Friday, July 23, 2010

Mencoba Memahami Soekarno sebagai “Dirinya Sendiri”

Seorang tokoh besar seperti Soekarno memang menjadi bahan kajian yang tidak pernah habis dan membosankan. Selalu ada unsur dan polemik baru yang lahir dari tokoh ini di sepanjang karier politiknya.


Karya Bob Hering tentang Soekarno ini mencoba memahami kembali Soekarno sebagai "Bapak Bangsa" dengan cara melakukan rekonstruksi atas berbagai realitas yang dialami Soekarno sendiri. Dengan begitu, ia mencoba mengurangi "subyektivisme" dan stereotip atas Soekarno sebagai sosok yang oleh Taufik Abdulah sering dianggap sebagai sosok "eksotis dari Timur" oleh para peneliti Barat.

Edisi bahasa Indonesia karya Hering diterbitkan oleh Hasta Mitra dengan kata pengantar dari Joesoef Isak. Menurut Joesoef, banyak karya tentang Soekarno tidak menggambarkan siapa itu Soekarno secara utuh, "Obyeknya memang Soekarno, tetapi pertama-tama stempel selera dan warna-politik penulis sendirilah yang dapat kita detect, dapat langsung kita lihat belang penulisnya" (hal viii). Dalam semangat ini Hering mencoba melihat watak Soekarno menurut pengalaman Soekarno sendiri. Dengan dukungan data yang sangat detail, karya ini mengajak pembaca agar memahami tentang Soekarno sebagai "dirinya sendiri". Seperti dikatakan oleh Joesoef, "dia bebas dari kontaminasi abstraksi-abstraksi kerekayasaan yang bermaksud mematahkan dan menghitamkan Soekarno" (hal xxi).

Pesan penting dari buku ini adalah bahwa benang merah paling penting dari sejarah politik Soekarno adalah perjuangannya yang konsisten untuk mencapai Indonesia merdeka. Untuk tujuan tersebut ia "melakukan berbagai cara yang dimungkinkan" untuk terus membawa kapal politik gerakan menuju satu tujuan bersama, Indonesia merdeka. Oleh karena itu, pantas bila Soekarno dijuluki "Bapak Indonesia Merdeka". Sebuah peran besar yang tidak boleh "dikecilkan" oleh analisis akademis dan penelitian tentang diri Soekarno, di balik segala kontroversi yang mengiringinya.

Menyusuri ideologi Soekarno muda

"Masa pendidikan politik" Soekarno, menurut Hering, dibentuk di dua kota berbeda, yang mengenalkannya pada dua ideologi modern yaitu sosialisme dan nasionalisme. Di kota Surabaya Soekarno mengaku pertama kali mengenal Marxisme melalui Alimin ketika ia tinggal di asrama. Di asrama ini ia juga mengenal Moeso, Semaun, dan Darsono, orang- orang kiri yang kelak mendirikan Partai Komunis Indonesia. Dari orang-orang sosialis radikal ini Soekarno juga mulai mendengarkan berbagai propaganda sosialis yang dilakukan oleh orang Eropa seperti Baars, Reeser, dan Hartogh. Pengaruh kaum sosialis ini sangat kuat pada analisis Soekarno tentang imperialisme, kapitalisme, dan kolonialisme sehingga kalaupun ia nanti menjadi seorang nasionalis, ia menjadi seorang nasionalis yang cenderung antikapitalisme.

Namun, dalam perkembangannya Soekarno tidak memilih sosialisme radikal. Menurut Hering, ada dua orang yang memengaruhi perubahan "sosialisme" Soekarno. Pengaruh pertama datang dari tokoh karismatis Sarekat Islam, Tjokroaminoto, yang mempunyai basis kuat di Surabaya dan seorang penganjur "kapitalisme yang bermoral" dan dasar religius bagi sosialisme. Tjokro "secara berangsur memberikan tugas- tugas dan tanggung jawab politik kepada Soekarno yang dengan senang dilaksanakannya" (hal 104-105).

Pengaruh kedua datang dari Karl Kautsky melalui karyanya Sozialismus und Kolonialpolitik Eine Auseinandersetzung yang ia baca ringkasannya dalam Het Vrije Woord di tahun 1919. Kaustsky membawa Soekarno kepada pentingnya sebuah parlemen yang kuat daripada sebuah kediktatoran proletariat. Seperti ditulis Hering, "Hal ini memberikan pengaruh agak kuat pada Soekarno yang telah lebih matang" (hal 107).

Kepindahan Soekarno ke Bandung pada bulan Juni 1921 untuk masuk ke Technische Hoogeschool membawa Soekarno berkenalan dan menyerap nasionalisme radikal dari Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker. Tjipto tampaknya mendapatkan tempat khusus dalam diriSoekarno. Menurut Hering, "Soekarno mengakui bahwa ia mendapatkan pengaruh politik terbesar dari trio pengurus IP (Indische Partij) kemudian SH/NIP (Sarekat Hindia/Nationaal-Indische Partij)" (hal 128). Soekarno menyebut Tjipto dengan "saudara Tjipto-mychief". Kebetulan Tjipto dan Douwes Dekker tinggal tidak jauh dari tempat tinggal Soekarno di Bandung. "Mereka itu yang mempengaruhi pandangan politik radikal Soekarno yang kian matang, terutama Tjipto yang sama-sama priyayi" (hal 129). Selama di Bandung ini "Tjipto terus-menerus mendorong Soekarno menjadi seorang nasionalis yang meyakinkan" (hal 129).

Pergumulannya dengan sosialisme dan nasionalisme radikal membuat Soekarno mencoba merumuskan "sebuah ideologi nasional" yang akan ia gunakan hingga akhir hayat, yaitu Marhaenisme. Nama ini didapat ketika ia sedang berjalan di sebelah selatan Bandung dan bertemu dengan seorang petani bernama Marhaen. Seorang petani kecil, tani sieur, memiliki sepetak tanah dengan peralatan kerja untuk bercocok tanam, sekadar bisa bertahan hidup bersama keluarga. Konsep Marhaen ini kemudian ia identikkan secara lebih luas dengan orang yang miskin dan hidup kekurangan, seperti buruh miskin, nelayan miskin, klerek miskin, pedagang keliling miskin, tukang sado miskin, atau sopir miskin. "Menurut Soekarno, mereka semua adalah marhaen, dan marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek" (hal 126). Dengan begitu, Soekarno muda sudah menemukan suatu "ideologi nasional" yang dianggap cocok dengan situasi rakyat negerinya. "Pada waktu itu, ia memandang bahwa konsep marhaenisme lebih cocok sebagai ideologi nasional daripada pengertian kelas proletariat" (hal 126).

Soekarno mencoba mencari strategi realistis bahwa tujuan ideologis atas nama Islam atau sosialisme sebetulnya harus melewati sebuah proses yang sama, yaitu Indonesia merdeka. Tujuan "mencapai kemerdekaan" ini yang menurut Hering konsisten dilaksanakan oleh Soekarno dengan taktik yang berbeda, nonkooperasi di zaman rezim kolonial Belanda dan kooperasi di bawah rezim fasis Jepang.

Pada tahun 1926 didirikan Comite Persatuan Indonesia (CPI) di Bandung.

CPI mengeluarkan terbitan berkala bulanan yang bernama Indonesia Moeda (IM). Dalam IM ini Soekarno mengeluarkan formula politik "klasiknya" tentang "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme". Tulisan ini dimuat tiga nomor berturut- turut. "Dengan begitu Soekarno melakukan ajakan dan prakarsa dramatis kepada tiga ideologi dominan yang menjiwai keberadaan dan bertahannya organisasi-organisasi utama di Tanah Air" (hal 136). Persatuan ini ditujukan pada satu muara, yaitu "untuk melakukan perlawanan bersama terhadap musuh bersama" (hal 136).

Perserikatan Nasional Indonesia dan represi

Pada bulan Juli 1926 Soekarno mengadakan sebuah pertemuan dan mengambil kesepakatan tentang perlunya mendirikan sebuah partai nasionalis baru yang "sama sekali berlainan dengan PKI". Disepakati untuk membentuk Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dengan Soekarno sebagai ketua. Partai ini menolak taktik kekerasan, tetapi memilih sikap nonkooperasi atas penguasa kolonial. PNI juga mengambil taktik aksi massa atau rapat umum untuk mendesakkan kebangkitan kesadaran rakyat. Kelahiran PNI ini juga menjadi titik awal rivalitas politik yang panjang antara Soekarno dan Hatta dan Syahrir.

Kelahiran PNI ini telah membentuk "jiwa politik Soekarno" untuk menjalin suatu "keterikatan emosional" dengan "kerumunan massa" yang terpukau oleh orasinya. Kehadirannya menjadi kunci dari mobilisasi politik yang diikuti oleh ribuan orang di berbagai tempat di Pulau Jawa. Rezim kolonial mulai khawatir dengan perkembangan ini. Akibatnya, ruang gerak PNI mulai dibatasi dengan berbagai pembatalan acara dan represi. Bahkan, di Semarang pidato Soekarno dihentikan oleh polisi ketika berbicara tentang kemerdekaan. Soekarno mulai menjadi target utama polisi, intel rezim kolonial. Bahkan polisi bertindak lebih jauh lagi dengan melarang penggunaan kata "merdeka" dalam pertemuan PNI dan pidato Soekarno. Bahkan beredar desas-desus bahwa Soekarno sudah masuk dalam daftar aktivis yang akan ditangkap dan dibuang.

Merespons isu tersebut Hatta sudah menyiapkan sebuah perjalanan bagi Soekarno untuk tinggal sementara di negeri Belanda. Namun, menurut Hering, selain motif untuk menghindari represi atas PNI dan Soekarno, Hatta tampaknya juga berambisi hendak mengambil alih kepemimpinan politik. "Ketika PNI ditinggalkan sendirian, maka Hatta akan mendapatkan peluang nyata bagi peran dirinya sendiri" (hal 185). Dan langkah selanjutnya adalah "mendapatkan kesempatan agar kepemimpinan PNI jatuh ke tangan mereka yang kurang flamboyan dan lebih berhati- hati yang kemudian lebih menerima arahan dan gagasannya sendiri" (hal 185). Anjuran ini ditolak oleh Soekarno, yang menurut Hering, "Hatta tidak memahami suatu fakta penting bahwa Soekarno mendapatkan kepuasan luar biasa dengan menggunturkan protes dan klaimnya di depan kerumunan besar massa rakyat pribumi yang mendengarkan pidatonya" (hal 186).

