh apa yang tidak boleh dibaca oleh anak-anak sekolah kita bila soalnya menyangkut sejarah. Proses membodohkan bangsa berjalan terus, anak-anak sekolah tidak perlu dilatih membiasakan berpikir kritis dan mandiri, Pemerintahlah yang akan berpikir untuk seluruh warganegara, terutama bagi kawula muda bangsa. Dalam urusan sejarah di era reformasi sekarang ini, banyak pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif, dengan dukungan aparat kejaksaan tetap memberlakukan hukum -besi Suharto. Konsep hidup berdemokrasi, semangat reform, wawasan pencerahan untuk kemajuan, bertoleransi menghormati kebebasan individu, sikap mandiri dan kritis, tidak tembus ke benak kebanyakan pejabat meski Suharto sudah lama lengser. Lebih-lebih parah lagi, mind-set yang rancu itu juga menjangkiti bagian besar kaum intelektual kita. Warisan Suharto masih tetap digendong-gendong terus. Benar sekali bila dikatakan bahwa aparat pemerintahan era pasca-Suharto – era yang katanya “era reformasi” – pada hakekatnya hanya kelanjutan era Orde Baru Golkar Suharto dengan jubah baru.

     Kita tahu bahwa Soemarsono dikenal sebagai Tokoh Peristiwa Madiun, tetapi dalam buku ini dia berbicara mengenai berbagai topik selain Peristiwa Madiun, antara lain pengalaman sekitar 10 November 1945 di Surabaya, penilaiannya terhadap Suharto berikut aparat Orde Baru, juga tidak luput kritiknya terhadap pimpinan PKI maupun beberapa anggota Partainya sendiri.

     Team Penyusun telah berusaha optimal memelihara otentikitas uraian Soemarsono yang kesemuanya dikemukakan dalam bentuk uraian lisan selama lawatannya di Eropa. Editing oleh Team Penyusun dilakukan sangat minim sekedar mengubah bahasa lisan agar tidak terlalu jauh menyimpang dari kaedah bahasa tulisan. Mengenal pribadinya dengan baik, penerbit yakin Soemarsono tanpa ragu bersedia terbuka dalam forum apapun mempertanggung-jawabkan apa yang diucapkan maupun mengenai keterlibatannya dalam semua kejadian. Sebaliknya kita juga mengakui hak semua pembaca untuk bebas menilai apa yang dikatakan Soemarsono atau siapa pun yang mau ikut berkomentar. Keadilan sejarah harus berlaku bagi semua orang termasuk bagi seorang Soemarsono yang selama ini tidak berkesempatan mengemukakan pendapat dengan terbuka dan bebas.

***

Kita mencatat dua argumentasi paling pokok dalam pertanggungan-jawab Soemarsono.

     Argumentasi pertama dan argumentasi kedua bisa dibedakan akan tetapi tidak bisa dipisahkan, karena dua argumentasi itu jelas kait-mengait. Soemarsono menolak keras segala tuduhan bahwa dia telah melakukan perebutan kekuasaan di Madiun. Tegas dia menyatakan tidak ada coup d’etat di Madiun dalam bentuk apa pun. Coup d’etat tidak, coup de la ville – perebutan kekuasaan kota – pun tidak! Soemarsono menganggap perebutan kekuasaan negara, pembangkangan atas kekuasaan pemerintahan pusat, atau merebut kekuasaan pada tingkat kelurahan sekalipun, pada prinsipnya adalah perbuatan makar, dan justru itu yang tidak dia lakukan.

     Apa yang sungguh-sungguh dia lakukan adalah membela diri terhadap serangan dari luar. Itulah argumentasinya yang pertama; sedangkan argumentasi kedua menjelaskan bahwa yang terjadi di Madiun sebenarnya adalah akibat – dia berlawan untuk bela diri – karena ada sebab yang dimulai lebih dulu dari Solo. Yang dia maksudkan dengan sebab atau pemicu adalah kejadian-kejadian di Solo ketika unsur-unsur kekuatan kanan menangkapi kekuatan kiri. Soemarsono sendiri sampai hari ini pun seperti sudah kita kemukakan di atas, tidak pernah menutup-nutupi diri bahwa dia komunis – dan dengan sendirinya dia bersikap solider dan membela sesama kawan-kawan politiknya yang diperlakukan tidak adil oleh siapa pun. Pidato Bung Karno terkenal “Pilih PKI-Muso atau pilih Soekarno-Hatta” yang disusul pengerahan pasukan TNI ke Madiun, juga oleh Soemarsono dikatakan sebagai penyebab atau pemicu yang mengakibatkan dia angkat senjata untuk membela diri. Semua akibat terjadi karena ada sebab – dan menurut Soemarsono fakta berbagai kejadian yang menjadi sebab – dan berbagai kejadian yang menjadi akibat jangan hendaknya sampai diputar-balik.