Tanggal 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dengan tuduhan akan adanya pemberontakan, "agar ada alasan memukul PNI sekali dan untuk selamanya" (hal 203). Selanjutnya, Soekarno ditahan di Penjara Bantjeuj. Ketika Soekarno di penjara, rezim kolonial terus melakukan represi atas PNI dengan melakukan penggeledahan dan pelarangan berbagai kegiatan. Akhirnya para pimpinan PNI membekukan organisasi ini pada 11 November 1930.

Pengadilan atas Seokarno dilangsungkan sepanjang tahun 1930 dan ia dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Soekarno lalu ditahan di Penjara Soekamiskin di Bandung bersama dua pemimpin PNI lainnya, Gatot dan Maskoen. Proses persidangan Soekarno menjadi media propaganda dan pendidikan politik yang menarik perhatian luas, seperti dikatakan Hering, "Dengan segala keterampilannya sebagai orator, ia menyampaikan pembelaan maraton yang piawai, penuh dengan data resmi tak terbantah dalam membeberkan pesannya dengan istilah-istilah yang penuh tenaga" (hal 213-214).

Dipenjarakannya Soekarno tetap tidak dapat menghasilkan "kepemimpinan politik baru". Hatta dan Syahrir yang mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) pada tahun 1932 gagal menggantikan peran Soekarno dan PNI lamanya. Menurut Hering, akhirnya Syahrir bersikap jauh lebih realistis atas Soekarno. "Kami tak dapat menyingkirkan dia (Soekarno). Telah beberapa tahun lamanya rakyat terpesona olehnya sampai kini" (hal 237-238). Akibatnya, menurut Hering, "secara mendasar mereka gagal untuk dapat melaksanakan cetak biru pandangan Barat secara lengkap" (hal 240).

Bebasnya Soekarno pada Januari 1932 membuat Partindo yang didirikan untuk menggantikan PNI dengan cepat mendorong kembali radikalisme kaum pergerakan. Cabangnya berkembang hingga 43 cabang dengan anggota mencapai 20.000 anggota. Untuk memberikan panduan politik, Soekarno menerbitkan pamflet Menuju Indonesia Merdeka (MIM). Hering tidak melihat keluarnya pamphlet MIM sebagai reaksi dari pamflet Hatta yang keluar sebelumnya dengan judul Ke arah Indonesia Merdeka (KIM) seperti ditulis Mavis Rose dalam Biografi Politik Mohammad Hatta (Jakarta, Gramedia 1991, hal 111).

Pada 31 Juli 1933 Soekarno kembali ditangkap karena pamfletnya tersebut. Dalam proses interogasi inilah dunia pergerakan kembali dibuat geger oleh Soekarno dengan dipublikasikannya empat surat Soekarno yang mengungkapkan penyesalan politiknya dan berjanji akan keluar dari politik dan selanjutnya mengabdikan diri sepenuhnya dalam kehidupan sebagai warga biasa sesuai dengan kemampuan akademiknya.

Hering sendiri tampaknya mencoba keluar dari polemic sensitif di sekitar surat ini dengan melihat konteks mengapa bisa keluar surat semacam ini. Pertama, ia menduga ada tekanan atas Soekarno selama diinterogasi dan ditahan, "Kunci masalahnya mungkin sekali berada di tangan Jongmans yang menekan Soekarno dengan memaksanya menulis surat kepada Jaksa Agung" (hal 258). Kedua, ia hendak mengatakan bahwa Soekarno adalah juga manusia biasa, apalagi saat itu ibunya sedang sakit, "Di sini ia dalam keadaan pantas dikasihani, memohon dirinya dibebaskan, serta menerima usul yang bermaksud baik untuk memperbaiki jalan hidupnya" (hal 258-259). Terakhir, rezim colonial melanggar kesepakatan yang telah dibuat untuk tidak mengumumkan surat-surat tersebut. Rezim colonial tampaknya sadar, "Diterbitkannya surat itu akan merupakan 'pernyataan kematian sosialnya yang pasti' dan menyebabkan 'masyarakat Indonesia akan mengutuk dan meludahi dirinya'" (hal 259).

Selanjutnya, Soekarno harus menjalani hukuman panjang dalam "sewindu semadi dan refleksi" di Ende dan Bengkulu. Dari pembuangannya di Bengkulu Soekarno terus mengikuti perkembangan dunia dan mulai menulis serangkaian artikel tentang bahaya fasisme, "Semangat kita adalah semangat demokrasi, sedang semangat fasis adalah tirani". Perkembangan ini disadari Soekarno "akan mempunyai kaitan langsung atau tidak dengan kepentingan Indonesia sendiri" (hal 295).

Pada 1941 Soekarno dibebaskan dan diminta untuk membentuk Penolong Korban Perang. Seperti ditulis Hering, "Bagi Soekarno ini merupakan pertanda bahwa serangan Jepang sudah mendekat" (hal 301). Analisis Soekarno itu terbukti benar. Bulan Maret 1942 tentara fasis Jepang sudah behasil mengambil alih Hindia Belanda dari rezim kolonial Belanda.

Zaman Jepang dan proklamasi kemerdekaan

Tidak banyak yang memahami bahwa taktik kolaborasi dalam zaman pendudukan militer Jepang dilakukan Soekarno dalam kerangka "mencari segala cara" untuk membawa Indonesia merdeka. Tampaknya penulis ingin membuktikan bahwa dalam ruang politik yang begitu sempit, Soekarno berhasil memaksakan berbagai konsesi politik kepada rezim Fasis Jepang. Dalam "penafsiran seperti ini" Hering ingin menunjukan bahwa Soekarno tidak berubah dengan cita-citanya, hanya taktiknya yang berubah. Oleh karena itu, strategi Soekarno tersebut tidak bisa disamakan dengan kolaborasi terhadap naziisme atau fasisme di Eropa.

Pada bulan Juni 1942 Soekarno kembali ke Jawa dari pembuangannya. Ia lalu terlibat dalam pertemuan politik dengan Asmara Hadi, Hatta, dan Syahrir untuk merespons situasi terbaru di bawah pendudukan militer Jepang. "Mereka berempat merundingkan kesempatan kerja sama dengan pihak Jepang dalam usaha untuk membangun kembali gerakan" (hal 338). Dengan alasan strategis itu Soekarno menerima penunjukannya untuk berkolaborasi guna mengurangi dampak politik penindasan pemerintah terhadap rakyat.

Dengan taktik itu Soekarno menerima tawaran Jenderal Imamura, penguasa militer Jepang, untuk duduk sebagai penasihat dalam Departemen Urusan Dalam Negeri. Posisi ini memberikan "ruang dan kesempatan" kepada Soekarno untuk kembali bicara di hadapan ribuan rakyat, "tempat ia selalu mendapatkan ilham kekuatan" (hal 341), setelah sembilan tahun diasingkan. Pada tanggal 8 Desember 1942 Soekarno mengumumkan berdirinya Pusat Tenaga Rakyat (Putera).

Soekarno memanfaatkan Putera untuk melakukan berbagai rapat umum di berbagai tempat dan mendesakkan berbagai konsesi politik. Sebuah rapat umum Putera yang dihadiri lebih dari 100.000 orang di Bandung akhirnya membuat "Pemerintah Jepang memberikan sejumlah konsesi" (hal 356) dengan "mengizinkan penduduk Jawa melakukan partisipasi politik" (hal 356). Realisasi perluasan partisipasi politik itu adalah dengan pembentukan Chuo Sangiin (Dewan Penasihat Pusat), Shu Sangikai di tingkat karesidenan dan Tokubetsushi Sangikai khusus di Jakarta.

Dalam Chuo Sangiin Soekarno terus menuntut konsesi politik yang lebih luas bahkan sudah berani menuntut kemerdekaan dalam pidato pertama pembukaan dewan. Menurut Hering, "Chuo Sangiin yang diketuai oleh Soekarno telah berkembang ke arah lain daripada yang dimaksudkan oleh pihak Jepang" (hal 359-360).

Kebutuhan akan mobilisasi perang membuat pihak Jepang membentuk Pembela Tanah Air (Peta) yang diketuai oleh tokoh PNI, Gatot Mangkoepradja. Namun, organisasi ini berhasil digerakkan ke arah tujuan lain. Hering menulis, "Kaum nasionalis Indonesia memandang Peta berbeda karena tujuan berkelanjutan Soekarno, Hatta, dan para pemimpin Putera lain yang terus menerus mengindoktrinasi para anggota Peta dengan arah pandangan pro Indonesia, hanya keluar terlihat pro Jepang dan antisekutu" (hal 365).

Tanda-tanda Jepang mulai kelelahan dengan perang mulai tampak dari janji PM Koiso untuk memberikan masa depan kemerdekaan bagi Indonesia pada bulan Juli 1944. Pada tanggal 1 Maret 1945 secara mengejutkan pemerintah Jepang membentuk Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan yang dipimpin oleh Dr Radjiman.

Setelah Nazi takluk pada sekutu pada bulan Mei 1945, Mayjen Yamamoto Moichiro secara mengejutkan mulai berbicara tentang "membangun Indonesia merdeka". Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan mengadakan sidang 1 Juni 1945 "untuk bersama-sama mencari dasar filosofis bersama" (hal 401). Dalam sidang ini Soekarno merumuskan konsepnya yang dikenal sampai sekarang dengan Pancasila.

Pada tanggal 10 Agustus 1945 Syahrir menyebarkan kabar peledakan bom atom di Jepang dan ultimatum sekutu agar bala tentara Jepang menyerah. Ia menyebarkan kabar ini kepada berbagai kelompok pemuda dan menemui Hatta "untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia" (hal 413).

Polemik yang muncul kemudian adalah, apakah proklamasi dilakukan karena "penculikan" yang dilakukan oleh kelompok yang didorong oleh "scenario mereka sendiri, atau setidaknya scenario Syahrir" (hal 415) ataukah memang karena inisiatif Soekarno-Hatta sendiri? Adam Malik menganggap telah terjadi kesepakatan antara pemuda dan keduanya setelah dipaksa. Hatta menganggap kesepakatan itu cuma mitos belaka. Kenyataannya adalah bahwa naskah proklamasi dikerjakan di Jalan Imam Bonjol, di rumah Laksamana Maeda, di mana Hatta berperan besar dalam menuliskan naskah proklamasi. Pada jam 10 pagi di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan 56, "Soekarno dengan didampingi Hatta di depan ratusan hadirin membacakan proklamasi" (hal 423). Berita ini lalu disebarluaskan dengan menggunakan fasilitas kantor berita Domei ke seluruh pelosok Indonesia dan dunia.

Selanjutnya PPKI diubah menjadi Komite Nasional Indonesia "untuk menghindarkan kesan sebagai bikinan Jepang". Dan Soekarno menjadi presiden bersama wakilnya Hatta dengan dewan penasihat sementara Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada tanggal 7 Oktober Syahrir dan 40 orang anggota KNIP membuat petisi yang menuntut kabinet bertanggung jawab pada legislative (KNIP), bukan pada presiden.

Petisi ini menunjukkan terbukanya kembali rivalitas perebutan kepemimpinan politik di antara Syahrir-Hatta versus Soekarno. Petisi tesebut adalah alat dari Syahrir-Hatta untuk "memangkas peran politik Soekarno". Kejadian ini adalah "kudeta diam-diam dalam arti dilakukan dengan pintar, tenang dan damai" (hal 429). Dan Soekarno diletakan perannya tak lebih sebagai "simbol".

Penutup

Buku ini adalah upaya seorang "peneliti Barat" yang mencoba memahami Soekarno dari pengalaman dan fakta yang mengitarinya. Upaya ini tampak dari kerja keras penulis untuk menelusuri berbagai dokumen yang mengikuti karier politik Soekarno muda secara detail.

Tentu saja subyektivisme "seorang pengagum Soekarno" juga terasa, khususnya dalam perseteruan politik Soekarno dengan Hatta dan Syahrir. Membaca karya Hering, kita justru menjadi "realistis" bahwa "dwi-tunggal Soekarno-Hatta" sebenarnya lebih tepat sebuah mitos, bukan kenyataan.

Karya "akbar" ini menurut Bob Hering akan dilanjutkan dengan penerbitan jilid II, yaitu masa perjalanan politik Soekarno antara tahun 1945 hingga 1965. Kita patut menunggunya karena rivalitas antara Hatta-Sjahrir dan Soekarno akan mencapai puncaknya dengan penangkapan Syahrir dan mundurnya Hatta sebagai Wapres. Namun, rivalitas itu tampaknya hanya sekunder karena munculnya rivalitas baru antara dua pendatang politik baru yang sangat penting yaitu PKI dan Angkatan Darat (baca: ABRI). Dua kekuatan politik yang nantinya akan coba diimbangi oleh Soekarno dengan menggunakan berbagai konsep "soekarno muda", yang akhirnya gagal karena Angkatan Darat bergerak dengan motif politik yang lain yaitu motif ideologis Perang Dingin.

WILSON, Alumnus Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, Peneliti di Litbang Lembaga Kajian PRAXIS.

Kompas, 21 Agustus 2004

Arok Dedes

Judul : Arok Dedes
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra
Tempat : Jakarta
Waktu Terbit : 1999
Tebal : x + 418 halaman


TUMAPEL

Ia takkan dapat lupakan peristiwa itu pertama kali ia sadar dari pingsan. Tubuhnya dibopong diturunkan dari kuda, dibawah masuk ke ruangan besar ini juga. Ia digeletakan di atas peraduan, dan orang yang menggotongnya itu, Tunggul Ametung, berdiri mengawasinya. 

Ia tengkurapkan diri di atas peraduan dan menangis. Orang itu tak juga pergi. Dan ia tidak diperkenankan meninggalkan bilik besar ini. Gede Mirah menyediakan untuknya air, tempat membuat kotoran dan makanan. Matahari belum terbit. Lampu-lampu suram menerangi bilik besar itu. Begitu matahari muncul masuk ke dalam seorang tua mengenakan tanda-tanda brahmana. Ia tak mau turun dari peraduan. Tetapi Tunggul Ametung membopongnya lagi, mendudukkannya disebuah bangku yang diberi bertilam permadani. Ia tutup mukunya dengan tangan. 

Tunggul Ametung duduk di sampingnya. Orang dengan tanda-tanda brahmana itu telah menikahkannya. Hanya Gede Mirah bertindak sebagai saksi. Kemudian Tunggul Ametung meninggalkan bilik bersama brahmana itu. Sejak itu ia tidak diperkenankan keluar dari bilik besar ini. Semua berlangsung secara rahasia. Empat puluh hari telah lewat. Sekarang ini Gede Mirah meriasnya. Ia telah sampai pada riasan terakhir. Ia ingin kerja rias ini tiada kan berakhir. Dalam empat puluh hari ia telah bermohon pada Mahadewa agar melepaskannya dari kungkungan ini, mengembalikannya pada ayahnya tercinta di desa. Semua sia-sia. Hari yang ke empat puluh adalah hari selesainya wadad pengantin. Ia menggigil membayangkan seorang lelaki sebentar nanti akan membawanya ke peraduan. Dan ayahnya tak juga datang untuk membenarkan perkawinan ini. Ia sendiri juga tidak membenarkan. "Perawan terayu diseluruh negeri," bisik Gede Mirah. "Tanpa riasan sahaya pun tiada orang lain bisa menandingi." Bedak telah menutupi sebagian dari kepucatannya. Sekali lagi air mata merusakkan rias itu. "Jangan menangis. Berterimakasihlah kepada para dewa. Tak ada seorang wanita yang telah ditempatkan pada satu kedudukan oleh Yang Mulia Tunggul Ametung. Tak pernah Yang Mulia melakukan wadad kecuali hanya untukmu. Pernikahan itu takkan dapat dibatalkan. Yang Suci Belakangka adalah juga seorang brahmana sebagai ayahmu. Mantra-mantrannya sama mengikat dengan yang diucapkan oleh ayahmu." Dedes masih juga belum membuka mulut dalam empat puluh hari ini. Ia selalu terkenang pada ayahnya. Tanpa pembenaran dan restunya, semua hanya akan menuju pada bencana. Dan sebagai gadis yang terdidik untuk menjadi brahmani, ia tahu Tunggul Ametung hanya seorang penjahat dan pendekar yang diangkat untuk jabatan itu oleh Sri Kretajaya untuk menjamin arus upeti ke Kediri. Semua brahmana termasuk ayahnya, membencinya. Dua puluh tahun sebagai Tunggul Ametung pekerjaan pokoknya adalah melakukan perampasan terhadap semua terbaik milik rakyat Tumapel: kuda terbaik, burung terbaik, perawan tercantik. "Mari, Dara," dan ditariknya perawan itu berdiri dari duduknya. Dedes tetap tak bicara. Bedak dan mangir itu tak dapat menyembunyikan kepucatannya. Dada telanjangnya mulai ditutup dengan sutra terawang tenunan Mesir tipis laksana selaput kabut menyapu gunung kembar. Peniti pada seutas tali emas membikin sutra terawang itu menyangsang pada lehernya, sebagian menutup rambut. Dan tali emas itu sendiri kemudian dilibatkan tiga kali pada leher untuk kemudian jatuh pada perutnya. Selembar sutra berselang-seling benang emas dan perak terkaitkan pada kondai dengan tusuk kondai, jatuh melalui kuping kiri ke atas pundak "Mari, Dara," katanya lagi dan dipimpinnya Dedes sang cantik, sang ayu, sang segala pujian itu hendak meninggalkan bilik. Gedung pekuwuan itu dalam segala hal meniru istana Kediri, malahan nampak berusaha hendak mengatasi. Juga tatacara yang berlaku. Sepuluh tahun yang lalu Tumapel masih berupa desa sama dengan desa-desa lain. Kini gedung-gedung bermunculan seperti dari perut bumi. Tumapel berubah menjadi kota dan beratus desa bawahannya berubah jadi kumpulan gubuk dan pondok bobrok. Tunggul Ametung Tumapel melambung naik jadi raja kecil, dengan kekuasaan tanpa batas, hanya takluk pada Kediri. Dua orang pengawal, mendengar gerincing giring-giring, membuka tabir berat dari potongan rantung bambu petung, menghentakkan pangkal tangkai tombak sebagai penghormatan, membungkuk tanpa memandang pada Dedes. Gede Mirah menyerahkannya pada rombongan wanita pengiring yang langsung menyerahkannya pada Yang Suci Belakangka, Pandita Negeri Tumapel. Semua menunduk mengikatkan pandang pada lantai. Juga Dedes. Hanya Sang Suci mengangkat muka, memimpin semua meninggalkan keputrian menuju ke pendopo pekuwuan. Iringan itu merupakan permainan warna dalam siraman sinar matahari sore. De depan sendiri Dedes dalam intan baiduri gemerlapan. Rambutnya dimahkotai dengan pita emas dengan matahari intan bertaburan pada kening. Kulit tubuhnya yang dimangir kuning muncul dari balik terawang sutra Mesir dengan sepasang buahdada seperti hendak bertanding dengan matahari. Yang Suci Belakangka mengenakan jubah hitam berkalung lempengan emas dengan hiasan dudul bergambar lambang serba Wysnu: cakra dan sangkakala. Kalung jabatan itu diberati dengan patung garuda. Juga dari emas. Semua berkilat-kilat memuntahkan pantulan api dari dalamnya. Di belakang barisan dara pengiring, berselendang aneka warna dengan buahdada penuh menggagahi pemandangan, dengan gelang dan binggal perak dan suasa mengangakan mulut naga. Iringan itu berjalan selangkah dan selangkah seperti takut bumi jadi rengkah terinjak. Tetap tinggal Yang Suci yang tiada menunduk dengan jubah gemersik pada setiap langkah. Delapan puluh langkah keluar dari keputrian iringan sampai di pendopo istana sang Akuwu. Empat orang prajurit berbarengan meniup sangkakala. Dan keluarlah Tunggul Ametung dengan pakaian kebesaran, menandingi pakaian Sri Kretajaya. Ia diapit oleh barisan narapraja, kemudian diiringkan oleh pasukan pengawal, yang mendadak keluar dari samping-menyamping istana, menaikkan tombak dan menghentakkan pangkalnya ke lantai. Sangkakala berhenti berseru-seru. Akuwu Tumapel turun dari pendopo menyambut pengantinnya, menggandengnya. Dua orang prajurut datang membawa dua ekor kuda dengan hiasan serba perak. Mereka mengangkat sembah kemudian mempersembahkan kuda mereka. Tunggul Ametung menolong Dedes naik ke atas kuda yang seekor. Ia sendiri menaikkan yang lain. Dan iringan itu mengikuti dari belakang berjalan kaki, meninggalkan pekuwuan, langsung menuju ke alun-alun. Dua orang prajurit itu menuntun kuda pengantin. Juga turun dari kuda Tunggul Ametung sendiri menolong pengantinnya., membimbingnya mendaki tangga panggung. Janur kuning dan daun beringin menyambut kedatangan mereka. Dan rakyat yang menonton di sekitar alun-alun itu hening tanpa sorak-sorai. Para narapraja ikut naik ke panggung. Para pengiring berbaris bersila di bawah. Yang Suci Belakangka berdiri di hadapan pengantin, memberi hormat menyingkir ke samping menghadap rakyat. Ia angkat tongkat sucinya. Keadaan semakin hening. Mendadak menderum genderang dari belakang para penonton.. dengan tangan kanan Yang Suci mengangkat giring-giring emas dan menggerincingkannya tiga kali. Berpuluh pendita dari seluruh negri Tumaprl, yang didatangkan dari kota dan desa dan diturunkan dari gunung-gunung Arjuna, Welirang, Kawi dan Hanung, berbaris seorang-seorang dengan jubah aneka warna dan destar sesuai dengan warna jubahnya. Di tangan mereka terangkat umbul-umbul kecil. Semua berjumlah empat puluh, empat puluh pandita empat puluh hari pengantin telah mematuhi wadad perkawinan agung tatacara para raja dari jauh di masa silam yang sudah tak dapat diingat lagi kapan. Di belakangnya lagi sebarisan dara belasan tahun menari irama gamelan. Pemimpinnya membawa bendera sutra merah, besar, pertanda darah perawan pengantin diharapkan. Pakaian mereka kain batik, tanpa selembarpun baju, dengan perhiasan dan mahkota bunga-bungaan. Waktu sebarisan kepala desa menyusul, memikul patung dewa yang sedang duduk di atas punggung garuda seluruhnya terbuat dari anyaman rontal, penonton bersorak-sorai, kemudian mengangkat sembah. Hanya para brahmana dan brahmani, yang berada di antara penonton dan menyembunyikan kepercayaannya selama ini, dalam kediamannya masih dapat mengenal, patung itu sama sekali bukan seorang dewa, hanya seorang raja yang diperdewakan: Erlangga. Sesampai di depan panggung semua barisan berjalan miring menjauh memasuki tenga-tengah alun-alun. Hanya barisan patung di atas garuda itu tetap berhenti di depan panggung. Tunggul Ametung berdiri, menggandeng pengantinnya, dan memimpinnya berlutut kemudian mengangkat sembah. Para narapraja di belakang pengantin agung juga mengangkat sembah. Yang Suci melihat tangan Dedes gemetar dalam sembahnya. Dan ia lihat air matanya titik. Kemudian tangan itu jatuh lunglai di atas pangkuan. Belakangka membantunya mengangkat tangan itu dan memperbaiki sembahnya. Berbisik menindas : "Dewa Sang Akuwu sekarang juga dewamu." Tetapi tak dapat lebih lama Yang Suci menunjang sembah Dedes. Ia harus memimpin upacara selesai wadad itu. Sembah pengantin itu jatuh lagi di pangkuan. Belakangka berdiri, mengangkat tongkat sucinya dan giring-giringnya pun gemerincing. Angin pancaroba meniup keras, berpusing di tengah lapangan, membawa debu, membubung tinggi kemudian membuyar, melarut dalam udara sore. Yang Suci mengucapkan mantra restu, ditutup dengan suara seratus sangkakala. Barisan wanita dari semua biara negeri Tumapel yang diakui muncul dalam pakaian warna-warni, mengambil alih pemikulan patung rontal, membawanya ke tengah alun-alun, menenggelamkannya dalam luapan api. Kemudian barisan pandita dengan abu patung dalam bokor emas mempersembahkannya pada Tunggul Ametung yang telah duduk kembali. Upacara penutupan brahmacarya telah selesai. Tunggul Ametung berdiri berseru kepada rakyatnya: "Demi Hyang Wisynu, pada hari penutupan brahmacarya ini, kami umumkan pada semua yang mendengar, pengantin kami ini Dedes, kami angkat jadi Peramesywari, untuk menurunkan anak yang kelak akan menggantikan kami." Belakangka mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Terdengar sorak bersambut-sambutan.