     Soemarsono, sebagai seorang pelaku, menjelaskan semua itu sampai ke detail, tetapi di sini kita saripatikan hanya yang menyangkut isi pokok pembelaan Soemarsono saja. Wajar saja bila banyak pihak mendukung, sebaliknya juga banyak tidak membenarkan versi Soemarsono. Entah membenarkan, entah menyalahkan, fakta rieel yang ada adalah bahwa versi pihak yang menang menguasai opini publik. Betul sekali adagium yang mengatakan, pihak yang menang mendikte penulisan sejarah.

     Pengantar penerbit ini tidak bermaksud meninjau terbatas hanya pada persoalan Madiun, melainkan ingin menjangkau scope yang jauh lebih luas. Kita tidak mengkaji siapa benar siapa salah dalam Peristiwa Madiun saja. Fokus kita terpenting adalah mencari inti sebab-musabab pecahnya berbagai konflik nasional yang dialami dalam sejarah modern bangsa, kita ingin menelusuri pengalaman bangsa sejak mulai memperjuangkan kemerdekaan melawan kolonialisme di tahun 20-an sampai hari ini. Fokus utama Hasta Mitra adalah meneliti dan mencari akar-masalah tragedi konflik nasional di masa lalu yang sampai detik ini masih kita gendong-gendong terus.

     Dalam rangka itu, kita mantap berkesimpulan bahwa: inti akar-masalah adalah produk konflik yang merupakan komoditi impor dari luar yang sadar atau tidak sadar dioper oleh kaum intelektual kita menjadi milik nasional; dan sangat tragis sampai hari ini pun produk impor itu permanen hadir di tengah-tengah kita dan berkesinambungan dari waktu ke waktu meledakkan bencana antar sesama bangsa kita. Yang kita maksudkan dengan produk konflik impor, tidak lain adalah kubu anti-komunis yang tidak mentolerir sama sekali eksisnya kubu komunis. Kubu anti-komunis yang mengklaim berazas demokrasi justru memperkosa demokrasi dengan cara membenarkan menggunakan kekerasan senjata – fisik dan mental – untuk membasmi punah pihak-pihak yang berpendapat lain. Dua kubu itu latent hadir dalam kehidupan manusia, di dunia mana pun termasuk juga Indonesia yang ikut-ikutan menjadikan konflik permanen itu menjadi miliknya sendiri, dan diwarisinya dari generasi ke generasi berikutnya.

     Konflik dua kubu yang tidak saling mentolerir berjalan visa-versa, tetapi di dalam praktek tentu kubu yang dominan yang mendikté situasi dan mampu mempunahkan lawannya.

Apakah yang disebut dua kubu itu? Macam-macam nama dapat diberikan – gampangnya untuk entity berpasangan itu kita menyebutnya: kubu kanan – kubu kiri. Varian lain: kapitalis –­ komunis, reaksioner – progresif, konservatif – liberal, dogma-agama – sekuler, moderat – radikal, kontrev – revolusioner, elitis – populis, kaya – mis kin, dst. Dua kubu itu hadir dalam seluruh strata kehidupan kita, sampai-sampai orang awam pun bisa mengenali koruptor–patriot, penguasa otoriter – penguasa demokratis.

     Begitulah perjalanan sejarah modern dunia yang lebih jelas wujud bentuknya sejak muncul Aufklärung, wawasan-wawasan pencerahan, kemudian berpolarisasi lebih tajam setelah tampil Marx. Sejarah mutakhir Indonesia pun demikian adanya, konfrontasi antagonistik berkelanjutan tidak henti-hentinya. Lantas fakta apa yang dihasilkan konfrontasi dua kubu itu? Pada umumnya sampai hari ini kubu pertama, yaitu kubu kanan the old established forces masih selalu menang alias dominan atas kubu kiri – the new emerging forces. Di dunia begitu, di Indonesia pun begitu.