Dengan didahului oleh abu patung dalam bokor di atas talam ditangan seorang pandita, Akuwu Tumapel dan pengantinnya menurunin panggung, berjalan kaki menuju ke istananya. Para narapraja tinggal di pendopo, duduk bersimpuh. Akuwu dan pengantinnya dalam iringan Yang Suci, dan seorang pandita membawa bokor abu Erlangga menuju ke Bilik Agung yang terletak di balik pendopo. Mereka dapatkan Gede Mirah menyambut di dalam. Diterimanya bokor emas itu dari tangan pandita dan menaruhnya di atas meja, kemudian menyembahnya. Dedes berjalan tanpa kemauan. Ia dengar sekali lagi Yang Suci berbisik menindas: "Basuhlah kaki Yang Mulia." Dara itu masih juga tak dapat membendung air matanya dan menangis tersedan-sedan. Ia memprotes entah pada siapa: seorang brahmani yang harus mencuci kaki seorang sudra yang disatriakan oleh Kediri. "Yang Mulia Akuwu Tumapel," Yang Suci mulai memimpin upacara, "kaki Yang Mulia." Tunggul Ametung dalam berdiri itu mengangkat kaki kanan pada Dedes yang telah dipaksa berlutut oleh Yang Suci. Air bunga dalam jamban itu bergerak-gerak kecil. "Bukankah Yang Mulia Akuwu sudah cukup memuliakan kau, Dedes? Paramesywari Tumapel? Telah mengangkat naik kau dalam perkawinan kebesaran ini?" tindas Yang Suci. Melihat Dedes tak juga mencuci kaki Tunggul Ametung, ia sandarkan tongkat sucinya pada meja, menangkap tangan lembut Dedes dan memaksanya membasuh kaki kanan suaminya, kemudian yang kiri. Dedes tak juga bangkit dari berlutut. Kembali Yang Suci juga yang memimpinnya berdiri, membisikkan pada ubun-ubunnya, memberkahinya dengan restu kebahagiaan serta seorang putra calon pemangku Tumapel hendaknya segera dilahirkannya. Upacara selesai dan malampun jatuh.

PESTA UNTUK rakyat, juga pesta di pekuwuan telah selesai. Tumapel mulai sunyi dalam tengah malam. Dan dingin pancaroba membikin orang lari di bawah selimut masing-masing. Dalam Bilik Agung Dedes berlutut menghadapi peraduan. Air matanya telah kering. Tapi dalam hatinya masih juga mengucur tiada henti. Gede Mirah dan Rimang tak mampu menghiburnya. Ia tahu pikirannya tidak kacau. Hatinya masih dapat menilai, mantra yang diucapkan oleh Belakangka dalam Sansakerta mengandung banyak kesalahan ucap dan bahasa. Lima tahun yang lalupun ia berumur sebelas waktu itu sudah mampu menyalahkan, apalagi sekarang. Ia tak bisa terima perkawinan semacam ini: seorang brahmani harus membasuh kaki seorang sudra yang disatriakan. Dan ayahnya, seorang brahmana terpelajar, merasa tidak perlu untuk menengok. Empat pulih hari ia telah membisu. Hanya itu yang ia bisa berbuat untuk melawan Tunggul Ametung. Menghadapi peraduan begini, dengan Gede Mirah dan Rimang terus juga mencoba menghiburnya, ia teringat pada suatu cerita pokok tentang perkawinan antara wanita kasta brahmana dengan seorang pria kasta satria.. ayahnya, Mpu Purwa, yang menceritakan padanya dalam suatu pelajaran tentang tata tertib triwangsa. Pada suatu kali ditahun 1107 Saka Sri Ratu Srengga Jayasaba dari Kediri mangkat. Pertentangan terjadi dalam istana siapa yang harus dinobatkan. Raden Dandang Gendis melarikan diri dari istana ke Gunung Wilis. Di sana ia jatuh cinta pada gadis anak brahmana Resi Brahmaraja bernama Amisani. Waktu itu Dedes menerimanya hanya sebagai pelajaran sejarah, sekarang ini ia baru mengerti, semua itu peringatan pada dirinya untuk tidak menerima lamaran dan suami seorang dari kasta satria. Ia sesali dirinya sendiri mengapa ia baru sekarang ini mengerti makna cerita itu. Dan bagaimana cerita itu selanjutnya. Resi Brahmaraja tidak menyetujui percintaan itu. Amisani ini, kata sang Resi, hanya gadis desa tidak layak mendampingi Tuan jadi Paramesywari, duduk di ssinggasana dikemudian hari. Tapi cinta telah membutakan Dandang Gendis : ia menjawab; Jika aku disuruh memilih antara Amisani dan mahkota sekarang juga aku dapat katakan, aku pilih Dewi Amisani. Resi Brahmaraja, yang mengenal betul kehidupan istana, meminta pada Dandang Gendis untuk memikirkannya kembali, jangan sampai hati tertutup oleh nafsu. Anakku, Tuan, aku tahu, dia lebih berbahagia hidup di Gunung Wilis ini daripada di istana. Dandang Gendis tak dapat dibelokkan kemauannya. Perkawinan dilangsungkan. Tiga tahun ia tinggal di padepokan Resi Brahmaraja. Pada suatu hari datang dari Kediri ke Gunung Wilis Mpu Tanakung dan adiknya sendiri, Mahisa Walungan. Mereka datang menjemputnya untuk dinobatkan jadi raja Kediri. Ini terjadi pada tahun 1110 Saka. Ia tidak lain daripada Sri Kretajaya yang memerintah Kediri sekarang. Di istana Amisani, si anak desa, tidak disukai oleh para putri istana. Orang pun memasang racun untuk membunuhnya, Amisani akbhirnya mati termakan racun itu… Dedes terbangun dari renungannya. Ia kini sedang mengulangi kisah hidup Amisani. . Ia mengerti di Tumapel tersedia banyak racun untuk melenyapkannya dari muka bumi. Aku tidak harus mati karena racun, ia yakinkan drinya sendiri, yang lain bisa, Dedes tidak! Ia harus hidup.

KUTARAJA, IBUKOTA Tumapel, tenggelam dalam dingin pancaroba. Di rumah-rumah penjagaan, para kemit masih sibuk memperbincangkan upacara selesai brahmacarya. Seluruh negeri baru tahu dari upacara itu, bahwa Paramesywari Tunggul Ametung adalah anak brahmana Mpu Parwa dari desa Panawijil. Semua orang tahu brahmana itu tidak mendapatkan pengakuan dari Yang Suci Belakangka, maka juga tidak dibenarkan menerima pelajar. Satu-satunya murid resmi adalah anak tunggalnya: Dedes. Barang siapa pada malam itu belum tidur, dia bertanya-tanya, apa sebabnya perkawinan itu dirahasiakan. Dan mengapa Tunggul Ametung hanya mengambil gadis desa. Bukankah di Kutaraja sendiri banyak gadis cantik yang patut di Paramesywarikan? Peristiwa itu mendesak berita hebat dari hampir dua bulan lalu yang menyebabkan penjagaan istana Tumapel dan seluruh Kutaraja diperketat. Berita itu adalah tentang Borang, seorang pemuda berperawakan kukuh, berani atau nekad, tanpa kegentaran. Ia muncul di tanah lapangan Bantar, setengah hari perjalanan di sebelah barat Kutaraja. Dan orang dengan diam-diam mengagungkan dan membenarkan Borang, bahkan menganggapnya sebagai titisan Hyang Wisynu sendiri. Bantar adalah sebuah dukuh di kaki Gunung Arjuna, di pinggir jalan negeri yang menghubungkan Tumapel dengan Kediri. Pembangun dukuh adalah Ki Bantar. Beberapa tahun yang lalu ladang Bantar tidak tanah lapang seperti sekarang, karena Ki Bantar setiap musim kemarau menanaminya dengan bawang merah. Seorang narapraja dalam perjalanan ke Kediri telah mengusirnya bersama semua keluarganya. Semua harta milik dan hartanya dirampas oleh desa. Di lapangan bantar ini dua bulan yang lalu Borang muncul dalam terang cahaya bulan. Anak buahnya telah mengerahkan seluruh penduduk untuk berkumpul dan melingkarinya. "Akulah Borang," ia memperkenalkan diri. "Mengapa kalian diam saja waktu Ki Bantar dan keluarganya diusir dari sini? Katakan padaku sekarang: siapa yang bersuka hati karena kepergiannya?" penduduk yang menjadi waspada tidak menjawab. Siapa Borang, orang tak tahu. Selama ini banyak perlawanan terhadap Tunggul Ametung, dan hampir semua telah dipatahkan. Boleh jadi Borang punggawa Tumapel, boleh jadi juga sebaliknya. "Mengapa kalian diam saja tidak menjawab? Sekarang tidak, waktu Ki Bantar diusir juga tidak. Apakah kalian kurang menyembah dan berkorban pada Hyang Wisynu, maka kurang keberanian dalam hati kalian?" "Bukankah kami tidak bersalah memuja dan mengkorbaninya, ya, Borang?" seseorang bertanya. "Pemujaan dan korban kalian tiada arti bila kalian tak dapatkan keberanian itu dari Hyang Wisynu." "Barangkali kau seorang pemuja Hyang Syiwa, Borang. Kalau demikian janganlah disinggung dengan ucapanmu dengan apa yang kami cintai, sembah dan korbani." "Apakah kekurangan Hyang Wisynu maka Ki Bantar sampai terusir dari desa dan kalian diam saja? Apakah dia kurang memuja dan mengkorbani? "Tidak, Borang, jangan salahkan juga kami. Tumapel terus-menerus menyalahkan kami. Kalau kau pun demikian apalah gunanya kau menggiring kami ke tengah tanah lapang ini?" "Kalian memuja Hyang Wisynu hanya karena Akuwu Tumapel juga melakukannya?" angin pancaroba yang dingin itu meniup tanpa mengindahkan puncak pepohonan yang membangkang. Dan yang berselimut kain biru dalam temaram cahaya bulan itu tiada menjawab. "Kekuasaan Akuwu Tumapel yang diberkahi oleh Hyang Wisynu telah membikin kalian mengidap kemiskinan tidak terkira. Dengan segala yang diambil dari kalian Akuwu Tumapel mendapat biaya untuk bercumbu dengan perawan-perawan kalian sampai lupa pada Hyang Wisynu. Dengan apa yang diambil dari kalian itu juga Sri Baginda Kretajaya di Kediri sana tak lebih baik perbuatannya. Sama sekali tak ada artinya dibandingkan dengan kemuliaan Hyang Wisynu," ia diam untuk memberi kesempatan pada penduduk Bantar untuk mengerti, ia bukan seorang narapraja, juga bukan penyokong Akuwu Tumapel, bahkan menempatkan diri sebagai lawannya. "nah, jawab sekarang. Adakah kalian setuju Ki Bantar dan keluarganya diusir?" Seorang bertubuh tinggi besar, juga berselimut gelap, menghampiri Borang, menetakkan tanya: "Siapa kau sesungguhnya?" "Jangan perhatikan siapa aku, dengarkan kata-kataku. Jangan kau kira Borang gentar karena yang datang padaku berperawakan tinggi dan besar. Kau sudah tak berdaya selama ini. Borang masih berdaya." "Siapa kau?" desak orang itu "Kalau kau narapraja dari Tumapel, kebetulan, biar semua orang lihat dan tahu siapa Borang. Apa maumu?" orang-orang dukuh Bantar, laki dan perempuan mulai mendesak mendekati. "Katakan berdepan-depan pada semua orang ini," si tinggi besar meneruskan, "Kau musuh Tumapel." "Aku bukan musuh Tumapel. Aku musuh Akuwu Tunggul Ametung. Apa perlu kuulangi?" "Katakan kau musuh Sri Baginda Kretajaya."