     Peristiwa Madiun pun pada hakekatnya adalah konflik dua kubu tersebut – dan karena kubu kanan yang menang dengan sendirinya versi pemenanglah menguasai opini publik. Idem dito Peristiwa G30S, “pemberontakan 1926”, peristiwa Tanjung Priok, Poso, Ambon, Lampung, peristiwa HAM/kampus Trisakti, BLBI, kasus Lumpur panas Lapindo, pendeknya di seluruh strata kehidupan masyarakat sosial-politik-budaya; versi yang berkuasa yang identik dengan kubu kanan adalah versi yang diterima sah oleh masyarakat dan mass media.

***

Menghadapi dan mengharapkan suatu masa depan yang lebih baik, dengan dibimbing positive thinking, kita berusaha optimal mengubah yang negatif menjadi positif, segala musibah menjadi hikmah, mempositifkan tragedi menjadi keuntungan bagi terutama rakyat dan negeri. Semua konflik berdarah pada hakekatnya merupakan ulah elite politik, rakyat jadi instrumen adu-domba bagi elite yang semata-mata mengejar kepentingan sendiri berjargon bekerja demi kepentingan rakyat. Ujung-ujungnya selalu rakyat yang menderita, yang memikul seluruh beaya tinggi dari tragedi satu ke tragedi lain. Akibatnya: bumi Indonesia yang memiliki melimpah-ruah kekayaan alam dan potensi tenaga kerja, memiliki rakyat miskin yang jumlahnya besar di dunia, dan ironisnya Indonesia yang mayoritas rakyatnya miskin, ternyata paling banyak memiliki milyuner dolar! Tanpa keluar keringat mereka korupsi dalam skala besar-besaran, mereka menjadi multi-milyuner dolar gelap dengan lindungan Pe nguasa. The very selective few atau elite pilihan itu dalam konflik apa pun tidak pernah tersentuh badannya, tidak kecubit secuil pun kulitnya, harta dan kekayaan mereka tetap utuh, nasibnya cuma bisa terus bertambah-tambah kaya dan nyaman saja. Elit itu pula yang menguasai trilyunan rupiah maju lagi dalam pemilu berikutnya.

     Sudah waktunya walaupun sudah sangat terlambat, segenap rakyat menyadari fakta keras tersebut. Fakta elite yang sukarela menjadi perpanjangan kekuatan asing, membuat negeri dalam status ketergantungan pada kapitalisme global, terjun dan main politik untuk kepentingan diri sendiri. Ini tidak berarti bahwa kita anjurkan rakyat agar jangan main-main politik, supaya takut politik, atau tidak berideologi. Justru sebaliknya, rakyat harus berideologi, sadar politik setinggi-tingginya agar mampu membaca situasi apa yang sebenarnya sedang, sudah dan akan terjadi.

Jangan serahkan politik hanya kepada kaum elite
Cobalah pakai kalkulator menghitung-hitung matematis fondasi ekonomi negeri kita. Berandai-andailah elite-politik kita mengurangi korupsinya 10% saja, apalagi sampai sebesar 25% – bersih dari korupsi cuma khayal an –, rakyat Indonesia yang sudah “merdeka” 60 tahun lebih dan memiliki bumi tanah-air yang kaya melimpah ruah, hari ini pastilah sudah hidup jauh lebih sejahtera ketimbang peringkat kemakmuran penduduk Singapura, tetangga kecil kita yang tidak punya sumber kekayaan seperti Indonesia. Yang mereka miliki cuma kebiasaan bekerja keras, berdisiplin tinggi di segala bidang dan minim mengkorup kekayaan negara.

     Sampai hari ini era-reformasi yang berumur 10 tahun seakan berjalan di tempat, tidak tahu konsep mana yang benar, tidak tahu kerja apa harus diprioritaskan, tidak juga tahu bagaimana dan dari mana harus memulai menembus kebuntuan dan membenahi situasi amburadul saat ini. Apa jadinya kalau kepentingan pribadi para elite politik diidentikkan sebagai kepentingan rakyat? Apa jadinya kalau maling besar justru paling keras berteriak “awas maling”. Per ekonomian dikatakan maju padahal rakyat kecil paling merasakan makna “kiprah kemajuan ekonomi” dengan terus membumbungnya harga kebutuhan sehari-hari. Perlu dan pentingnya rakyat sadar politik dan berideologi, justru guna tepat mengdiagnosa penyakit dan menemukan terapinya.