Ia masih akan bersimpuh pada kaki ayahnya untuk memohon ampunannya karena tak mampu membela diri. Ia harus telan semua upacara penghinaan kaum Wisynu atas dirinya. Ia angkat dagu, dan : "Ayah, sekarang ini sahaya kalah menyerah. Dengarkan sumpah sahaya, sahaya akan keluar sebagai pemenang pada akhir kelaknya." Harum mangir pada kulitnya bersama harum dupa-setanggi memadati ruangan besar Bilik Agung itu. Hatinya sendiri semakin sempit terhimpit. Dara yang terasuh dengan cinta kasih seorang bapa ini tak punya kekuatan untuk melawan. Ilmu dan pengetahuan, yang ditungkan padanya oleh ayahnya, tidak berdaya menghadapi Sang Akuwu. "Akhir kelaknya sahaya yang menang, Ayah, Agunglah kau, puncak Triwangsa, kaum brahmana. Agunglah Hyang Mahadewa Syiwa!" Dan Tunggul Ametung hanya seorang jantan yang tahu memaksa, merusak, memerintah, membinasakan, merampas. Bahkan membaca ia tak pernah, karena memang tidak bisa. Menulis apalagi. Dedes tak tahu harus berbuat apa. Melawan ia tak mampu. Lari ia pun tak mampu. Meraung tak mungkin. Dua orang wanita itu tiba-tiba bersiap-siap, mengangkat sembah padanya dan meninggalkan Bilik Agung. Tanpa mengangkat pandang tanpa berpaling ia mengerti, Sang Akuwu telah meninggalkan pendopo dan memasuki ruang besar ini. Ia tetap berlutut menghadap ke peraduan. Ia dengar langkah kaki. Juga ia dengar suara terompah: Yang Suci Belakangka. Langkah-langkah itu semakin mendekat, menghampirinya. Ia tahu detik-detik ini adalah upacara menaiki peraduan pengantin. Ia menggigil. Dedes tak memberikan sesuatu reaksi waktu tangan Tunggul Ametung dengan hati-hati melepas sutra terawang Mesir dari peniti dan tali, dan menyusupkan pada tangannya. Menurut tata tertib yang deketahuinya, dengan sutra itu ia harus membasuh muka Tunggul Ametung, badan dan tangan sebagai awal upacara. Tangan Akuwu itu menariknya, dengan lembut memaksanya berdiri dan memimpinnya ke arah jambang air bunga. Tekanan paksa dari Belakangka menyebabkan ia mencelupkan sutra itu ke dalam jambang dan mulai membasuh muka bopeng bekas jerawat besar, kemudian dada dan dua belah tangannya yang berbulu. Sutra itu jatuh dari tangannya yang menggigil. Ia tetap menunduk di bawah tembusan pandang Sang Akuwu. Yang Suci mengambil sutra itu dan menggandengkan tangan Tunggul Ametung pada pengantinnya: "Yang Mulia, bawalah perempuan ini naik ke peraduan. Para dewa membenarkan. Pimpinlah dalam sanggama untuk mendapatkan karunianya, mendapatkan calon pemangku Tumapel," ia bunyikan giring-giringnya, kemudian meninggalkan Bilik Agung. Berdua mereka berdiri di depan peraduan, mengawasi lembaran kapas yang tergelar di atas tilam. Sinar empat damar disetiap pojok bilik itu menerangi seluruh ruangan. Dan bayang-bayang hampir-hampir tiada. Tunggul Ametung menoleh pada dua orang wanita yang duduk bersimpuh di pintu. Mereka mengangkat sembah dan pergi, hilang di balik tabir berat potongan-potongan ranting bambu petung. Tunggul Ametung merabai lembaran kapas itu dan menatap pengantinnya. Dan Dedes mengerti sepenuhnya: kapas itu akan menampung darah perawan yang sebentar lagi harus ia teteskan. Gigilannya semakin menjadi-jadi. Besok sebelum matahari terbit, kapas dengan bercak darah itu akan diambil dengan upacara oleh Gede Mirah. "Mengapa tak juga aku dengar suaramu, Permata?" ia letakkan tangan pada pundak pengantinnya, dan ia rasai gigilan itu. "Mengapa tak juga kau lepas seluruh pakaianmu? Bukankah kapas itu telah menunggu kesediaanmu?" dara itu tetap membisu. "Apakah perlu kupanggilkan Gede Mirah untuk membantumu?" Dedes menjawab dengan tangis. Tunggul Ametung menangkap muka isterinya dan diciumnya pada pipi dan lehernya: "Keayuan yang keramat ini para dewa semoga takkan merusakkannya. Jangan sampai susut keayuan ini. Dengar Dedes, aku panggilkan keabadian untuk kecantikanmu demi Wisynu Sang Pemelihara aku patrikan keayuanmu dalam keabadian dalam sebutan Ken. Diam kau, sekarang dengarkan suamimu." Ken Dedes kehilangan keseimbangan, jatuh berlutut di hadapan peraduan. Mendengar denting binggal yang bersintuhan tidak wajar Gede Mirah masuk lagi ke dalam, mengangkat sembah, dan: "Yang Mulia," ia mempersembahkan kehadirannya. Tanpa menunggu perintah Gede Mirah membuka ikat pinggang emas Ken Dedes, meletakkan dengan rapih pada bagian kaki peraduan, kemudian menarik tali pinggang, dan lolos semua pakaian pengantin itu, telanjang bulat seperti boneka. Gede Mirah mengangkatnya ke atas peraduan, tepat di atas lembaran kapas. Ken Dedes menutup matanya dengan tangan dan menangis tersengal-sengal, laksana boneka emas di atas lembaran perak. Bertahun ia telah mengimpikan saat ini, waktu datang ternyata ia takut dan jijik sekaligus. Dan Gede Mirah memindahkan tangan penutup mata itu ke samping dan memperbaiki rias, mengeringkan air mata, berbisik: "Bila Hyang Surya besok mengirimkan restunya, tubuh dan jiwa pengantin ini sudah sudah jadi sepenuh wanita." Ia tinggalkan Bilik Agung setelah mengangkat sembah. Tunggul Ametung memperhatikan tubuh isterinya yang indah tertelentang seperti kala dilahirkan a belaikan tangan pengasih pada pipi, leher, dada dan perut pengantinnya, kemudian ia sendiri naik ke atas peraduan dan menenggelamkan Dedes dalam pelukannya.

Buku Pramoedya Ananta Toer , Arok Dedes, merekonstruksi sejarah kudeta Arok atas Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Setting sejarah yang kuat dan premis dasar kudeta politik yang masuk akal membuat bangun karya ini kokoh sebagai sebuah "fiksi sejarah politik" yang tak sekedar novel biasa. Pram membuktikan kembali kepiawaiannya dan laku keras.

Pramoedya dikenal sebagai sastrawan yang bicara tentang sejarah. Sesudah karya masterpisnya, "Trilogi Pulau Buru", dia telah mengajukan sebuah versi sejarah. Kepiawaiannya adalah kemampuannya menilai sejarah dalam karya sastra. Apapun yang terjadi sebenarnya tidaklah penting, karena bagaimanapun juga, karyanya tetaplah sebuah karya sastra, bukan penelitian sejarah.

Dengan kebebasan yang sangat luas yang diberikan kesastraan, seorang pengarang lebih bebas menafsir sebuah sejarah. Apalagi sebuah sejarah politik yang umumnya sarat dengan kepentingan, data yang kabur, pengakuan bermakna ganda, dan gelapnya waktu itu sendiri. Namun, kekaburan itu akan jadi begitu terang benderangnya di mata seorang pengarang, tanpa mengabaikan kerumitan yang sesungguhnya tetap terkandung dalam pelbagai peristiwa sejarah.

Dalam "Arok Dedes" ini, Pram menafsir siapa sesungguhnya sosok seorang Ken Arok dan Ken Dedes yang terlanjur melegenda di masyarakat itu. Dengan referensi yang kuat, Pram bak seorang sejarawan yang sedang menyuguhkan sebuah disertasi tentang sejarah kudeta pertama di tanah Jawa yang diperankan oleh anak keturunan Sudra yang tak bernama dan tak juntrung asal usulnya, Arok.

Pram melukiskan bagaimana keberhasilan penggulingan kekuasaan seorang Akuwu Tumapel bisa terjadi tanpa menyandarkan diri pada daya-daya magis yang dimiliki seorang Arok seperti dikenal dalam legendanya. Kekuatan utama yang menjadi dasar keberhasilan kudeta Arok adalah dukungan yang kuat dari kaum Brahmana pemuja Wisnu yang pada masa itu telah tersingkirkan dalam peta politik tanah Jawa. Kekuatan lain adalah kecerdasannya yang luar biasa dalam menghapal naskah-naskah rontal yang dianggap suci dan bahasa Sansekerta yang dianggap bahasa para dewa.

Digambarkan juga bagaimana pertarungan kepentingan di tingkat elit politik masa itu, antara kepentingan kerajaan pusat Kediri, Gerakan Mpu Gandring yang berkoalisi dengan kasta satria, para resi Brahmana, dan Tunggul Ametung yang ingin mempertahankan status quonya. Semuanya berada di bawah bayang-banyang bangkitnya perlawanan rakyat pimpinan Arok. Dan ketika kaum Brahmana memihak Arok, gempuran pasukan Arok yang bergerilya di wilayah Tumapel tak tebendung lagi dan kudeta pun terjadi.

Pesan moral yang tampaknya ingin disampaikan dalam novel yang digarapnya sekitar tiga bulan (1 Oktober-24 Desember 1976) sewaktu ditahan di Pulau Buru ini adalah betapa kompleks sebenarnya sebuah kudeta terjadi, dan betapa licik para aktornya untuk bersegera mengambil kesempatan, memenangkannya, dan mengaburkan peristiwa sejarah yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, hingga halaman terakhir, tak begitu jelas, siapa pembunuh Tunggul Ametung sebenarnya, sementara Kebo Ijo yang jadi tertuduh menyanggah telah membunuhnya.

Demikianlah, Pram menggunakan sepenuhnya kelebihan yang diberikan kesusastraan dalam menafsir peristiwa sejarah yang tetap meninggalkan misteri itu.



Soermarsono, Golongan Kiri, dan Pergolakan Seputar Proklamasi

I

MESKI berjuang habis-habisan di pertempuran Surabaya pada 1945, Soemarsono, tokoh utama peristiwa 10 November itu, sebenarnya putra Temanggung, Jawa Tengah. Ayahnya seorang pemeluk Islam yang taat. Bahkan, punya surau di pekarangan rumahnya. Dia anak dari istri kedua bapaknya, pegawai mantri cacar di zaman Belanda itu. Saat waktunya masuk HIS (setingkat SD), dia ditolak karena ayahnya sudah pensiun. Dianggap sudah bukan lagi pegawai Belanda.

Itu berarti, sejak kecil Soemarsono sudah mendapat pengalaman jiwa yang kurang enak kepada Belanda. Ketika akhirnya bisa ditampung di sekolah Kristen yang juga berbahasa Belanda, dia kembali punya pengalaman kejiwaan yang berat: memergoki kepala sekolahnya yang Belanda sedang memangku murid wanita dalam keadaan yang tidak pantas diceritakan. Dia langsung jadi pendiam beberapa hari. Meski terus menolak menceritakan penyebabnya, akhirnya tidak ada jalan menghindar. Anak kecil selalu saja tidak bisa menyimpan kepolosan jiwanya.

Cerita itu meluas ke keluarga si gadis. Jadinya heboh. Soemarsono ditekan di sekolah. Padahal, sudah waktunya penentuan nilai kelulusan. Dia diberi nilai jelek dan dipukul. Bahkan, karena begitu marahnya si Belanda, ijazah Soemarsono yang hari itu sudah siap diserahkan bernasib tragis. Ketika Soemarsono sudah berjalan ke depan kelas untuk mendapat giliran menerima ijasah, si Belanda tidak menyerahkannya, melainkan merobek-robeknya.

Dengan kejiwaan seperti itu, Soemarsono remaja kemudian ke Jakarta, ikut salah seorang kakaknya. Dia dikursuskan di berbagai bidang dan akhirnya dapat bekerja di bagian arsip kantor keuangan.

Selama tumbuh dewasa di di Jakarta itulah, Soemarsono bergaul dengan anak-anak muda dari golongan kiri. Pergaulannya lama-lama meluas dan akhirnya kenal dengan tokoh-tokoh kiri. Hanya disebut "kiri" karena saat itu PKI (Partai Komunis Indonesia) secara resmi dilarang. Yakni sejak pemberontakan PKI pada 1926. "Kalau dengan Mr Amir Syarifudin, saya bertemunya di gereja," ujar Soemarsono. Amir adalah tokoh sentral golongan kiri. Ketua PKI ilegal. Sebab, Musso (pimpinan PKI) menyingkirkan diri ke Rusia untuk menghindari kejaran Belanda. Tan Malaka, tokoh utama kiri lainnya, sudah dipecat karena dianggap tidak sejalan dengan garis partai.

Soemarsono memang aktif ke gereja. Di situlah dia didoktrin oleh Amir bahwa seorang Kristen harus aktif di pergerakan perjuangan menentang penjajahan Belanda.

Maka, ketika di kemudian hari dalam pertempuran Surabaya dia lebih tunduk kepada Amir daripada kepada Bung Karno, memang riwayatnya panjang seperti itu. Demikian juga mengapa Soemarsono menjadi tokoh utama peristiwa Madiun. Juga karena dia harus tunduk kepada Amir. Saat itu Amir bersama-sama dengan Muso memegang jabatan pimpinan puncak golongan kiri di Indonesia.

Memang harus diakui, di zaman menjelang kemerdekaan pada 1945 itu para pemuda dari golongan kiri sangat radikal melawan Belanda -dan kemudian Jepang. Mereka bergerak di bawah tanah. Mereka juga berseberangan dengan taktik yang dijalankan Bung Karno. Bahkan, mereka kesal kepada Bung Karno yang selalu bekerja sama dengan penjajah Jepang.

Waktu itu yang disebut golongan kiri bukan hanya PKI ilegal. Ada semacam "kiri luar", "kiri tengah", sampai "kiri dalam". Sjahrir (yang kemudian jadi perdana menteri di awal kemerdekaan), Djohan Syahruzah, dan lain-lain termasuk golongan kiri luar yang di kemudian hari meninggalkan kelompok kiri mendirikan partai sendiri: Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ada kelompok Chairul Saleh, Adam Malik, dan lain-lain yang tergolong kiri tengah yang kemudian juga meninggalkan barisan kiri dengan mendirikan Partai Murba. Lalu, ada kelompok Wikana, Aidit, Musso, dan lain-lain (termasuk Soemarsono yang tergolong masih paling kecil) tetap di jalur kiri dalam dan kemudian tergabung dalam PKI resmi. Lalu, ada lagi kiri lepas yang mencakup nama seperti Tan Malaka dan teman-temannya.

Semua golongan kiri itu ada kalanya bersatu, tapi ada kalanya bermusuhan. Posisi Bung Karno sungguh sulit. Apalagi di luar golongan kiri masih banyak golongan lain yang juga mengaku peranannya besar. Tambah lagi golongan ini pun juga terdiri atas banyak posisi: ada "kanan dalam", "kanan luar", dan "kanan tengah". Suasana politik waktu itu memang sangat rumit. Tidak ada kelompok tengah yang dominan yang membuat pemerintahan bisa stabil. Bung Karno ada di antara kiri dan kanan yang terus bersaing. Berbeda dengan sekarang di saat kelompok tengah sudah sangat dominan, meski juga masih tercecer di beberapa partai tengah seperti Partai Demokrat, Golkar, dan PDI-P. Kalau saja tiga partai ini bisa melebur dalam satu wadah, sejarah Indonesia akan sangat berubah. Setidaknya, kalau bisa dimulai dari embrionya dulu: bersatu dalam sebuah koalisi.

Saya baru tahu dari penuturan Soemarsono itu bahwa perpecahan Soekarno-Hatta ternyata sebenarnya berawal dari kasus dihukum matinya Amir Syarifudin dan 40 orang PKI di Magelang. Bung Karno tidak rela ada tindakan sekeras itu kepada orang-orang yang jasanya juga besar dalam memperjuangkan kemerdekaan. "Kepada anak-anak PKI waktu itu, Bung Karno itu tega larane gak tega patine", ujar Soemarsono. Maksudnya, tidak apalah kalau sekadar disakiti, tapi jangan dibunuh.

Bung Karno tentu mengetahui peranan golongan kiri dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tapi, Hatta punya pendapat lain. Para pejuang kiri itu dianggapnya hanya jadi pengacau yang menyulitkan pemerintah. Kemerdekaan Indonesia tidak segera diakui oleh negara-negara lain, menurut orang seperti Hatta, karena golongan kiri masih sangat kuat di Indonesia. Sedangkan negara-negara Barat yang diharapkan memberikan pengakuan dan bantuan kepada Indonesia umumnya negara-negara antikomunis. Misalnya, Belanda, Inggris, Australia, dan Amerika.

Saya bisa membayangkan sulitnya posisi Bung Karno. Apalagi Bung Karno itu, seperti dikemukakan Soemarsono, bisa jadi presiden karena jasa para pemuda golongan kiri. Yakni ketika para pejuang bawah tanah itu mulai mendengar bahwa Jepang sudah kalah perang di Asia Timur. Mereka memang aktif memonitor siaran radio luar negeri meski resminya penjajah Jepang melarang orang Indonesia mendengarkan siaran radio.

Saat itulah para pemuda golongan kiri dari berbagai posisi itu sepakat agar Indonesia segera menyatakan kemerdekaannya. Mumpung Jepang sudah kalah dan Belanda belum punya kesempatan kembali ke Indonesia. Hari-hari sekitar tanggal 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 Agustus ketika itu adalah hari-hari tidak jelas mengenai siapa yang berkuasa di Indonesia.

Maka, perhatian para pemuda tersebut tertuju kepada siapa yang harus memproklamasikan kemerdekaan itu. Nama Soekarno, di mata mereka, sama sekali tidak masuk dalam daftar orang yang pantas menyatakan kemerdekaan Indonesia. Mereka sedang tidak menyukai Bung Karno yang mereka nilai sebagai antek Jepang.

Dengan cepat, mereka memilih Amir Syarifudin-lah yang akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

II
Ganti Proklamator Dua Kali, Merdeka Tertunda Dua Hari

Setelah para pemuda pejuang itu bulat memutuskan bahwa Amir Syarifuddin-lah tokoh yang akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, muncul pertanyaan: bagaimana caranya agar keinginan itu terwujud? Waktunya sudah mendesak. Saat itu sudah tanggal 14 Agustus. Amir tidak di Jakarta. Dia sedang mendekam di Penjara Lowok Waru, Malang. Amir harus menjalani hukuman yang dijatuhkan penjajah Jepang. Dia dijatuhi hukuman mati. Hanya berkat jasa Bung Karno yang memang dekat dengan Jepang, hukumannya diubah menjadi seumur hidup.

"Waktu itu tidak ada pilihan lain. Musso tidak masuk hitungan karena sudah lama tinggal di Rusia. Bung Karno tidak masuk hitungan karena sikapnya yang memihak Jepang," ujar Soemarsono yang hari-hari itu tergolong pejuang yang paling yunior di antara para pemuda tersebut. Soemarsono kini masih hidup segar dengan status warga negara Australia. Saya tidak menyangka bahwa dia (usianya hampir 88 tahun) masih sesegar itu. Masih bisa melayani wawancara saya hampir lima jam dengan semangat tinggi dan tidak kelihatan lelah.

Saat pergolakan menjelang kemerdekaan itu, Soemarsono, tokoh kelahiran Kutoarjo (bukan Temanggung seperti tertulis kemarin) tersebut, masih di Jakarta. Baru beberapa minggu kemudian, dia ditugasi untuk berjuang di Surabaya yang selanjutnya dalam pertempuran Surabaya menjadi salah satu tokoh utama.

Menurut Soemarsono, kala itu ada ide yang radikal agar Amir bisa memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus 1945.

Amir harus dikeluarkan dari Penjara Lowokwaru secara paksa. Caranya: menculik dia. Namun, risikonya memang besar. Jepang secara de facto masih berkuasa. Bisa menggagalkan rencana proklamasi itu sendiri.

Dengan pertimbangan itu, dicarilah tokoh proklamator lain sebagai pengganti. Mereka lantas memilih Sjahrir yang meski bukan dari golongan "kiri dalam", tapi masih berbau kiri. Tidak ada suara yang tidak setuju. Sjahrir, di mata mereka, juga tidak punya cacat. Satu-satunya kekurangan hanyalah: kurang kiri. Tapi, setidaknya, tidak seperti Bung Karno yang dianggap terlalu menghamba ke Jepang.

Delegasi pun dikirim ke rumah Sjahrir. Dalam pertemuan itu, Sjahrir menyatakan tidak bersedia. Perdebatan di antara mereka sangat keras. Terutama setelah Sjahrir bahkan mengajukan nama Bung Karno saja. Rekomendasi Sjahrir itu menimbulkan pro-kontra di kalangan pejuang bawah tanah tersebut. Tapi, Sjahrir terus meyakinkan mereka. Alasan utamanya, proklamasi tersebut juga harus mendapat dukungan penguasa waktu itu. Termasuk harus didukung birokrasi pemerintah yang masih dikuasai Jepang. Tidak mung kin membentuk pemerintah tanpa punya birokrasi. Tanpa birokrasi, bagaimana pemerintah yang sudah diproklamasikan itu akan dijalankan? Pikiran Sjahrir, sebagaimana yang ada dalam buku-buku sekitar peristiwa ini, Bung Karno memang dekat dengan Jepang.

Para pemuda bawah tanah itu tetap keberatan. Bung Karno di mata mereka penuh cacat. Apalagi ketika mereka ingat bahwa demi pengabdiannya ke penjajah Jepang, Bung Karno sampai mau mengerahkan romusa. Yakni petani-petani dari Jawa yang dikirim ke Sumatera Utara untuk kerja paksa yang jumlahnya sampai, kata mereka, jutaan.

Melihat kerasnya penentangan para pemuda terhadap Bung Karno itu, Sjahrir memberikan jalan keluar. Bung Karno hanya akan dijadikan presiden sementara. Hanya untuk satu-dua tahun. Setelah itu diganti. Toh yang penting segera bisa merdeka dulu. Mumpung Jepang lagi kalah. Penundaan atas proklamasi bisa mengakibatkan kegagalan.

Akhirnya, pendapat Sjahrir diterima. Catatannya: Bung Karno adalah "proklamator cadangan" yang diturunkan ke lapangan karena terpaksa.

Lantas, diutuslah delegasi menemui Bung Karno. Ternyata, Bung Karno juga menolak. Alasannya, menurut Soemarsono, Bung Karno belum percaya bahwa Jepang sudah kalah. Bung Karno memilih menunggu saja Jepang memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia sebagaimana yang telah berkali-kali dijanjikannya.