     Lantas berpolitik dan berideologi yang bagaimana? Jelas bukan ideologi Golkar, rakyat serba manut diperintah dari atas, melainkan ber ideologi persatuan dan kesatuan, berideologi jijik korupsi, berideologi keadilan demi kesejahteraan rakyat, berideologi meng utamakan kepentingan rakyat, dan di atas segalanya ideologi nasionalisme modern, mandiri dalam semua aspek kehidupan politik. Dengan singkat-padat: berideologi Trisakti Bung Karno!!! Pancasila jangan sebatas wawasan saja, tetapi harus menjadi ideologi aksi dalam praktek.

     Dengan kesadaran politik tinggi kita ubah langkah dan segala pemikiran yang negatif menjadi positif, kemubasiran di masa lalu yang sia-sia menjadi kelebihan melimpah-limpah menguntungkan. Tragedi ke tragedi yang kontra-produktif ke kerja produktif sebagai bekal masa depan. Jelas merealisasi segala yang indah itu tidaklah segampang mengucapkannya, pasti berat dan banyak rintangan, akan tetapi bukannya tidak mungkin.

     Uraian Soemarsono, memancing kesan kuat bahwa dalam sejarah perjuangan kita telah terjadi kemubasiran yang sia-sia, kerugian maha besar – tiada lain cuma kemunduran bagi rakyat dan negeri. Oleh karena itu kita ingin dan harus bisa menarik pesan politik dan moral dari semua fenomena kemubasiran itu. Walaupun pengalaman yang serba pahit, kita jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sangat penting kita tetap pelajari sejarah, bukan untuk melulu menggugat atau menyesali kesalahan para pemimpin kita di masa lalu, apalagi menjadikan konflik-konflik itu menjadi aktual kembali sebagai bahan diskusi pertengkaran politik hari ini. Justru sebaliknya kita jangan sampai mengulang berbagai kemubasiran serba negatif itu, karena kita sedang menghadapi tantangan masa-depan. Itulah isi kredo kata-kata “jangan melupakan sejarah” pada saat membaca versi penulisan sejarah apa pun.

     Dari generasi masa kini dituntut harus mampu menangani tugas – tugas masa depan dengan lebih baik, lebih pintar dan lebih kreatif. Generasi masa kini sudah pada waktunya sadar jangan jadi instrumen elit politik berjubah ideologi pseudo bela rakyat. Generasi masa kini perlu kematangan politik, supaya bisa aktif mencegah segala bentuk kemubasiran sosial ekonomi-politik. Galanglah kebersamaan barisan progresif guna menegakkan kembali ideologi mandiri di segala bidang. Negeri harus keluar dari situasi amburadul – berpisah dari semua warisan Golkarnya Suharto dan terbebas dari segala bentuk ketergantungan.

     “Peristiwa Madiun” pada hakekatnya bukanlah konflik Soekarno di satu pihak dan Soemarsono-Amir Sjarifuddin di lain pihak, melainkan merupakan gelanggang pertunjukan aplikasi paradigma perang-dingin: adikuasa anti-komunis menumpas dengan darah dan kekuatan senjata kubu kaum kiri (kemudian menyusul kubu Islam dan selanjutnya semua pihak yang berpikiran lain).

     Sudah waktunya politisi dan kaum intelektual Indonesia mengoreksi mind-set mereka selama ini, bebaskan diri dari distorsi alam pemikiran politik yang merugikan dan memecah potensi bangsa.

     Kembalilah pada Trisakti Bung Karno, bersikaplah mandiri untuk selalu mendahulukan dan menguntungkan kepentingan rak yat – bebas dari ketergantungan bangsa dan negeri lain.

     Terimakasih kepada “Team Penyusun” di Eropa dan penghargaan setinggi-tingginya untuk Pengantar bung Wilson, sejarawan muda alumnus Universitas Indonesia, yang jernih, tajam dan komprihensif menjabarkan bagi kita sejarah sebenarnya dari apa yang dinamakan “Peristiwa Madiun”.

Joesoef Isak