Tapi, para pemuda yang sangat radikal itu tidak pernah percaya terhadap janji Jepang. "Mana ada penjajah rela menyerahkan daerah jajahannya," ujar Soemarsono. Paling-paling, kita dijanjikan "nanti", lalu "kelak", lalu "kemudian", dan akhirnya "nanti kelak di kemudian hari".

Menghadapi penolakan Bung Karno itu, para tokoh pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, dan Wikana tentu sangat kesal. Pikir mereka, tokoh-tokoh itu diajak merdeka kok tidak mau. Padahal, ini sudah tanggal 15 Agustus. Padahal, kalau saja Bung Karno mau, maka pada tanggal 15 Agustus 1945 itu, proklamasi sudah bisa dibacakan.

Melihat Bung Karno tetap menolak, para pemuda tersebut membuat skenario politik: menculik Bung Karno dan Bung Hatta untuk "dipaksa" mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Karena itulah, pada malam tanggal 15 Agustus itu, Bung Karno dan Bung Hatta diculik para pemuda dan dibawa ke Desa Rengasdengklok di timur Bekasi.

Tahu Bung Karno hilang, pemerintah Jepang bingung. Tapi, Jepang punya intelijen bernama Ahmad Subardjo yang juga dekat dengan pemuda pergerakan itu. Maka, dengan mudah, Jepang mengetahui di mana Bung Karno berada. Saya baru tahu dari Soemarsono ini bahwa Ahmad Soebardjo itu intel Jepang. Buku sejarah yang pernah saya pelajari di sekolah tidak pernah mengungkap peran Ahmad Soebardjo sebagai intel Jepang.

Kejadian selanjutnya sama dengan buku sejarah: ada yang bilang di Rengasdengklok-lah teks proklamasi itu disusun, ada juga yang bilang dibuat setelah tiba kembali di Jakarta. Ada yang bilang Bung Hatta-lah yang membuat konsepnya, lalu Bung Karno yang menuliskannya, ada pula yang bilang Mr Moh. Yamin-lah yang membuat konsepnya. Ada yang bilang Bung Karno dikembalikan ke Jakarta karena sudah setuju untuk membacakan proklamasi, ada juga yang bilang karena Jepang sudah memberikan lampu hijau untuk pernyataan proklamasi itu.

Yang jelas, dua hari setelah peristiwa Rengasdengklok itu, proklamasi dibacakan Bung Karno pada 17 Agustus 1945.

III
Ekstrem Kanan Kiri Oke, tapi Tengah Memimpin

Cara memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 seperti itu memang sangat khas cara berpikir kita sampai sekarang: Yang penting merdeka dulu! Bagaimana rumitnya urusan setelah itu baru dipikirkan kemudian.

Cara berpikir begitu juga terlihat ketika terjadi reformasi pada 1997/1998. Pokoknya reformasi dulu. Urusan rumit setelah itu dipikir kemudian. Karena itu, pikiran lain yang dilontarkan tokoh seperti Dr Nurcholish Madjid tidak laku. Maklum, waktu itu gelora untuk melakukan reformasi luar biasa besarnya. Bukan hanya gerakan bawah tanah sebagaimana yang terjadi menjelang proklamasi kemerdekaan RI, tapi sampai ke gerakan demo besar-besaran secara terang-terangan: Reformasi sekarang!

Padahal, sekitar seminggu sebelum Presiden Soeharto memutuskan untuk meletakkan jabatan, Cak Nur (begitu panggilan akrabnya) mengemukakan gagasan penting: Bagaimana kalau Pak Harto sendiri yang memimpin jalannya reformasi. Kita, kata Cak Nur, bisa memberi waktu dua tahun kepada Pak Harto untuk menyelesaikan proses reformasi itu. Selama proses itu, kita percaya penuh kepada Pak Harto.

Dengan pikiran seperti itu, menurut Cak Nur, reformasi akan berjalan secara terencana. Tentu tidak perlu terjadi huru-hara. Tidak sampai meletus peristiwa Mei 1998.

Tapi, pikiran seperti itu, pada masa yang penuh gelora menentang Pak Harto, dianggap pikirannya orang yang lembek. Soeharto harus segera turun takhta. Sekarang! Terlalu enak orang seperti Soeharto diberi waktu dua tahun.

Dua tahun itu lama sekali. Bisa-bisa Soeharto lupa tugasnya untuk melakukan reformasi. Ini sangat khas pola pergerakan revolusioner. Seperti juga sikap para pemuda menjelang proklamasi kemerdekaan dulu. Tidak sabar menunggu Jepang sendiri saja yang memerdekakan kita.

Bahkan, saking tidak percayanya, kata-kata Jepang yang menjanjikan kemerdekaan ''kelak'' dibuat pelesetan di rapat-rapat umum waktu itu, juga di pertunjukan-pertunjukan ludruk: Kita tidak percaya ''kelak'', kita hanya percaya ''kolak''! Kolak adalah makanan khas Surabaya, yang terbuat dari pisang yang direbus bersama santan dan gula.

Yang selalu terpikir dalam suasana yang revolusioner adalah takut kehilangan momentum. Ini juga yang mewarnai revolusi Madiun 1948 dan G 30 S/PKI tahun 1965. Dalam pikiran revolusioner seperti itu, yang terbayang adalah keindahan melulu: Setelah proklamasi pastilah rakyat makmur. Setelah reformasi pastilah rakyat makmur.

Tidak terbayangkan bahwa setelah proklamasi luar biasa sulitnya. Perasaan telah merdeka ternyata membuat semua orang merasa punya hak yang sama. Lalu, merasa pula berhak melakukan apa saja sesuai dengan keinginan dan aliran politiknya. Ekstremitas terjadi di mana-mana dengan segala bentuk dan latar belakangnya. Yang aliran kanan mengkristal ke Negara Islam Indonesia. Yang kiri mengkristal menjadi peristiwa Madiun.

Suasana setelah reformasi kurang lebih sama. Bukan main juga hebohnya. Negara menjadi lemah, pemerintah kehilangan keyakinan, pertentangan muncul dan kerusuhan di mana-mana. Semua orang seperti boleh melakukan apa saja. Dalam proses ini, yang kiri juga mengkristal, meski belum sampai menampakkan wujud formalnya. Yang kanan mengkristal dalam bentuk terorisme sekarang ini.

Tidak terasa reformasi sudah berumur 11 tahun. Kalau tujuan reformasi kini sudah dianggap mulai berhasil, waktu yang diperlukan ternyata begitu lama. Orang-orang yang dulu merasa tidak sabar dengan konsep dua tahunnya Cak Nur pun ternyata harus dipaksa sabar untuk menjalani masa yang berat yang jauh lebih lama: selama delapan tahun lebih!

Tidak ada yang perlu disesali. Baik reformasi maupun proklamasi. Jalannya sejarah memang harus begitu. Mimpi-mimpi indah sebelum proklamasi ternyata harus menemukan kenyataan beratnya persoalan yang dihadapi setelah proklamasi: Tidak ada negara yang segera mengakui kemerdekaan itu.

Belanda masih menguasai beberapa wilayah penting dan tidak tahu bagaimana cara mengusirnya, pertentangan antarpartai dan aliran luar biasa kerasnya, para pejuang bersenjata yang sudah bertahun-tahun hidup dalam suasana perang ngamuk karena tiba-tiba dinyatakan tidak memenuhi syarat masuk TNI dengan syarat-syarat yang profesional, yang aliran kanan mau terus ke kanan sambil memusuhi yang kiri. Aliran kiri terus ke kiri sambil memusuhi yang kanan.

Tidak terdapat golongan tengah yang cukup besar. Suasananya memang tidak memungkinkan segera terwujudnya golongan tengah yang besar. Persis suasana setelah reformasi: Golongan tengah yang dominan yang dibuat Pak Harto secara paksa, Golkar, runtuh. Belum muncul penggantinya.

Pak Harto mencoba menghilangkan golongan yang paling kiri dengan cara membasmi PKI secara kejam. Yakni, setelah G 30 S/PKI. Demikian juga, Pak Harto menghilangkan golongan yang paling kanan, juga secara kejam. Yakni, dengan jalan memancing mereka masuk ke Komando Jihad, lalu dengan operasi khusus (opsus) membasmikannya.

Pak Harto sadar golongan yang sangat kiri dan sangat kanan harus tidak boleh hidup. Pertentangan keduanya terlalu tajam. Bisa menyeret pertentangan-pertentangan yang lebih luas. Langkah menghapus golongan paling kiri dan paling kanan itu berhasil dilakukan Pak Harto: negara stabil dan pembangunan bisa berjalan. Tapi, Pak Harto melakukannya dengan cara paksa, keras dan kejam. Kestabilan yang terlihat pun sebenarnya kestabilan semu.

Kini, setelah 64 tahun proklamasi dan 11 tahun reformasi, kita tetap harus membentuk golongan tengah yang besar. Agar negara stabil dan pembangunan bisa berjalan. Hanya caranya yang harus kita lakukan secara demokratis. Golongan tengah yang besar yang terbentuk secara demokratis akan membuat Indonesia jaya.

Tinggal kita belum tahu caranya: Apakah salah satu saja di antara tiga partai besar sekarang itu yang terus kita besarkan (boleh yang mana saja), atau mereka bertiga sendiri sepakat untuk bergabung saja. Di alam demokrasi sekarang, kita bisa mewujudkan mimpi itu lima tahun ke depan!

Kalau saja kita bisa mewujudkan semua itu untuk kurun pembangunan selama 20 tahun lagi, maka setelah itu terserah saja. Indonesia saat itu nanti sudah telanjur sangat makmur dan maju. Golongan yang paling kiri atau paling kanan pun sudah bisa diperbolehkan untuk hidup lagi secara legal. Toh, mereka sudah tidak akan diterima masyarakat kita yang wujudnya sudah sangat berbeda dengan masyarakat kita sekarang ini. Minimal saya sudah tidak bisa menulis lagi! (*)

Dahlan Iskan, JAWAPOS, 14, 15, 16 Agustus 2009